#EDITORIAL — Lawatan Presiden Prabowo ke Cina lalu berlanjut ke AS, menyiratkan posisi penting kedua negara tersebut bagi polugri Indonesia. Hanya saja, lawatan ini memunculkan polemik di tengah masyarakat soal ke mana polugri Indonesia di bawah kepemimpinan baru diarahkan, apakah condong ke Cina atau Amerika? Hal ini mengingat selama ini, kedua negara itu diketahui menjalankan politik konfrontatif, sedangkan dari masa ke masa Indonesia menjadi objek tarik-menarik di antara keduanya.
Sebagian pengamat menyebut, keputusan presiden untuk terlebih dahulu mengunjungi Cina menunjukkan kedudukan Cina lebih penting dibandingkan Amerika. Apalagi selama era pemerintahan Jokowi, Indonesia memang lebih banyak membuka hubungan ekonomi dengan Cina ketimbang Amerika. Oleh karena itu, menurut mereka, sikap Presiden Prabowo ini seakan menegaskan bahwa pemerintahannya ingin melanjutkan kebijakan tersebut dan tidak membuat kebijakan yang berbeda.
Namun, pengamat lain berpandangan bahwa kedua lawatan tersebut tidak serta-merta menunjukkan bahwa Indonesia memihak salah satu kubu. Presiden Prabowo, menurut mereka, hanya sedang berusaha mengambil manfaat maksimal dari setiap interaksi antarnegara. Terlebih presiden sendiri menegaskan jika hubungan yang dibangun dalam polugri adalah hubungan kolaborasi, bukan konfrontasi, dan ini adalah jalan untuk perdamaian. Sikap Indonesia, kata presiden, sangat jelas, yakni selalu non-align (tidak memihak) dan menghormati semua kekuatan besar di dunia.
Di Antara Dua Raksasa: Hubungan dengan Cina
Dugaan polugri Indonesia condong ke Cina tentu bukan tanpa alasan. Faktanya, Indonesia punya sejarah tersendiri dalam hubungannya dengan Cina, mulai sejak era Soekarno hingga Jokowi. Bahkan, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan Jokowi, hubungan Cina-Indonesia disebut-sebut berada pada taraf tertinggi dan pada masa terbaiknya sepanjang sejarah. Betapa tidak? Selama 10 tahun terakhir, Cina sudah menjadi mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Cina pun merupakan satu dari tiga sumber investasi asing terbesar ke Indonesia selama delapan tahun terakhir.
Selama era ini pula, Indonesia dan Cina, khususnya melalui Menteri Investasi dan Kemaritiman Luhut B. Panjaitan, sudah menjalin kerja sama bilateral dalam beberapa sektor strategis. Sampai-sampai karena dinilai berkontribusi besar dalam membangun hubungan Indonesia-Cina ini, Luhut sempat diberi gelar Profesor Kehormatan dari Tsinghua University.
Adapun sektor-sektor strategis tersebut di antaranya, pertama, sektor maritim. Hal ini sejalan dengan ambisi Xi Jinping yang ingin membangun kembali Jalur Sutra Maritim (New Maritime Silk Road) yang “dimanfaatkan” oleh pemerintahan Indonesia untuk membangun berbagai infrastruktur melalui skema foreign direct investment (FDI), termasuk membangun infrastruktur pendukung dalam usaha meningkatkan konektivitas—yang salah satunya diklaim akan berkontribusi positif pada pengembangan ekonomi maritim dan lainnya.
Tidak heran jika pada masa ini, investasi Cina mengucur bak pancuran dan diklaim oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir telah berdampak signifikan yang berimbas pada hilirisasi industri dan pemerataan ekonomi serta lapangan kerja. Ia juga mengeklaim bahwa selain proyek konektivitas infrastruktur, kemitraan strategis ini juga telah menghasilkan sejumlah capaian penting, termasuk di antaranya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur.
Kedua, terkait isu stabilitas kawasan, khususnya terkait Laut Cina Selatan. Pada isu ini, Cina punya banyak kepentingan untuk mendapat dukungan dan kontribusi dari Indonesia, terutama dalam menyelesaikan konflik di kawasan, termasuk membantu diplomasi negara Cina kepada negara-negara tetangganya. Pada saat yang sama, Indonesia sendiri punya kepentingan menjaga perbatasan dan kedaulatan maritimnya, termasuk di Kepulauan Natuna Utara yang selama ini menjadi rebutan di antara kedua negara.
Ketiga, peningkatan hubungan antarwarga bukan hanya berbicara soal arus masuk-keluar wisatawan setiap negara, melainkan juga mencakup beragam kalangan, termasuk akademisi, pelajar, seniman, budayawan, dan berbagai kelompok agama. Presiden Jokowi tampak sangat konsisten melanjutkan kebijakannya ini. Pada Oktober 2023, ia bahkan sempat menghadiri Forum Sabuk dan Jalan (Belt and Road Forum) ke-3 di Beijing sebagai forum inisiatif pemerintah Cina untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pihak pemerintah Indonesia juga terus melakukan pertemuan-pertemuan High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRT, termasuk pertemuan keempatnya yang diselenggarakan di Labuan Bajo, NTT, pada 19 April 2024. Hasilnya adalah komitmen kuat untuk melanjutkan hubungan, termasuk oleh pemerintahan berikutnya.
Oleh karena itu, tidak heran jika pada lawatannya sebagai presiden selama tiga hari pada 8—10 November 2024 kemarin, Presiden Prabowo melakukan kunjungan khusus ke Cina. Targetnya adalah meneguhkan komitmen pemerintahan sebelumnya, yakni tetap berkomitmen melakukan kerjasama erat di bidang ekonomi, bisnis, hingga politik luar negeri dalam kerangka BRI.
Lawatannya ini pun dipandang berhasil karena telah berhasil menyepakati tujuh kerja sama bilateral, global, dan bisnis, termasuk menarik investasi sebesar US$10,07 miliar atau setara sekitar Rp157,64 triliun di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, hilirisasi 26 komoditas utama dalam negeri, serta di bidang pemajuan sains dan teknologi. Bahkan Cina menyampaikan kesiapan untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta melakukan kerja sama maritim dalam rangka memelihara perdamaian dan persahabatan di Kawasan.
Di Antara Dua Raksasa: Hubungan dengan Amerika
Meski hubungan Indonesia seperti tidak terpisahkan dengan Cina, tetapi mengatakan Indonesia tidak berniat mengembangkan kerja sama dengan AS juga tentu tidak sesuai fakta. Lawatan Prabowo ke Amerika setelah ke Cina, bahkan komunikasinya secara langsung via telepon dengan presiden terpilih Donald Trump justru menegaskan sikap Indonesia yang tidak bisa lepas dari Amerika. Dalam akun Instagramnya, Presiden Prabowo bahkan menyampaikan harapan agar dapat meningkatkan kerja sama antara kedua negara dan melakukan diskusi yang lebih produktif pada masa mendatang.
Jika menilik ke belakang, seperti halnya dengan Cina, Indonesia pun punya sejarah hubungan yang panjang dengan Amerika dalam posisinya sebagai negara adidaya. bahkan dalam sejarahnya, bisa dikatakan, Indonesia tidak pernah memiliki sentimen historis dengan Amerika sebagaimana Vietnam, misalnya.
Hubungan yang paling erat terjalin saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Saat itu, ia sangat berambisi untuk mempercepat proyek pembangunan nasional, di tengah ambisi AS untuk mengukuhkan hegemoni kapitalisme dan menyingkirkan komunisme di Indonesia yang kaya sumber daya.
Walhasil, keran investasi AS pun mengalir deras. Sampai-sampai dikatakan, pada era ini, Amerika menjadi inti bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Namun pada saat yang sama, Indonesia harus merelakan berbagai kekayaan strategisnya kepada perusahaan-perusahaan Amerika, salah satunya tambang emas di Papua dan beberapa blok migas di berbagai wilayah Indonesia.
Pada era pemerintahan SBY, hubungan ini terus diperkuat, antara lain dengan menyepakati beberapa perjanjian, baik pada masa kepemimpinan George Bush maupun Barack Obama. Pada 2006, antara SBY dan Bush saat kunjungannya ke Bogor, terjadi joint statement yang mengakui adanya hubungan yang sangat spesial antara kedua negara dan rakyatnya. Pada masa ini, kedua negara melakukan berbagai kerja sama, seperti di bidang penanggulangan terorisme, pemberantasan korupsi, dan penegakan demokrasi.
Pada era kepemimpinan Barack Obama (2010), SBY hubungan tersebut terus berlanjut. Keduanya sempat menandatangani perjanjian Indonesia-US Comprehensive Partnership Agreement yang merupakan komitmen jangka panjang Presiden Obama dan SBY untuk memperluas, memperdalam, dan meningkatkan hubungan bilateral antara AS dan Indonesia. Kerja sama ini meliputi bidang saintek, kemaritiman, pendidikan, lingkungan hidup, keamanan dan perdagangan. Bahkan pengarusan moderasi Islam yang sangat membahayakan umat Islam juga dimulai pada era ini. Hal tersebut sejalan dengan politik soft power Obama di dunia Islam setelah kegagalan politik hard power pendahulunya.
Yang paling menonjol, saat itu AS terlibat penuh dalam proyek implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disebut-sebut bertujuan untuk mewujudkan Visi Indonesia 2015 dan mempersiapkan daya saing bangsa Indonesia dalam menghadapi pasar terbuka ASEAN dan Asia Pasifik.
Dalam hal ini, AS terlibat dalam mengembangkan koridor-koridor utama khususnya di wilayah Sumatra, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur dengan nilai total investasi sebesar Rp4.934,8 triliun hingga 2014. Digadang-gadang semua proyek investasi ini bisa membantu meningkatkan perekonomian Indonesia dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya.
Namun, proyek MP3EI ini akhirnya gagal. Negara malah menerapkan prinsip kesejahteraan terbalik, ketika faktanya, yang mendapat banyak insentif dan fasilitas justru adalah korporasi raksasa. Adapun rakyat justru makin termiskinkan dan kerusakan alam pun justru tidak terhindarkan, hingga Indonesia terus mendapat tekanan untuk bertanggung jawab dalam soal-soal lingkungan.
Adapun pada masa kepemimpinan Jokowi, hubungan dengan AS tetap terjalin mesra, meski tidak semesra dengan Cina. Hubungan tersebut salah satunya dikuatkan ketika dalam kunjungan ke Washington DC pada November 2023 Indonesia dan AS di bawah Joe Biden bersepakat untuk meningkatkan status kemitraan menjadi Comprehensive Strategic Partnership.
Semua ini diklaim dilakukan dalam rangka mengatasi tantangan global dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya untuk sektor investasi dan pembangunan, perdagangan bebas atau akses pasar yang lebih luas. Juga berkontribusi terhadap perdamaian dunia, khususnya terkait soal keamanan kawasan Indo-Pasifik, serta soal penyelesaian masalah Palestina meski dalam skema Two-State Solution besutan Amerika.
Meneguhkan Diri sebagai Negara Pengekor, Hingga Kapan?
Dengan melihat posisi Indonesia di antara kedua negara raksasa, tampak bahwa sejatinya Indonesia masih jauh dari kata mandiri dan merdeka. Sebagaimana dunia Islam lainnya, Indonesia faktanya masih berputar di sekitar kepentingan kedua negara, bahkan menjadi objek persaingan hegemoni mereka pada segala aspeknya.
Narasi “politik bebas aktif” yang terus digembar-gemborkan pemimpin Indonesia dari masa ke masa nyatanya juga hanya slogan tanpa makna. Bahkan kian tampak, saat ini Indonesia seakan mengemis-ngemis, mencari cantolan alias dewa penolong untuk menyolusi problem-problem pragmatiknya. “Kebetulan” saja, Cina bertindak lebih responsif, ramah, dan siap jorjoran dalam menjawab kebutuhan pemerintah Indonesia, sehingga hubungan Indonesia-Cina pun tampak lebih istimewa.
Tengok saja, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) era Jokowi, misalnya, mencatat nilai investasi Cina di Indonesia selama lima tahun terakhir mencapai US$30,2 miliar untuk 21,022 ribu proyek kerja sama. Sedangkan investasi AS pada periode yang sama tercatat “hanya” sebesar US$839,3 juta. (Data Indonesia, 7-11-2024). Bisa jadi ini semua karena problem dalam negeri Cina tidak sedang separah Amerika.
Masalahnya, saat ini Cina sudah meneguhkan dirinya sebagai negara kapitalis kolonial sebagaimana Amerika, meski dalam konteks konstelasi politik global, Amerika masih menjadi negara pertama. Oleh karenanya, Indonesia mau bersama Cina atau Amerika, sebetulnya sama saja. Keduanya adalah sama-sama negara kolonial yang memiliki kepentingan besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara jajahannya.
Terlebih, Indonesia memiliki banyak potensi yang dibutuhkan untuk mengukuhkan posisi mereka sebagai negara adidaya. Indonesia punya posisi geopolitik dan geostrategis yang luar biasa, menjadi jalur utama perdagangan dan keamanan yang tidak ada duanya. Potensi SDM dan SDA-nya pun sangat luar biasa sehingga menguasai Indonesia adalah jaminan bagi keberlangsungan eksistensi politik dan ekonomi mereka atas segala bangsa di dunia.
Satu-satunya penghalang bagi target penjajahan mereka di Indonesia adalah keberadaan Islam di tengah rakyatnya. Meski ikatannya makin longgar, tetapi potensi Islam masih berpeluang untuk menjadi sumber kebangkitan. Terlebih dakwah ideologis di tengah mereka kian hari kian masif dan dipandang sebagai ancaman. Tidak heran jika proyek-proyek deideologisasi Islam, deradikalisasi, dan moderasi terus digencarkan.
Pertanyaannya, sampai kapan bangsa ini rela menjadi pecundang? Alih-alih bangkit memimpin perlawanan, para pemimpinnya justru mencari jalan aman dengan memilih bergandengan tangan dengan para penjajah yang jelas-jelas telah merenggut masa lalu dan masa depan peradaban mereka di bawah panji Islam. Padahal, Allah Swt. berfirman, “… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS an-Nisa: 141)
Walhasil, baik Cina maupun Amerika, sejatinya tidak layak menjadi harapan dan penolong kaum muslim di dunia, termasuk bangsa Indonesia. Keduanya adalah sama-sama pengemban ideologi sekuler kapitalisme yang bertentangan secara diametral dengan apa yang dianut umat Islam dunia. Bahkan, tidak bisa dimungkiri, ideologi rusak ini telah membawa malapetaka bagi dunia dan seisinya.
Terlebih faktanya, saat ini kedua negara sedang memiliki banyak masalah internal yang berpotensi besar menghancurkan negara ini dari dalam. Problem tersebut antara lain berupa kesenjangan sosial yang tinggi di masyarakat, tingkat kelahiran bayi yang rendah, merebaknya kerusakan moral dan kriminalitas, maraknya pengangguran, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Jadi, alangkah naifnya jika para penguasa negeri ini justru berpikir bahwa bangsanya akan bangkit sejahtera dengan mengekor pada mereka. Salah satunya seperti pernyataan Presiden Prabowo terkait lawatannya ke Cina. Ia mengatakan bahwa Indonesia patut belajar untuk mengentaskan kemiskinan ke Cina, padahal dengan ideologi kapitalismenya, Cina dan Amerika sama-sama bertanggung jawab atas merebaknya kemiskinan dunia.
Khatimah
Sudah semestinya kaum muslim bangkit dengan ideologinya sendiri, yakni Islam, ideologi yang pernah mengantarkan mereka pada posisi terdepan. Sejarah mencatat, saat umat Islam hidup di bawah naungan sistem Islam, yakni al-Khilafah, sepanjang belasan abad pula mereka tampil sebagai pionir peradaban. Justru ketika mereka melepaskan ikatannya dengan sistem Khilafah dan mengadopsi sistem sekuler kapitalisme, mereka menjadi umat terjajah hingga sekarang.[]
0 Komentar