Ironi Memberantas Korupsi di Indonesia yang Tebang Pilih



Mariam

(Aktivis Dakwah) 


#Tangsel — Kasus korupsi yang terpendam sejak 2015 kini terbongkar. Mencuatnya kasus mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong terduga kasus korupsi impor gula saat menjabat sebagai Mendag pada 2015– 2016 lalu.

Dilansir dari Koran Tempo, Tom dituduh telah memberikan izin impor gula kristal merah sebesar 105 ribu ton ke PT Angels Products (AP) untuk diolah menjadi gula putih. Padahal, menurut data pada tahun tersebut, Indonesia sedang mengalami surplus produksi gula.

Mengapa kasus 2015 silam, baru dibongkar sekarang? Alih-alih fokus pada kasus impor gula Tom Lembong, netizen Indonesia justru membicarakan Zulkifli Hasan. Seperti pada cuitan dalam platform X yang diunggah oleh akun @democrazymedia: “Tak Seperti Tom Lembong, Kejagung Tolak Periksa Mendag Zulkifli Hasan Padahal Pernah Impor Gula Lebih Besar, Kenapa?”

Data BPS menunjukkan bahwa pada era Tom Lembong (2015) Indonesia mengimpor 3,36 juta ton gula. Selanjutnya pada 2016 impor gula meningkat menjadi 4,74 juta ton. Pada era Enggartiasto Lukita, impor gula pada 2017 sebanyak 4,48 juta ton, 2018 mencapai 5,02 juta ton, dan pada 2019 sebanyak 4,09 juta ton. Sedangkan pada era Agus Suparmanto (2020) sebanyak 5,53 juta ton. Adapun pada era Muhammad Lutfi pada 2021 impor gula mencapai 5,48 juta ton dan pada 2022 sebanyak 6 juta ton. Ini merupakan jumlah impor gula terbanyak selama ini. Sedangkan pada era Zulhas impor gula pada 2023 mencapai 5,06 juta ton. 

Dari data tersebut tampak bahwa Indonesia selalu melakukan impor gula setiap tahun, meski menteri perdagangan berganti-ganti. Jumlah gula yang diimpor juga naik jika kita bandingkan antara 2015 dengan 2023. Tidak tanggung-tanggung, kenaikannya mencapai hampir 2 juta ton. (muslimah news, 5/11/2024)

Berbeda dengan Tom Lembong yang terbongkar dan tengah diusut, KPK justru menolak memutuskan untuk batal memanggil Wali Kota Medan Bobby Nasution dan Kaesang Pangarep dengan dugaan gratifikasi dalam penggunaan pesawat jet pribadi.

KPK mengatakan, bahwa laporan tersebut kini dialihkan pada Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK, bukan lagi pada Direktorat Gratifikasi. (Kompas.com,9/9/2024)

Hasto Kristiyanto, selaku Sekjen PDIP menilai bahwa keputusan KPK ini sangat rentan dengan adanya akrobat hukum. Seharusnya penegak hukum memberikan rasa keadilan dan tidak tebang pilih.

Ia khawatir bila keputusan KPK ini menjadi preseden buruk terhadap proses penegakkan hukum di Indonesia. Sebab, masyarakat bisa menganggap hukum hanya ditegakkan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki kedekatan dengan kekuasaan. (Kompas.com, 3/11/2024)


Hukum Tebang Pilih Sistem Kapitalisme

Melihat pemandangan penegak hukum yang seperti ini seolah sudah biasa, terlebih di negeri yang menganut sistem kapitalisme–yang memiliki kekuasaan, kepentingan dan pemilik modal–akan selalu lolos dari jerat hukum.

Akibatnya, keterpurukan akan terus mengintai, Kapitalisme sengaja memberikan akses dan kebebasan penuh bagi orang/individu maupun kelompok untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Hal itulah yang dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi kapitalis untuk mengambil manfaat dan meraup keuntungan sebagai alat produksi tanpa melihat konsekuensi yang akan menimpa, walaupun ia sebagai pembuat kebijakan (pemerintah).

Penyalahgunaan wewenang demi meraih keuntungan akan terus terjadi secara berulang, karena konsep untuk menjadi kaya dan memiliki materi membuat mereka memilih jalan pintas dengan korupsi yang dilakukan di setiap lini.

Kerusakan sistematis ini sudah menggerogoti di kalangan pemerintah, seakan tak mampu membendung banyaknya kasus korupsi yang sering terjadi setiap tahunnya. Bahkan lembaga besar bentukan pemerintah seperti KPK tidak mampu mengatasinya secara tuntas, hingga bisa dimanipulasi atas dasar kepentingan dan kedekatan mesra bersama penguasa.

Lantas, bagaimana agar negeri ini mampu memberantas korupsi hingga tuntas hingga ke akarnya?


Berantas Korupsi dengan Sistem Hakiki

Telah ditelaah, bahwa sistem kapitalisme yang menjadikan korupsi selalu subur di negeri ini. Maka, perlu diganti dengan sistem yang syar'i berlandaskan pada aturan Sang Ilahi.

Sistem yang telah diadopsi lebih dari 13 abad ini menjadi bukti bahwa Islam pernah berhasil mengikis habis perilaku para pejabat yang korupsi. Hukum yang diterapkan akan menutup peluang untuk berbuat zalim dan merampas harta orang lain. Islam memiliki tindakan preventif dan kuratif dalam menyelesaikan masalah ini.

Dalam tindakan preventif negara akan menyeleksi para pejabat dengan dilihat dari segi ketaatan dan ketakwaan ia kepada Allah Swt., karena keimanan sangat penting sebagai kontrol internal.

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan Seorang pemimpin atau aparat negara harus memiliki tiga kriteria penting yaitu al-quwwah (kekuatan), attaqwa (ketakwaan) dan al-rifq bi ar-ra'iyyah (lembut terhadap rakyat). Pejabat negara harus memiliki kekuatan aqliyyah dan nafsiyyah. kekuatan yang dimaksud adalah seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang memadai dan juga memiliki pola sikap kejiwaan yang baik,  sabar dan tidak emosional, maupun tergesa-gesa.

Islam memerintahkan negara untuk menanamkan akidah Islam yang kuat dalam individu masyarakat termasuk jajaran para pejabat pemerintahan. Pembentukan akidah ini dilakukan secara berkesinambungan melalui sistem pendidikan yang melahirkan pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam.

Dengan begitu, para pejabat memiliki self control untuk tidak melakukan tindak korupsi, karena mereka memahami bahwa korupsi termasuk perbuatan maksiat khana’in (pengkhianatan).

Negara juga akan memberikan gaji dan tunjangan yang cukup agar para pejabat bisa fokus dan optimal dalam menjalankan amanah. Gaji yang dialokasikan dari baitulmal atau pos kepemilikan negara, bukan dengan menarik pajak seperti sistem kapitalisme sekarang.

Langkah selanjutnya, negara juga akan mengaudit harta kekayaan para pejabat negara sebelum ataupun sesudah mereka menjabat, melalui Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Dalam kitab al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Syeikh Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa tujuan Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan ialah membantu negara untuk melakukan pengawasan agar para pejabat tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi kekayaan.

Sedangkan, mekanisme kuratif yang dilakukan adalah menegakkan sistem sanksi Islam (uqubat). Bila seorang pejabat terduga korupsi, maka Badan Pengawasan/Pemeriksa keuangan melakukan pembuktian terbalik kepada pejabat. Dia diminta membuktikan bahwa hasil kekayaan yang didapatkan adalah bukan dari hasil korupsi.

Jika mereka tak dapat membuktikan, maka pejabat dapat diberikan sanksi. Sanksi bagi para koruptor dalam Islam adalah ta’zir yaitu bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.

Sistem sanksi memiliki dua fungsi yakni sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan berefek jera) sehingga tak ada lagi yang melakukan tindakan serupa. Inilah mekanisme memberantas korupsi yang ditawarkan dalam Islam dan pernah diterapkan dalam negara Khilafah.[]

Posting Komentar

0 Komentar