#TelaahUtama — Belum sebulan menjabat, agenda kegiatan presiden terpilih Prabowo Subianto tampak cukup padat. Jadwal kenegaraan Prabowo dalam 1 bulan ke depan terfokus pada ‘pembenahan’ hubungan internasional dan positioning negara di kancah dunia. Yang lebih menarik lagi, kunjungan luar negeri Prabowo pada 8—24 November kelak didominasi oleh agenda ekonomi dengan lawatan dalam KTT APEC (Asia-Pacific Economy Cooperation) dan G20. Sedangkan sebelumnya pada Oktober lalu, Prabowo telah mengutus Menteri Luar Negeri Sugiono untuk mengikuti KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia dengan maksud ‘melamar’ untuk bergabung menjadi anggota.
Langkah yang diambil Prabowo melalui kunjungan kenegaraannya beserta jajarannya sejalan dengan target pemerintahannya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi negara hingga delapan persen. Target yang ditetapkan Prabowo Subianto tersebut dianggap mencerminkan upaya kabinetnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam perombakan strategi ekonomi, presiden terpilih memfokuskan perhatiannya pada penghapusan kemiskinan melalui investasi, ekspor, serta pengembangan sektor-sektor strategis seperti manufaktur, teknologi, dan pertanian.
Indonesia memang tengah menghadapi permasalahan ekonomi yang cukup pelik. Deflasi terus-menerus dalam beberapa bulan terakhir disertai dengan meningkatnya angka pengangguran dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga masalah menurunnya daya beli masyarakat kalangan kelas menengah menjadi tantangan luar biasa dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Angka delapan persen tampak begitu ‘tinggi’ karena selama 10 tahun pemerintahan Jokowi saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan pada level lima persen. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika Prabowo tampak ‘getol’ melakukan kunjungan kenegaraan yang sejatinya berhubungan langsung dengan pencapaian pemerintahannya menuju pertumbuhan ekonomi negara hingga level delapan persen.
Tidak dipungkiri Indonesia memiliki kemampuan fiskal yang sangat terbatas. Untuk menaikkan kemampuan fiskal Prabowo telah memerintahkan jajarannya untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ke 23%. Setoran penerimaan negara digenjot harus mampu memenuhi kebutuhan belanja negara dengan target pendapatan negara pada 2025 mencapai Rp3.005,1 triliun, yang didukung oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun (ssas.co.id, 21/10/2024). Namun, ekspansi fiskal saja dianggap tidak cukup untuk melepaskan Indonesia dari kondisi perekonomian yang memprihatinkan.
Untuk meraih pertumbuhan ekonomi ‘instan’ dalam kurun waktu 5 tahun saja, Indonesia dianggap perlu mendapat suntikan dana alias investasi kurang lebih sekitar Rp13.000 triliun per 5 tahun, baik dalam bentuk penyertaan modal asing (PMA) ataupun dalam negeri (PMDN). Sementara target dan realisasi investasi RI baru di kisaran Rp1.800—2.000 triliun per tahunnya (finance.detik.com, 24/10/2024). Selain itu, Indonesia harus menggenjot sektor ekspor di tengah-tengah meningkatnya tensi geopolitik dunia saat ini. Maka dari itu, kehadiran Prabowo ataupun jajarannya di pertemuan ekonomi dunia semisal KTT BRICS Plus, KTT APEC, dan G20 menjadi suatu kebutuhan.
Sejarah mencatat Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi minimal delapan persen sebanyak lima kali, masing-masing pada tahun 1968 sebesar 10,92%, tahun 1973 sebesar delapan koma sepuluh persen, 1977 sebesar delapan koma tujuh puluh enam persen, 1980 sebesar 9,88%, dan terakhir pada tahun 1995 sebesar delapan koma dua puluh dua persen. Pertumbuhan ekonomi ‘fantastis’ tersebut terjadi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto atau biasa kita sebut sebagai masa Orde Baru. Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Soekarno, yang menolak mentah-mentah bantuan asing dan menarik diri dari keanggotaan IMF (International Monetary Funding) dan Bank Dunia, Soeharto secara aktif memulai aliran bantuan keuangan terutama dari pihak asing untuk membiayai pembangunan Indonesia. Mekanisme pasar bebas di Indonesia pun ‘dirombak’ melalui implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Walhasil, pertumbuhan ekonomi di tahun 1968 mampu menembus angka di atas 10%.
Percepatan ekonomi Indonesia di era 1970—'80-an diuntungkan secara signifikan dari dua fenomena ‘oil boom’ sebagai imbas situasi geopolitik Timur Tengah. Praktis, situasi yang menyebabkan harga minyak dunia melonjak menjadikan Indonesia yang merupakan negara penghasil minyak ‘ketiban durian runtuh’. Antara tahun 1973—1974 dan 1974—1975 pendapatan negara dari minyak naik hingga tiga kali lipat. Bahkan di akhir 1970-an, setengah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) diperoleh dari pendapatan minyak. Berkat kenaikan pendapatan yang cukup signifikan, rezim Soeharto bisa melakukan banyak pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara hingga tujuh persen bahkan lebih.
Tampaknya Prabowo ingin berkaca dari keberhasilan mantan mertuanya tersebut guna mencapai pertumbuhan ekonomi hingga level delapan persen. Pilihan Prabowo untuk ‘melamar’ bergabung pada KTT BRICS Plus juga menjadi sinyal perubahan arah gerak perekonomian Indonesia. Sebelumnya, Indonesia tampak lebih condong kepada negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dengan bergabung di G20 maupun APEC dan ‘cawe-cawe’ dengan Blok Timur terutama Tiongkok melalui proyek-proyek besar semacam kereta cepat Whoosh. Namun dengan pengajuan Indonesia untuk bergabung bersama BRICS Plus yang beranggotakan di antaranya Rusia dan Cina, perekonomian Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo akan jauh lebih terbuka terhadap asing baik Blok Barat maupun Timur.
Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa langkah-langkah ekonomi yang diambil Soeharto dulu nyatanya menjadi boomerang di masa-masa akhir kepemimpinannya. Di akhir 1980-an sistem finansial Indonesia kehilangan kontrol disertai dengan pembengkakan utang luar negeri. Kekurangan data finansial yang serius, peraturan dan kerangka hukum yang lemah, serta aliran uang ilegal ke pihak asing dan aseng menjadikan Indonesia mengalami pukulan paling keras saat krisis moneter melanda Indonesia.
Di kala itu, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi utang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp650 triliun. Momen ini kemudian dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan. Dari sini terlihat bagaimana utang kerap menjadi jebakan ekonomi suatu negara bagi negara lain dan berujung pada efek tidak langsung, yaitu diperbudak investor. Ketika suatu negara berutang, pemerintahnya berharap akan ada pajak yang masuk untuk membayar utang (dicicil dan dilunasi).
Utang pun kian tidak terkendali karena menghasilkan bunga berbunga sehingga cicilan hanya bisa ditutup dengan utang baru. Misalnya saja utang Indonesia yang diperkirakan Rp7.000 triliun saat ini menjadikan cicilan utang mencapai 30% APBN atau sebesar Rp700 triliun/tahun. Utang bernilai ‘fantastis’ ini baru akan lunas dalam 10 tahun apabila tidak disertai riba dan tidak ada defisit (utang baru). Dengan demikian, tampak jelas betapa berbahayanya sistem perekonomian berbasis ribawi yang menjadi biang kerok dalam meluluhlantakkan perekonomian Indonesia.
Investasi asing dan swasta yang sempat digalakkan Soeharto untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pun mengalami kebuntuan. Akibat dari nilai investasi yang ‘ugal-ugalan’, utang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$18,8 miliar pada 1990. Tujuh tahun kemudian utang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$82,2 miliar. Beban utang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997.
Investasi yang kini selalu dielu-elukan hakikatnya adalah malapetaka bagi rakyat. Investasi yang katanya mendukung pertumbuhan ekonomi nyatanya adalah mesin pencetak utang. Dengan karakter proyek-proyek padat modal, skema investasi nyatanya tidak banyak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat pribumi, yang ada justru masuknya tenaga kerja asing secara besar-besaran sehingga menyingkirkan kesempatan pekerja dalam negeri untuk mengakses kesempatan kerja dan menimbulkan banyak konflik horizontal.
Apalagi, kegiatan investasi membutuhkan adanya kepastian hukum, yaitu perundang- undangan yang memudahkan investasi dan keyakinan akan keuntungan yang dapat diraih pada masa mendatang. Kondis ini menyebabkan kebijakan-kebijakan penguasa cenderung menguntungkan para cuan dibanding kesejahteraan rakyat. Sebut saja pengesahan UU Cipta Kerja pada tahun 2022 yang baru saja ‘disesuaikan’ melalui putusan MK (Mahkamah Konstitusi) beberapa hari lalu menjadikan impor semakin masif, utang meroket, liberalisasi dan swastanisasi menggila, pajak kian tinggi hingga penghapusan subsidi bagi rakyat.
Di tengah-tengah jatuhnya kejatuhan sektor tekstil Indonesia misalnya, rezim bukannya berkaca pada penerapan ekonomi kapitalis-liberal yang merusak melainkan justru menumpukan harapan pada suntikan dana asing. Awal bulan ini, sebanyak 15 investor asal Taiwan menyatakan niatnya merelokasi bisnisnya di sektor tekstil ke Indonesia (money.kompas.com, 02/11/2024). Namun belum apa-apa, perwakilan para investor dari Taiwan Textile Federation dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sudah menyebutkan 4 permintaan yaitu dimudahkan membeli tanah, meminta Indonesia mematuhi kerangka kerja dan ESG compliance (tata kelola) sesuai regulasi perusahaan, diberikan harga gas murah, dan percepatan penyelesaian perjanjian perdagangan European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Dengan ini tampak nyata investasi sejatinya lebih condong menjadi eksploitasi ekonomi ketimbang peluang ekonomi bagi masyarakat banyak. Investasi asing dan swasta justru menjadi ajang eksploitasi SDA (Sumber Daya Alam) secara terus-menerus yang keuntungannya hanya akan dialirkan kepada para cuan. Contoh nyata dari petaka investasi adalah hilirisasi batubara yang memberi keuntungan lebih dari Rp4000 triliun kepada pihak swasta tetapi menimbulkan kerusakan lingkungan parah, gagal panen, pencemaran air dan tanah hingga pembentukan lubang galian tambang.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang akan membawa kesejahteraan hanyalah sekedar asumsi belaka. Dalam menghitung pertumbuhan ekonomi, variabel yang dilibatkan adalah investasi, konsumsi, ekspor, dan impor. Jika salah satu saja variabelnya naik signifikan maka akan sangat mempengaruhi kenaikan pertumbuhan ekonomi. Padahal, perhitungan ala ekonomi kapitalis semacam ini tidak terkait sama sekali dengan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Pada kenyataannya kekayaan SDA Indonesia justru lebih besar dinikmati para pemilik korporasi dan investor.
Dari sini kita bisa menilai bagaimana masa depan perekonomian Indonesia 5 tahun ke depan. Indonesia justru kian terjerumus dalam kubangan utang dan cengkeraman asing. Kebijakan rezim berbasis utang ribawi melalui skema investasi pun akan menjadi blunder yang makin menguatkan penjajahan ekonomi. Akhir dari jebakan utang dan investasi hanyalah beban yang harus ditanggung rakyat. Kehidupan makin sulit karena pajak yang tinggi, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, kerusakan alam secara masif sebagai akibat eksploitasi SDA, hingga kemiskinan dan pengangguran menjadi penyakit turunan yang tidak akan ada habisnya. Inilah potret buruk penerapan ekonomi kapitalis-liberal. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar