Anggun Permatasari
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#TelaahUtama — Nasib malang menimpa peternak sapi perah rakyat di Boyolali. Susu segar yang dihasilkan lebih dari 200 ton tidak diserap oleh Industri Pengolah Susu (IPS). Akibatnya, mereka terpaksa harus membuangnya setiap hari, miris.
Menurut Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana, Industri Pengolah susu (IPS) yang tidak bersedia menyerap susu segar dari para peternak merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi. Hal itu juga pengingkaran terhadap komitmen mereka untuk menyerap dan membeli susu segar yang diproduksi oleh peternak sapi perah rakyat. Tindakan tersebut disebabkan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi usaha peternak sapi perah rakyat dan menjamin kepastian pasar susu segar yang dihasilkan (cnbcindonesia.com, 11/11/2024).
Pemerintah setempat tidak dapat berbuat banyak. Plt Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Ignasius Haryanta Nugraha mengatakan bahwa pihaknya sudah melaporkan kondisi tersebut ke pemerintah pusat. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa pada 1998, IMF mendorong Indonesia untuk menghapuskan aturan yang mewajibkan industri menyerap susu lokal. Kebijakan impor susu buntut dari aturan perdagangan bebas digadang-gadang menjadi penyebab Indonesia kebanjiran susu impor (kompas.com, 15/11/2024).
Sungguh memprihatinkan, ibarat mati di lumbung padi, itulah pepatah yang sesuai untuk menggambarkan kondisi para peternak susu perah saat ini. Alih-alih menyelamatkan perekonomian rakyat sendiri, pemerintah justru membuka pintu lebar susu impor membanjiri pasar negeri.
Padahal, menurut Budi Arie dikutip dari laman Tempo.co, 11/11/2024, konsumsi susu nasional pada 2022 dan 2023 masing-masing sebesar 4,4 juta ton dan 4.6 juta ton. Sedangkan data perdagangan eksisting menunjukkan konsumsi susu nasional pada 2022 dan 2023 sebesar 4,44 juta ton dan 3,7 juta ton.
Susu merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi dan mengandung berbagai macam vitamin. Melihat banyaknya manfaat susu, maka seharusnya industri susu dikelola mandiri oleh negara. Namun, di alam kapitalisme seperti saat ini wajar jika tata kelolanya dimonopoli para kapitalis. Walhasil, peternak merugi, rakyat belum tentu memperoleh susu dengan kualitas terbaik dan aman.
Susu adalah salah satu karunia Allah Swt. seperti firman-Nya dalam surah an-Naml ayat 66 yang artinya, “Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minuman dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”
Jika kita kembali pada konsekuensi syahadat, sesungguhnya Islam memiliki sistem dan politik ekonomi Islam yang paripurna. Aturan Islam memberikan jaminan dan perlindungan untuk para peternak sapi perah agar jerih payah mereka dihargai dan hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat negeri ini.
Penguasa (khalifah) dalam daulah yang menjadikan aturan Islam sebagai dasar pembuatan aturan akan membuat prioritas terhadap hasil pangan lokal. Penguasa tidak akan sembarangan membuka pintu untuk barang impor masuk ke wilayah daulah. Hal ini juga dilakukan dalam rangka menjaga kestabilan harga agar tidak kalah saing dengan produk impor. Daulah Islam adalah negara yang memiliki integritas dan tidak mudah diatur asing. Oleh karenanya, daulah bertanggung jawab terhadap visi tata kelola peternakan, sumber daya, produktivitas, dan ketersediaan pangan di sektor peternakan.
Aturan Islam mengajarkan manusia untuk tidak berlebihan termasuk dalam hal konsumsi. Tidak seperti fakta hari ini, akibat serangan budaya Barat, minum susu dan produk turunannya seolah menjadi bahan pokok dan dijadikan lifestyle. Akibatnya, dari gaya hidup tersebut, perlakuan terhadap hewan ternak sebagai penghasil susu menjadi zalim. Dalam surah al-Baqarah ayat 186 Allah Swt. berfirman yang artinya, "Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata."
Aturan Islam akan menjamin sektor peternakan sapi perah di dalam negeri. Wilayah potensial secara geografis untuk membangun peternakan sapi perah akan dipenuhi kebutuhan modal usaha, ketersediaan pakan, kesehatan ternak, fasilitas pengolahan, penyimpanan, penyaluran, dan sistem distribusinya. Tidak seperti fakta saat ini, wilayah padang rumput tempat tersedianya makanan bagi ternak justru dijadikan tempat wisata.
Daulah akan mendorong para peternak untuk memproduksi susu berkualitas sebanyak-banyaknya dan memfasilitasi distribusinya. Hal ini tentu merupakan lapangan kerja bagi masyarakat yang disediakan daulah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan.
Terkait pengolahan produk turunan susu, daulah akan membangun pusat industri yang akan menyerap susu dari peternak. Kebijakan ekspor susu baru diambil apabila kebutuhan rakyat di dalam negeri tercukupi. Kalaupun produksi susu di dalam negeri defisit, daulah melakukan impor yang sifatnya sementara.
Secara umum, daulah/Khilafah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat individu per individu. Daulah akan menjaga kestabilan ekonomi negara agar rakyat sejahtera dan memiliki daya beli agar bisa memenuhi kecukupan gizi bagi seluruh anggota keluarganya. Daulah juga akan menjaga kualitas bahan pangan yang menjadi kebutuhan dasar agar rakyat terhindar dari berbagai penyakit.
Allah Taala berfirman dalam surah Yunus ayat 57 yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Namun, sistem ekonomi Islam akan berjalan jika negara menjadikannya sebagai dasar membuat aturan. Karena, Islam yang berasal dari Allah Sang Pencipta alam semesta merupakan satu-satunya sistem hidup yang bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk untuk mengelola peternakan yang salah satunya memproduksi susu. Aturan Islam melahirkan penguasa yang peduli nasib rakyat. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam/khalifah itu laksana penggembala (ra’in) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Selain itu, “Imam adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya umat melindungi diri. Jika ia menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan ia berbuat adil, dengan itu ia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika menyuruh selain itu, ia menanggung dosanya.” (HR Muslim)
Wallahualam bissawab.
0 Komentar