Kolaborasi Pemerintah dengan Swasta dalam Penyelenggaraan Pembangunan Wilayah, Bagaimana Islam Memandang?

 




Eli Ermawati 

(Ibu Pembelajar)


#Bekasi — Pemerintah dan pihak swasta kini semakin erat bekerja sama dalam membangun wilayah yang berkembang pesat. Kolaborasi ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi regional.


Diberitakan bahwa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi bekerja sama dengan Cikarang (LPCK) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan lingkungan di kawasan tersebut. Kolaborasi ini bertujuan mengembangkan kawasan industri dan memperkuat sektor ekonomi melalui berbagai inisiatif, termasuk pembangunan infrastruktur, pengembangan industri, serta perhatian pada aspek keberlanjutan dan pelestarian lingkungan. Salah satu langkah konkret dalam kerja sama ini adalah penyediaan fasilitas yang dapat mendukung kegiatan ekonomi sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing daerah, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar (Dakta.com, 14/11/2024).


Namun, kerja sama antara pemerintah dan swasta, seperti yang dilakukan oleh Pemkab Bekasi dengan LPCK, sering kali menimbulkan ketidakseimbangan dalam posisi dan peran masing-masing pihak. Meskipun kolaborasi ini bertujuan memperkuat ekonomi lokal dan menjaga kelestarian lingkungan, ketidakjelasan status pengelolaan dan kepemilikan aset dapat muncul sebagai dampak dari sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, kepentingan profitabilitas sering kali lebih diutamakan dibandingkan dengan distribusi kekuasaan yang adil dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya. Hal ini dapat mengaburkan batas antara peran pemerintah sebagai regulator dan pihak swasta sebagai pengelola ekonomi, yang berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum dan sosial, serta merugikan kepentingan publik dalam jangka panjang.


Di tengah upaya ini, posisi Bekasi sebagai bagian dari kawasan aglomerasi dalam UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menimbulkan tantangan besar. Peningkatan aktivitas industri dan pembangunan infrastruktur sering kali mengabaikan dampak ekologis yang timbul, akan berpotensi merusak keberlanjutan sumber daya alam dan kualitas hidup jangka panjang. Meskipun ada niat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tantangan utama tetap pada upaya menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.


Ekonomi Islam mengatur kegiatan ekonomi agar sesuai dengan ajaran Allah, dengan tujuan utama mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Semua aktivitas ekonomi baik oleh individu, masyarakat, maupun negara harus mengikuti prinsip-prinsip syariah yang mencakup hal-hal berikut:


1. Keadilan dan Keseimbangan. Ekonomi Islam berusaha menciptakan sistem yang adil, mengurangi ketimpangan antara kaya dan miskin, melalui zakat dan wakaf. 


2. Larangan Riba (Bunga). Islam melarang bunga dalam transaksi keuangan karena dianggap tidak adil, "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS al-Baqarah: 275)—Sebagai gantinya, ada sistem kemitraan seperti mudharabah dan musyarakah yang saling menguntungkan.


3. Larangan Gharar (Ketidakpastian). Transaksi yang penuh spekulasi atau ketidakpastian dilarang. Semua transaksi harus jelas dan transparan agar kedua pihak memahami hak dan kewajiban mereka.


4. Kepemilikan dan Tanggung Jawab Sosial. Kekayaan dalam Islam bukanlah milik mutlak individu; ada kewajiban untuk membagikan sebagian kekayaan kepada yang membutuhkan, melalui zakat dan sedekah.


5. Tanggung Jawab Moral. Setiap kegiatan ekonomi harus dilakukan dengan niat untuk mendapatkan rida Allah, menghindari eksploitasi, dan menjaga keadilan serta kelestarian alam.


Secara keseluruhan, negara dalam ekonomi Islam berperan untuk memastikan bahwa kegiatan ekonomi publik tetap mengikuti prinsip-prinsip syariah, dengan kebijakan yang adil dan mendukung kesejahteraan masyarakat.


Dalam sistem ekonomi Islam, hukum-hukum ekonomi dibangun atas tiga prinsip utama: kepemilikan; pengelolaan kepemilikan; dan distribusi kekayaan. Ketiga prinsip ini mendukung ekonomi yang adil, di mana setiap orang dan pihak memiliki hak dan kewajiban yang jelas.


1. Kepemilikan. Harta milik individu adalah amanah dari Allah. Kita harus menggunakannya dengan cara yang benar dan sesuai syariat. 


2. Pengelolaan Kepemilikan. Harta harus dikelola secara halal dan efisien, tanpa merugikan orang lain, serta sesuai dengan syariat. Termasuk kewajiban membayar zakat dan menghindari larangan seperti riba atau perjudian. 


3. Distribusi Kekayaan. Islam mengatur agar kekayaan tidak hanya terkumpul pada segelintir orang. Zakat, infak, dan sedekah adalah cara untuk memastikan kesejahteraan sosial yang merata.


Jika ada masalah ekonomi baru, ulama bisa menggali hukumnya melalui ijtihad (penafsiran) berdasarkan prinsip-prinsip syariat

dengan mengutamakan kemaslahatan umat dan menghindari kemudaratan.


Aturan yang dibuat untuk kepentingan segelintir orang atau pihak asing bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Kebijakan ekonomi harus mengutamakan keadilan dan kesejahteraan umat, bukan hanya keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.


Sebagai solusi, dalam perspektif Islam, negara harus hadir secara penuh dalam mengelola fasilitas yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti aliran sungai, jalan, dan infrastruktur lainnya, untuk memastikan kepentingan publik terjaga dengan baik. Kerja sama dengan pihak swasta sebaiknya hanya difokuskan pada pengadaan fasilitas, bukan pada pemeliharaan atau pengelolaannya, sehingga pengawasan dan tanggung jawab terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan pelayanan publik tetap berada di tangan negara.


Dengan demikian, prinsip keadilan dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya akan lebih terjamin, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa proteksi atas kebutuhan masyarakat adalah hak yang hanya dapat diambil alih oleh negara. Sebagaimana yang disampaikan dalam hadis Rasulullah, "Tidak ada proteksi kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya." (HR Abu Dawud dari Sha'b bin Jutsamah)


Hadis ini menunjukkan bahwa dalam Islam, penguasaan atau proteksi terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan publik, seperti sumber daya alam atau fasilitas umum, seharusnya tidak dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu, termasuk pihak swasta. Hal ini harus berada di bawah wewenang negara yang bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan umum. Proteksi di sini mengacu pada perlindungan terhadap kebutuhan dasar masyarakat yang tidak boleh dimonopoli oleh pihak tertentu demi kepentingan pribadi atau keuntungan semata.


Karenanya, Islam melarang siapa pun, termasuk sektor swasta, untuk menguasai atau memproteksi kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Fasilitas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti aliran sungai, jalan, dan lainnya, harus dikelola oleh negara sepenuhnya. Kerja sama dengan swasta seharusnya hanya terbatas pada pengadaan fasilitas, bukan pada pemeliharaan atau pengelolaannya.


Prinsip ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pengelolaan fasilitas publik yang vital untuk kehidupan masyarakat harus tetap berada di tangan negara, bukan dikuasai oleh sektor swasta yang hanya berorientasi pada keuntungan. Negara Islam, dengan struktur dan sistem yang adil, menjadi satu-satunya institusi yang mampu memastikan hal tersebut berjalan dengan baik, mengutamakan kesejahteraan umat tanpa mengabaikan kepentingan publik. Tanpa adanya institusi negara Islam yang bertanggung jawab, pengelolaan sumber daya vital ini akan rentan dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak, mengabaikan hak-hak dasar rakyat. Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar