#CatatanRedaksi — Deflasi masih menghantui sejak Mei hingga September 2024. Lima bulan terakhir ini, kondisi perekonomian memperlihatkan dengan jelas, "Masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk belanja,” kata ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana. Oleh sebab itu, permintaan Bank Sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% mustahil terwujud. Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli (BBC.com, 4/10/2024).
Tercatat sebanyak 32.064 orang tenaga kerja terkena PHK pada periode Januari—Juni 2024. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang. Dari 38 provinsi di Indonesia, terdapat 10 provinsi dengan tingkat PHK tertinggi per Juni 2024. Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat PHK tertinggi sebanyak 7.469 karyawan. Berikut rinciannya, DKI Jakarta 7.469 karyawan; Banten 6.135 karyawan; Jawa Barat 5.155 karyawan; Jawa Tengah 4.275 karyawan; Sulawesi Tengah 1.812 karyawan; Bangka Belitung 1.527 karyawan; Riau 833 karyawan; Jawa Timur 819 karyawan; Kalimantan Barat 785 karyawan; Sumatera Utara 539 karyawan (detik.com, 2/8/2024).
Tambahan pula, pasar-pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya sepi pembeli. Lapak yang masih bertahan hanya di bagian luar pasar yang menyediakan bahan pangan. Fakta kondisi ekonomi yang memprihatinkan di masyarakat semakin menjadi-jadi. Namun, sampai detik ini seolah tidak ada tawaran solusi secara signifikan yang diberikan oleh pemerintah negeri ini, selain hanya susunan kabinet gemuk yang jadi gebrakan awal kekuasaannya. Formasi wajah lama yang menghiasi susuan kabinet gemuk sepertinya memunculkan pesimistis bagi masyarakat bahwa kondisi ekonomi ke depan akan sama saja, bahkan semakin berat.
Gaji dan tunjangan kabinet gemuk ini saja sudah membuat APBN jebol 70,26 miliar per-tahun, belum lagi pengadaan 109 kendaraan untuk operasional para menteri, wakil menteri, staf ahli dan utusan khusus ini. Terbayang akan berapa banyak anggaran negara yang digelontorkan hanya untuk operasional mereka. Padahal, kondisi rakyat hari ini butuh efisiensi kerja pemerintah untuk mendongkrak daya beli yang semakin terjun bebas, bukan malah dibebani dengan 'tubuh gemoy' yang akhirnya membuat mereka sulit bergerak. Jangankan mengurusi rakyat, untuk menopang tubuhnya yang kegemukan saja mereka sudah susah payah.
Tidak heran kiranya rakyat akan terus disuguhkan kondisi yang tidak memihaknya. Kalau toh ada solusi, pasti tidak akan sampai diberikan secara tuntas. Misalnya, lawatan sang presiden baru ke luar negeri dimungkinkan salah satu upaya untuk pengakuan dia sebagai pemerintah baru, juga tidak lupa agar menambah pasar investasi baru di negara-negara di dunia termasuk juga bergabungnya Indonesia secara resmi menjadi bagian dari BRICS. Karena BRICS (akronim dalam bahasa Inggris kependekan dari Brazil; Russia; India; China; South Africa; disingkat BRICS), adalah organisasi antarpemerintah yang terdiri dari Brasil; Rusia; India; Tiongkok; Afrika Selatan; Iran; Mesir; Etiopia; dan Uni Emirat Arab. Awalnya dibentuk untuk menyoroti peluang investasi. (Wikipedia.org)
Jelas keterpurukan kondisi ekonomi hari ini memang yang mungkin masih bisa dihisap dananya dengan bahasa investasi adalah dana asing. Miris, semakin terbuka saja "penjajahan gaya baru" dengan dalih investasi. Walhasil, penguasa justru akan mengupayakan dan memanjakan para investor asing. Sektor-sektor seksi negeri ini akan terus diobral untuk swasta asing dan lagi-lagi rakyat akan gigit jari. Pengulangan-pengulangan kenestapaan rakyat akan terus terjadi. Sampai kapan akan terus seperti ini?
Padahal, Indonesia dengan potensi alamnya yang “gemah ripah loh jinawi” sebagai anugerah dari Allah Swt. seharusnya bisa dikelola sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu sebagai kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan jadi bancakan investor asing dan dalam negeri yang dalam isi kepalanya hanya keuntungan dan eksploitasi. Kemaslahatan rakyat seharusnya menjadi perhatian bagi pemegang kekuasaan negeri ini. Allah Swt. sejatinya telah menggariskan bahwa fungsi dari penguasa adalah pengurus urusan rakyat.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "... Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya..." (HR Bukhari dan Muslim). Sehingga, kondisi ekonomi yang seperti ini sepatutnya menjadi perhatian penguasa, bukan justru mereka sibuk dengan urusan bagi-bagi kue kekuasaan sebagai wujud balas budinya.
Islam juga punya solusi yang signifikan terkait daya beli masyarakat yang turun dan kondisi terpukulnya kelas menengah yang jatuh miskin, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan, memutus keran impor yang sangat merugikan sektor produksi dalam negeri, memberi iklim kondusif produsen dalam negeri, dan kunci distribusi dipegang oleh negara, termasuk negara hanya senantiasa menggencarkan pergerakan di sektor riil semata. Jadi, transaksi-transaksi di masyarakat berjalan juga harus secara riil di pasar-pasar dan menghapuskan sektor non riil (pasar saham, valas, obligasi, dan lainnya), karena pasar saham yang merupakan pasar judi dunia dengan transaksi yang tidak jelas dan hanya menguntungkan para spekulan.
Tentu dalam model ekonomi kapitalistik fakta di atas adalah kondisi yang sangat mustahil. Hal itu karena dalam sistem ekonomi kapitalistik, sektor non riil sangat penting keberadaannya. Memang begitulah perbedaan fundamental sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalistik. Oleh karena itu, tidak mungkin akan terjadi perbaikan ekonomi yang menyejahterakan selama sistem yang diterapkan masih sistem kapitalisme seperti saat ini.
Krisis akan terus berulang, satu waktu deflasi satu waktu yang lain inflasi, kondisi ideal tidak akan pernah terjadi. Saatnya umat Islam di negeri ini merenung, apa yang salah dan harus diperbaiki dalam kehidupan ini. Yang jelas, tidak hanya mengambil Islam hanya sebagai acuan ibadah ritual, tetapi seharusnya mengambil Islam juga dalam mengatur semua aspek kehidupan termasuk sektor publik dan negara, karena begitulah kesempurnaan Islam ini. Allah menghendaki umat Islam untuk ber-Islam secara kafah baik dalam sistem ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, dan sistem sanksi. Jadi, jangan menunggu lebih lama lagi nestapa terus terjadi, saatnya Islam secara kafah bangkit kembali. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]
Hanin Syahidah, S.Pd.
0 Komentar