#Reportase — Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah salah satu indikasi tumbuhnya perekonomian suatu negara. Indonesia dalam kurun lima bulan berturut- turut mengalami deflasi. Adanya deflasi seharusnya mampu menaikkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa. Faktanya, pasar-pasar tradisional maupun lokapasar (marketplace) tidak mengalami peningkatan penjualan. Kondisi deflasi jelas membahayakan sistem ekonomi Indonesia.
Diskusi Publik yang mengangkat tema “Kabinet Gemuk Pertanda Kemakmuran Rakyat”, dihadiri oleh lintas tokoh seperti birokrat, pengusaha, dosen se-Jakarta Raya dan Tangerang Selatan. Menghadirkan Ustazah Husna Kamila, S.T. M.M., dan Ustazah dr. Estyningtias P. sebagai narasumber. Acara tersebut diselenggarakan pada Sabtu, 09 November 2024, di Jakarta.
Narasumber pertama, Ustazah Husna menjelaskan definisi deflasi yaitu kondisi ekonomi saat terjadi penurunan umum dalam tingkat harga barang dan jasa dalam suatu perekonomian selama periode waktu tertentu. Akan tetapi, turunnya harga-harga di pasar ternyata bukan sesuatu yang menyenangkan. Ustazah yang sekaligus aktivis dakwah ini menjelaskan bahwa penyebab adanya deflasi karena turunnya daya beli masyarakat dan menyusutnya jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat. Masyarakat tidak memiliki uang untuk membeli barang dan jasa atau melakukan penghematan dalam pengeluaran keuangannya. Hal ini terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Contohnya, kebijakan pemerintah dalam menaikan pajak seperti PPN dan membuka keran impor untuk berbagai produk.
Pemerintahan terpilih telah mengumumkan terbentuknya kabinet baru. Kabinet ‘gemuk’ ini menjadi beban, karena total anggarannya diperkirakan sekitar Rp300–700miliar/tahun untuk operasional. “Para ahli ekonomi memprediksi bahwa jika deflasi berlanjut akan jatuh pada resesi,” terang ustazah Husna.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah cara untuk mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Faktor yang mampu mendorong tumbuhnya ekonomi yaitu, terjadinya jual beli di pasar-pasar, peningkatan produktivitas, dan membuka lapangan kerja. Akan tetapi, kebijakan sistem kapitalisme dalam menyelesaikan permasalahan deflasi adalah dengan menurunkan suku bunga. Masyarakat didorong untuk berutang sehingga mau membelanjakan uang yang didapat, bukan mendorong tumbuhnya ekonomi yang nyata.
Permasalahan ekonomi dalam sistem kapitalisme akan selalu muncul. Aktivitas ekonomi selalu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah. “Tujuan adanya kegiatan ekonomi supaya dapat uang dan uang tersebut bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ini konteks individu. Sedangkan dalam konteks negara, maka negara memiliki tugas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Negara disebut makmur ketika kebutuhan pokok dari masyarakatnya terpenuhi. Ketika ini tidak terpenuhi maka disebut ketimpangan ekonomi,” ujar Ustazah Esti sebagai narasu ppmber kedua.
Ketimpangan ekonomi hampir terjadi di seluruh dunia yang menerapkan sistem selain sistem Islam. Beliau menerangkan sistem kapitalisme-liberal yang memiliki konsep “Trickle Down Effect”. Konsep ini memicu pertumbuhan ekonomi dengan cara memberi insentif kepada perusahaan-perusahaan kaya dan kelas menengah. Jika mereka diberi insentif, harapannya perekonomian akan turun ke bawah dan akan dirasakan oleh masyarakat kelas bawah. Realitanya, konsep ini gagal mewujudkan pemerataan ekonomi malah menimbulkan ketimpangan di tengah masyarakat. “Negara kita menganut sistem ini,” tegas Ustazah Esti.
Sebaliknya, negara-negara yang menerapkan sistem sosialisme berhasil memaksa terwujudnya pemerataan dengan konsep sama rata sama rasa. Kegagalan sistem ini akan mematikan kreativitas karena masyarakatnya dipaksa untuk mendapatkan jumlah yang sama. Sehingga konsep ini pun gagal mewujudkan pertumbuhan ekonomi.
Bahwasanya, konsep Islam jelas berbeda dengan kedua sistem di atas. Pertumbuhan ekonomi dalam Islam dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, mendorong produktivitas masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa. Kedua, Islam membatasi mekanisme produksi barang dan jasa yang beredar di tengah masyarakat adalah barang dan jasa yang sesuai hukum Allah. Ketiga, aktivitas ekonomi non riil pun tidak boleh ada karena aktivitas ini adalah aktivitas ribawi, seperti saham. Keempat, segala kebijakan negara harus sesuai dengan hukum-hukum Allah misal, tidak ada pematokan harga, menindak tegas semua jenis penimbunan, penipuan, dan menjaga mata uang dengan standar emas dan perak. Ketika sistem ekonomi Islam yang digunakan, maka sistem politiknya pun harus sistem politik Islam. Bukan demokrasi seperti yang digunakan Indonesia saat ini.
Ustazah Esti melanjutkan penjelasan tentang gemuknya kabinet di pemerintahan saat ini akan berimplikasi pada beberapa hal. Seperti, sebagian menteri adalah elite parpol yang akan menyebabkan terjadinya perebutan akses pada program-program strategis yang akan menguntungkan partainya bukan rakyat, internal competition dalam partai koalisi terutama di tahun ke-3 dan ke-4 sebagai upaya persiapan untuk pemilu berikutnya, beberapa menteri terasosiasi dengan pebisnis tertentu sehingga memunculkan conflict of interest, dan tidak menutup kemungkinan DPR akan terdorong untuk menambah jumlah anggota.
“Ketundukan kita pada syariat-Nya di dunia adalah penentu nasib kita di akhirat. Jangan pernah abaikan!” Ustazah Esti mengingatkan peserta diskusi.[Junita]
0 Komentar