Kerusakan Alam Akibat Ulah Tangan Manusia




Siti Rima Sarinah

(Aktivis Dakwah) 


#Wacana — Akhir-akhir ini hawa panas yang sangat menyengat sedang dialami beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Kota Bogor. Peningkatan suhu udara panas yang terjadi di Kota Bogor sudah berlangsung beberapa tahun terakhir. Kota Bogor tak lagi sedingin seperti dahulu meskipun berstatus Kota Hujan. Pengamat Ilmu Lingkungan Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Rimun Wibowo mengatakan fenomena kenaikan suhu panas secara umum diakibatkan oleh perubahan iklim global, urbanisasi, dan efek rumah kaca.

Peningkatan suhu ini tidak hanya terjadi pada siang hari tetapi juga malam hari. Peningkatan suhu ini menjadi lebih nyata sejak awal 2000-an seiring dengan semakin intensifnya pembangunan infrastruktur, pertambahan penduduk, dan berkurangnya lahan hijau di kawasan perkotaan seperti Bogor. Hal ini menghasilkan efek pemanasan yang lebih terasa di wilayah perkotaan (radarbogor, 22/10/2024).

Sementara itu, berdasarkan pengamatan yang dilakukan Stasiun Klimatologi BMKG Jawa Barat, suhu terpanas mencapai 35,3 derajat Celcius pada 21 Oktober 2024. Sementara rata-rata suhu maksimun pada Oktober di Kota Bogor 32,5 derajat celcius. Ada Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan suhu di suatu wilayah, bisa karena tutupan awan berkurang, perubahan tata guna lahan sehingga lahan hijau berkurang, serta peningkatan polusi udara sehingga berkontribusi pada efek rumah kaca. Selain itu, berkurangnya lahan hijau di Kota Bogor karena dijadikan perumahan, pertokoan, hotel, infrastruktur, dan lain sebagainya.

Kota Bogor yang dikenal sebagai kota wisata menyajikan panorama alam yang indah, telah massif melakukan pembangunan hotel sebagai fasilitas pendukung untuk menampung para wisatawan berlibur di Kota Hujan. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2017, jumlah hotel di Kota Bogor sudah mencapai 53 hotel dan di tahun 2022 bertambah menjadi 98 hotel yang sebagian dibangun di atas lahan hijau di sekitar Kebun Raya Bogor. 

Berdasarkan fakta di atas, wajar terjadi pemanasan global akibat pemetaan dan penggunaan lahan yang tidak tepat. Lahan hijau seperti Kebun Raya Bogor merupakan paru-paru kota yang seharusnya tidak boleh ada pembangunan di sekitarnya. Agar lahan hijau tersebut berfungsi untuk menyerap air hujan dan banyak tumbuh pepohonan sehingga suasana perkotaan menjadi lebih sejuk. Apalagi Kota Bogor yang memiliki curah hujan sangat tinggi, seharusnya cuaca di Kota Bogor lebih adem dan sejuk.

Namun sayangnya, pemerintah dengan mudahnya memberi ijin sesuka hati kepada pengusaha untuk membangun hotel, pertokoaan, perumahan elite, dan infrastruktur di lahan hijau. Padahal, ini kebijakan zalim karena akan banyak merugikan masyarakat yang terdampak akibat hilangnya lahan hijau tersebut. Fakta ini tidak hanya terjadi di Kota Bogor, bahkan hampir dialami di setiap wilayah di negeri ini.

Sudah berapa banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) di Indonesia. Pada tahun 2021—2022 deforestasi mencapai 104 ribu hektare (ha), pada tahun 2023 mencapai 257.384 ha. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menyebutkan progres penetapan kawasan hutan hingga Juni 2024 telah mencapai 106.554.226,72 ha atau 84% dari total luas kawasan hutan mencapai 125.664.549,9 ha (detiknews, 11/07/2024). 

Indonesia menjadi negara ke-2 di dunia dengan tingkat deforestasi terparah sepanjang tahun 2024 setelah Brasil. Mega proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur menambah daftar panjang kasus deforestasi di negeri ini. Deforestasi ini lagi-lagi masyarakat yang menjadi korbannya, selain hilangnya fungsi hutan juga menyebabkan banjir dan merusak habitat hewan yang hidup di dalam hutan.

Kerusakan alam dalam sistem kapitalisme-sekuler adalah sebuah keniscayaan. Sebab, tabiat sistem ini yang rusak dan merusak serta menjadikan materi di atas segalanya. Maka wajarlah, mereka akan melakukan apa saja dengan mengabaikan dampak yang ditimbulkan semata-mata untuk mendapatkan cuan. Anehnya, pemerintah dengan berbagai kebijakannya justru menjadi payung hukum bagi korporasi oligarki untuk merusak alam dan merampas semua kekayaan alam milik rakyat. Inilah bukti kerakusan dan keserakahan sistem sang pembuat masalah.

Berbeda hal dengan sistem Islam, sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan ijin kepada manusia untuk mengelola alam sesuai syariat-Nya agar kelestarian alam tetap terjaga dan siapa pun tidak boleh melakukan kerusakan alam dengan alasan apa pun. Allah Swt. berfirman, ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS al-A’raf: 56)

Islam memiliki aturan yang komprehensif agar alam dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya. Setiap pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat, membawa kebaikan dan keberkahan bagi manusia, hewan dan alam, sehingga dilakukan dengan cara sesuai syariat, bukan dengan cara eksploitasi. 

Sistem Islam/Khilafah akan memetakan wilayah perkotaan dan lahan sesuai dengan peruntukannya. Lahan hijau seperti hutan difungsikan sebagai paru-paru kota, sehingga tidak boleh ada pembangunan di lahan tersebut. Begitu pentingnya hutan dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan alam, maka ada klasifikasi hutan yang harus dipenuhi dengan baik, mana hutan yang dilindungi dan mana hutan yang di boleh diambil hasilnya seperti kayu.

Dengan penataan dan pemetaan ruang kota untuk hutan, fasilitas umum, infrastruktur, dan perumahan sesuai syariat Islam, terwujudlah suasana yang nyaman dan terbebas dari ulah keserakahan tangan manusia. Sebab, Khilafah akan memberikan sanksi tegas, berat, dan memberi efek jera bagi siapa pun yang melakukan pengrusakan alam. Sehingga dampak pemanasan global akibat ulah tangan manusia tidak akan pernah terjadi. Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar