Judol.. oh.. Judol..

 


#TelaahUtama — Kasus terbongkarnya mafia akses judi online (judol) yang melibatkan pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuat masyarakat gempar. Para tersangka yang mayoritas adalah pegawai dan staf ahli Komdigi justru menyalahgunakan wewenangnya untuk membuka akses situs judi online dengan syarat menyetor sejumlah uang. Para pelaku menjalankan aksinya di 'kantor satelit' yang berada di Ruko Galaxy, Bekasi. Saat ini sudah ada setidaknya 16 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dengan 12 orang di antaranya adalah pegawai Komdigi. 

Dalam kasus ini, terungkap jaringan mafia akses judol mampu meraup keuntungan hingga miliaran rupiah. Dari 5.000 situs judi online yang seharusnya diblokir, 1.000 di  antaranya ‘dibina’ agar situs tidak terblokir. Para tersangka mengaku mendapat imbalan sebesar Rp8,5 juta dari setiap situs yang berhasil dilindungi yang artinya keuntungan yang mereka terima setidaknya mencapai angka Rp8,5 miliar. 

Jeratan judol di Indonesia memang benar-benar memprihatinkan. Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah pemain judol tertinggi di dunia dengan angka mencapai 4 juta pemain. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Juli 2024 mencatat setidaknya terdapat 168 juta transaksi judol dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp327 triliun sepanjang 2023 dengan akumulasi perputaran dana transaksi sebesar Rp517 triliun sejak 2017.  

Mirisnya, pemain judol di Indonesia tidak hanya berasal dari kalangan usia dewasa. Pemain di kalangan usia remaja dengan rentang usia 10—20 tahun sebanyak 11% atau berkisar 440.000 orang. Bahkan, judol telah merambah pemain usia anak di bawah 10 tahun dengan jumlah pemain mencapai dua persen atau berjumlah 80.000 orang (pptak.co.id, 26/07/2024).  

Maraknya judol yang berdampak pada terpaparnya anak usia sekolah sebetulnya bukanlah hal yang aneh. Pasalnya, konten-konten judol sudah beredar di situs-situs pendidikan yang banyak diakses oleh pelajar dan mahasiswa. Tidak hanya itu, konten judol sudah jauh-jauh hari masuk melalui game online. Situs-situs game online sengaja memasukkan konten judol hingga banyak pelajar yang tidak bisa membedakan mana judol dan mana game online. Namun, tidak hanya situs-situs pendidikan dan game online, hampir seluruh situs pemerintah kini marak tersusupi judol. Ada hampir empat juta halaman web judi di situs-situs pemerintah dan sekitar 1,2 juta halaman web judi di situs-situs akademik (tempo.co, 23/08/2023).   

Miris memang, Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia justru terjerat aktivitas haram judi. Ada banyak faktor yang menyebabkan kian tingginya angka pelaku judol di negeri ini. Pertama adalah karena minimnya literasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak kasus anak usia pelajar yang terjerat judol justru karena tidak bisa membedakan antara game online dan judol. Tidak sedikit kasus anak-anak kecanduan slot di Indonesia yang ditemukan dan berdampak pada gangguan mental anak. Minimnya literasi anak-anak Indonesia akan bahaya judol juga menjerumuskan anak pada perilaku kriminal seperti mencuri hingga membunuh. 

Tidak hanya karena minimnya literasi akan bahaya judol, tetapi juga karena penerapan gaya hidup sekuler yang tidak mengenal halal-haram membuat anak-anak negeri ini kian mudah terpapar oleh judol. Bobroknya sistem pendidikan sekuler berkontribusi besar dalam rendahnya tingkat keimanan masyarakat yang seharusnya menjadi benteng terakhir mereka melawan serbuan judol.  

Selain literasi, faktor lain yang menyebabkan judol kian tinggi adalah faktor ekonomi. Banyak pelaku yang terjebak dalam pusaran judol karena tuntutan ekonomi. Harapan untuk mendapat ‘durian runtuh’ dari judol menjadi alasan mengapa masyarakat menengah ke bawah justru menjadi pelaku judol terbanyak. Melemahnya daya beli masyarakat, tingginya angka pengangguran hingga maraknya PHK di negeri ini membuat banyak masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menggantungkan harapan mereka pada judol. Padahal kenyataannya, judol justru menyebabkan pelaku ketagihan dan bisa menghabiskan seluruh harta bendanya. 

Dari sini terlihat jelas bagaimana bobroknya sistem ekonomi kapitalis yang menyebabkan kemiskinan struktural di negeri ini menjadi pendorong kian maraknya judol di tengah-tengah masyarakat. Ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin yang menjadi ciri khas kehidupan kapitalisme membuat masyarakat kehilangan arah dan justru menumpukan asa pada aliran ‘dana segar’ melalui judol. Oleh karenanya tidak mengherankan jika aktivitas judi menjadi salah satu atribut gaya hidup kapitalisme-liberal. 

Maraknya judol tidak hanya karena carut-marutnya perekonomian negeri tetapi juga gaya hidup hedonistik yang mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat kapitalis. Budaya flexing di media sosial maupun kehidupan nyata menjadi hal lumrah yang berakibat pada tuntutan gaya hidup yang kian mahal. Walhasil, judol banyak dijadikan sebagai jalan pintas guna memenuhi ‘high class life style’.  

Karut-marutnya sistem kehidupan kapitalis-sekuler yang diterapkan negeri ini memang menjadi alasan sulitnya melepaskan judol dari masyarakat. Sistem kufur kapitalisme-sekuler yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan meniscayakan kehidupan yang serba sempit. Hal ini diperparah dengan rezim yang justru ‘kewalahan’ memberantas judol. 

Pengibaran ‘bendera putih’ penguasa negeri ini atas geliat judol tampak nyata dari ketidakseriusan mereka memberangus aktivitas haram tersebut. Lemahnya pengawasan negara dalam kasus judol tampak jelas dari kemudahan akses dan ketersediaan akan situs-situs judi terhadap masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya kemampuan teknologi informasi dan SDM yang tidak mumpuni di jajaran lembaga pemerintahan. Hal ini kemudian menyebabkan situs-situs pemerintah dan situs satuan pendidikan kian marak tersusupi konten judol. Terlebih lagi dengan adanya kasus ‘pembinaan’ situs judol oleh pegawai Komdigi kian mempersulit upaya pemberantasan judol. 

Di sisi lain, pemerintah tampak lamban dalam memerangi judol. Pemerintah baru bergerak memberantas judol justru di akhir masa jabatan Jokowi dengan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online melalui Keppres 21/2024 pada 14 Juni 2024. Padahal, persoalan judol sudah marak dan menjangkiti seluruh golongan masyarakat. Lemahnya ‘political will’ dari rezim menjadikan persoalan judol terus berlarut-larut.  

Lebih dari itu, sanksi dalam hukum positif Indonesia nyatanya tidak mampu membuat pelaku judi jera. KUHP Baru atau UU 1/2023 menurut ketentuan Pasal 426 ayat (1) bahwa pelaku judi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar). Pasal 427 menyebutkan bahwa orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta). Adapun sanksi bagi pelaku judol secara spesifik diatur dalam UU ITE (UU 1/2024), yakni dalam Pasal 45 ayat (3) yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar. Jelas, sanksi tersebut tidaklah sebanding dengan nilai transaksi judol yang mencapai angka triliunan rupiah. 

Ironisnya, para pemain judol justru diposisikan sebagai ‘korban’. Bukannya ditangkap, mereka diarahkan untuk mendapat treatment pemulihan. Bahkan, pertengahan tahun ini sempat ramai terdengar kabar bahwa para pemain judol akan mendapat bantuan sosial (bansos). Dengan tidak adanya sanksi tegas bagi para pelaku judol, tentu tidak akan pernah memberi efek jera, tetapi membuat judol kian merajalela. 

Sistem kapitalisme-sekuler menjadikan penguasa seolah-olah tidak berdaya atas judol. Memberantas judol di alam kapitalis "bagai menegakkan benang basah". Buruknya pengurusan negara dalam memberantas kemiskinan, disertai dengan gaya hidup hedonistik nan materialistis masyarakat membuat judol kian mengakar di tengah-tengah umat. Tidak hanya itu, ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas judol melalui pembiaran atas maraknya situs-situs judi dan lemahnya sanksi hukum makin memustahilkan upaya pemberantasan judol di negeri ini. Padahal, keharaman judol telah jelas sebagaimana firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 90)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar