Mewujudkan Kota Bogor Bersih dan Sehat, Cukupkah Hanya dengan Perda KTR?




Siti Rima Sarinah

(Aktivis Dakwah) 


#Bogor — Lagi-lagi Pemerintah Kota Bogor mendapatkan Penghargaan Implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 2024. Penghargaan tersebut berasal dari Kementerian Dalam Negeri dalam Pelatihan dan Lokakarya Nasional (Pentaloka). Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Bogor, Sri Nowo Retno menjelaskan bahwa sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Perda KTR, kata Retno dibuat dengan tujuan untuk melindungi perokok pasif dari paparan asap rokok orang lain, menciptakan lingkungan yang sehat dan segar tanpa asap rokok, sekaligus mencegah perokok pemula di kalangan anak/remaja demi terwujudnya Kota Bogor yang bersih dan sehat dan terbebas dari asap rokok. Tidak hanya itu, Kota Bogor juga memberlakukan larangan iklan produk rokok yang tertuang dalam Peraturan Walikota No. 3 tahun 2014 tentang larangan penyelenggaraan reklame produk rokok. (antaranews.com, 06/11/2024)

Program KTR ini tentu memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk bisa menghirup udara bersih dan sehat tanpa asap rokok. Keberadaan program ini perlu mendapatkan apresiasi oleh masyarakat dan pihak-pihak lain atas upaya pemerintah untuk mengurangi polusi dan meminimalisir penyakit yang disebabkan asap rokok. Dalam Perda KTR juga disebutkan bahwa pelanggaran terhadap Perda tersebut akan mendapatkan sanksi teguran pertama dan kedua serta ketiga dengan denda sebesar Rp29.047.000 yang akan disetorkan ke kas negara. Perlu diketahui juga bahwa implentasi Perda KTR merupakan program penting untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. 

Namun sayangnya, di balik upaya keras yang telah dilakukan oleh Pemkot Bogor untuk mewujudkan udara yang sehat dan bersih tanpa asap rokok, upaya ini tidak dibarengi dengan peraturan pemerintah agar para produsen rokok menghentikan produksinya. Padahal, sudah sangat jelas yang menjadi biang hadirnya polusi rokok adalah karena rokok masih beredar di pasaran dan mudah untuk dikonsumsi oleh siapa saja baik anak-anak, remaja maupun orang dewasa, bahkan lansia. 

Jika pemerintah serius untuk menghilangkan polusi asap rokok, maka pemerintah harus melarang dan memberi sanksi tegas kepada produsen rokok. Jika hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah, maka apa pun usaha yang dilakukan untuk mengatasi polusi rokok hanya akan sia-sia. Masyarakat tentu tidak akan mengonsumsi rokok, apabila rokok tidak beredar di pasaran. Selama rokok masih beredar di pasaran, walaupun ada sanksi tegas yang diberlakukan oleh pemerintah, tidak akan membuat masyarakat yang sudah kecanduan rokok akan berhenti merokok.

Nyatanya, pemerintah tidak mampu meminta produsen rokok untuk menghentikan produksinya, sebab rokok menjadi penyumbang pemasukan yang sangat besar bagi pemerintah. Industri rokok menjadi tulang punggung pendapatan negara melalui cukai dan pajak. Industri ini juga menopang perekonomian negara melalui penciptaan lapangan kerja mulai dari petani, penggiling tembakau, agen penjual, hingga karyawan pabrik (cnbc.com, 17/11/2023). Adapun realisasi penerimaan cukai tercatat sebesar Rp138,4 triliun per 31 Agustus 2024. (antaranews, 23/09/2024)

Dengan faktanya ini, jelas pemerintah tidak akan berani untuk melarang produsen rokok untuk berproduksi. Jika pemerintah melakukan hal tersebut, maka negara akan kehilangan sumber pundi-pundi cuan yang menjadi penopang dan tulang punggung perekonomian negara. Sungguh ironis memang, di satu sisi ingin menyelamatkan masyarakat dari bahaya polusi rokok, namun di sisi lain membiarkan biang kerok hadirnya polusi rokok tetap berproduksi. 

Inilah wajah sistem kapitalisme yang hadir mengatur kehidupan kita saat ini. Negara berperan setengah hati untuk menyelesaikan setiap persoalan kehidupan yang menimpa rakyatnya. Sistem yang mendewakan materi di atas segalanya, telah menggerus peran pemerintah yang seharusnya sebagai pelayan rakyat berubah fungsi menjadi pelayan kepentingam para pemilik modal. Bahkan demi cuan, apa pun akan dilakukan dan menjadikan rakyat sebagai tumbal berbagai kebijakan sistem kapitalisme. Hal ini sudah menjadi sebuah kelaziman.

Fakta ini tentu tidak akan ditemui dalam sistem pemerintahan yang berpedoman pada akidah Islam (sistem Khilafah). Dalam sistem Khilafah, penguasa akan senantiasa berkhidmat kepada rakyat, karena penguasa adalah pelayan bagi rakyat. Menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama apalagi terkait kesehatan dan kebersihan lingkungan masyarakat yang merupakan amanah bagi penguasa.

Negara berkewajiban mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat bagi seluruh rakyatnya. Maka negara akan memberikan fasilitas dan jaminan untuk mewujudkannya. Dengan pemetaan permukiman rakyat yang jauh dari sumber-sumber penyakit seperti tempat sampah dan rumah sakit. Tersedianya air bersih dan memahamkan kepada setiap individu rakyat akan pentingnya hidup sehat sehingga semua rakyat bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat.

Negara Khilafah pun melarang pendirian pabrik-pabrik yang membuat lingkungan menjadi kotor dan terjadi polusi yang menyebabkan penyakit seperti asap rokok. Masih banyak sektor produksi lainnya yang bisa menjadi peluang terbukanya lapangan pekerjaan bagi rakyat tanpa ada pihak-pihak yang dikorbankan, apalagi rakyat yang harus dikorbankan. Semua kebijakan dan aturan diterapkan berdasarkan prinsip akidah Islam dan menghilangkan kemudaratan bagi rakyat sehingga keberkahan senantiasa akan menaungi negara dan rakyatnya. Wallahualam.[]


Posting Komentar

0 Komentar