Jakarta — Dilansir dari detiknews.com, Calon Gubernur Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung, mengatakan banyak warga di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, meninggal dunia saat perjalanan menuju ke rumah sakit. Dia berjanji akan membuat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Cakung jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Sering kali, ketika ada masyarakat yang sakit, belum sampai rumah sakit, sudah meninggal," sebut Pramono saat ditemui di Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (2/11/2024).
Pramono juga menyebut jumlah penduduk yang mencapai 600 ribu di Kecamatan Cakung membuat perlu untuk segera mendirikan RSUD di wilayah tersebut. Saat ini hanya tersedia puskesmas di wilayah Kecamatan Cakung. (detiknews.com, 3/11/2024)
"Kalau di Cakung ini penduduknya 600 ribu terlalu padat, nggak punya rumah sakit daerah, nggak ada rumah sakit di Cakung. Nggak punya RSUD, yang ada baru puskesmas," ungkapnya.
Kecamatan Cakung di Jakarta Timur belakangan ini telah menunjukkan perkembangan pesat, dengan jumlah penduduk yang mencapai 600 ribu jiwa. Angka ini mencerminkan pertumbuhan penduduk yang signifikan, serta meningkatnya mobilitas dan aktivitas masyarakat. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tidak diiringi oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.
Saat ini, masyarakat Cakung hanya memiliki akses ke puskesmas sebagai fasilitas kesehatan utama. Meskipun puskesmas memiliki peran penting dalam memberikan layanan kesehatan dasar, kapasitas dan jenis layanan yang dapat diberikan terbatas. Puskesmas mungkin tidak mampu memenuhi semua kebutuhan medis yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, terutama untuk kasus-kasus yang lebih kompleks atau darurat yang memerlukan perawatan lanjut.
Di sisi lain, Jakarta kerap kali dipandang sebagai simbol kemajuan dan perkembangan. Namun, di balik gemerlap pencakar langit dan hiruk-pikuk kehidupan urban, terdapat sisi kelam yang menghinggapi sistem kesehatan, terutama di rumah sakit.
Saat pembangunan berjalan menuju masyarakat maju, muncul pertanyaan mendasar, "Apakah semua ini benar-benar untuk kepentingan kesehatan masyarakat, atau hanya strategi untuk mengejar keuntungan ekonomi yang semakin menguat?"
Pembangunan yang seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup sering kali terjebak dalam jaringan ekonomi kapitalis yang mementingkan profit di atas segalanya.
Banyak rumah sakit di Jakarta yang kini bertransformasi menjadi entitas bisnis. Mereka lebih fokus pada pemasaran layanan premium dan fasilitas mewah yang menarik pelanggan kaya, ketimbang memberikan perhatian yang layak kepada masyarakat umum yang sebenarnya sangat membutuhkan akses kesehatan. Keterjangkauan layanan kesehatan yang seharusnya menjadi fokus utama, justru terabaikan.
Di tengah maraknya pembangunan rumah sakit swasta yang berteknologi tinggi, banyak rumah sakit umum daerah yang terseok-seok akibat minimnya perhatian dan dana. Masyarakat yang kurang mampu dihadapkan pada pilihan sulit, mencari pengobatan di rumah sakit yang mahal atau mengandalkan fasilitas kesehatan yang terbatas dengan kualitas yang tidak terjamin. Ironisnya, layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak semua orang, justru menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Selain masalah biaya, terdapat pula isu dalam pelayanan. Kapasitas rumah sakit yang tak sebanding dengan jumlah pasien menyebabkan antrean panjang dan kurangnya perhatian medis. Banyak dokter dan tenaga kesehatan yang terbebani dengan beban kerja yang berat, sehingga kualitas pelayanan pun terkadang terabaikan. Dalam situasi ini, pasien sering kali diperlakukan bukan sebagai individu yang membutuhkan pertolongan, tetapi sebagai angka dalam sistem yang lebih besar.
Pembangunan rumah sakit seharusnya berjalan beriringan dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Alih-alih mengedepankan pelayanan kesehatan, pemerintah dan pengelola rumah sakit hanya fokus pada menjalankan kesehatan masyarakat yang sudah ada sesuai dengan dana pemerintah dan kualitas minimal.
Rumah sakit di Jakarta, yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan dan perawatan, kini tidak jarang terjerat dalam praktik ekonomi kapitalis yang mengutamakan keuntungan dibandingkan kepentingan kesehatan masyarakat.
Dalam banyak kasus, pembangunan rumah sakit baru tidak selalu didorong oleh kebutuhan masyarakat yang mendesak. Sebaliknya, sering kali proyek-proyek tersebut lebih terlihat sebagai peluang bisnis bagi investor dan pengusaha. Mereka melihat bisnis kesehatan sebagai ladang subur untuk menghasilkan keuntungan, mengabaikan prinsip dasar dari pelayanan kesehatan yang seharusnya bersifat humanis dan egaliter. Hal ini membawa dampak langsung pada aksesibilitas layanan kesehatan bagi masyarakat umum.
Banyak rumah sakit swasta yang lebih memilih untuk melayani pasien dengan biaya premium atau pasien yang mampu membayar, sementara pasien dari kalangan ekonomi menengah ke bawah sering kali terpaksa menghadapi proses administrasi yang berbelit-belit atau bahkan ditolak untuk dirawat. Ini jelas menciptakan jurang pemisah antara mereka yang mampu dan tidak mampu dalam mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai.
Selanjutnya, fenomena “medical tourism” atau wisata medis juga menjadi sorotan. Banyak rumah sakit di Jakarta yang mengarahkan fokusnya pada pasien asing, menawarkan paket-paket layanan kesehatan yang menggiurkan. Ini, meskipun positif untuk perekonomian, mengakibatkan pasien lokal sering kali terpinggirkan, menghadapi antrean panjang dan kualitas layanan yang mungkin menurun akibat prioritasi kepada pasien asing.
Selain itu, kualitas pelayanan kesehatan juga menjadi perhatian. Dalam upaya untuk memaksimalkan keuntungan, beberapa rumah sakit mungkin mengurangi biaya operasional dengan cara mengurangi jumlah tenaga kesehatan yang terlatih atau fasilitas yang memadai. Ini tentu saja berdampak pada kualitas perawatan yang diterima oleh pasien, yang seharusnya mendapatkan standar pelayanan kesehatan yang optimal.
Di tengah situasi yang miris ini, sudah saatnya kita meninjau kembali paradigma pembangunan kesehatan yang ada. Sebuah perubahan yang mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan sekadar demi laba, harus menjadi prioritas.
Hanya dengan cara ini, kita bisa berharap untuk mengubah wajah kesehatan di Jakarta menjadi lebih baik, saat setiap individu, tanpa memandang status ekonomi, dapat merasakan manfaat dari sistem kesehatan yang adil dan manusiawi. Sudah saatnya kita beralih dari orientasi profit semata ke sistem kesehatan Islam yang paripurna, maka setiap orang, tanpa memandang latar belakang ekonomi, dapat menikmati pelayanan kesehatan yang berkualitas dan manusiawi.
Di era peradaban Islam, khususnya antara abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, semangat ilmiah dan kemanusiaan tumbuh subur, menciptakan berbagai kemajuan di berbagai bidang, termasuk kesehatan dan medis. Rumah sakit pada masa ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat perawatan bagi yang sakit, tetapi juga sebagai pusat penelitian dan pengajaran.
Salah satu pencapaian paling menonjol adalah berdirinya rumah sakit yang dikenal dengan istilah "Bimaristan". Bimaristan ini merupakan lembaga kesehatan yang tidak hanya menawarkan layanan medis, tetapi juga memberikan pelatihan bagi para dokter dan tenaga medis. Menariknya, rumah sakit ini terbuka untuk semua lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial atau agama, sehingga mencerminkan nilai-nilai egalitarian yang sangat dijunjung tinggi dalam peradaban Islam.
Pelayanan kesehatan di Bimaristan dilengkapi dengan fasilitas yang sangat maju pada zamannya. Mereka menggunakan berbagai metode pengobatan, baik tradisional maupun inovatif. Obat-obatan yang digunakan merupakan hasil dari studi ilmiah yang mendalam, dan para dokter pada masa itu, seperti Ibnu Sina (Avicenna), mengembangkan buku-buku medis yang menjadi referensi baku di seluruh dunia.
Keberadaan rumah sakit ini juga ditandai dengan penerapan sistem manajemen yang efisien. Setiap pasien mendapatkan perhatian individu dan perawatan yang sesuai dengan kondisi kesehatan mereka. Selain itu, terdapat dokter spesialis yang menangani berbagai disiplin ilmu medis, seperti bedah, penyakit dalam, dan pembedahan mata, menciptakan layanan kesehatan yang prima dan menyeluruh.
Dengan adanya inovasi dalam bidang kesehatan, para pemikir muslim melahirkan berbagai alat medis dan teknik pembedahan yang tidak hanya membantu menyelamatkan nyawa, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup pasien.
Secara keseluruhan, era peradaban Islam memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan pelayanan kesehatan. Melalui rumah sakit yang maju, mereka tidak hanya memberikan perawatan medis, tetapi juga menegakkan prinsip keadilan sosial dan kepedulian terhadap sesama manusia. Selama periode ini, pelayanan kesehatan bertransformasi menjadi suatu disiplin ilmu yang terencana dan sistematis, yang membawa dampak positif bagi masyarakat luas dan meninggalkan warisan yang terus dikenang hingga hari.
Hanya dengan sistem pemerintahan berdasarkan akidah Islamlah, masyarakat akan mempunyai rumah sakit yang canggih dan maju serta mendapat fasilitas kesehatan yang sempurna. Khilafah Islam telah membuktikan bagaimana Islam menjadi penawar dan rahmat selama 13 abad lamanya.
Allah Swt. berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ القُرءانِ ما هُوَ شِفاءٌ وَرَحمَةٌ لِلمُؤمِنينَ وَلا يَزيدُ الظّٰلِمينَ إِلّا خَسارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian." (QS al-Isra (17): 82)
Alin F.M.
(Praktisi Multimedia dan Penulis)
0 Komentar