#TelaahUtama — Heboh, peternak susu sapi Boyolali membuang susu hingga 200 ton! Hal tersebut dilakukan pada Sabtu (9/11) sebagai bentuk protes mereka atas pembatasan kuota penjualan susu ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Dalam aksi khususnya, para peternak dan pengepul susu itu mengangkut sekitar 50 ton susu senilai Rp400 juta dalam puluhan drum dan tangki dengan beberapa mobil bak terbuka dari lokasi pengepul menuju Kantor Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali lalu diteruskan ke kawasan Tugu Susu Tumpah di Kecamatan Boyolali Kota.
Para pengepul susu menyebut alasan IPS membatasi pasokan susu adalah karena adanya kebutuhan perawatan pabrik, daya beli konsumen menurun serta perbaikan standar kualitas produk. Akibatnya, sejumlah KUD (Koperasi Unit Desa) menghadapi kelebihan pasokan. KUD di Boyolali misalnya, biasa menampung susu 140.000 liter per hari. Tetapi saat ini yang mampu terserap di industri baru sekitar 110.000 liter per hari. Artinya ada kelebihan produksi dari peternak yang tidak mampu terserap pabrik 30.000 liter per hari (ekonomi.bisnis.com, 10/11/2024). Kelebihan susu yang tidak diterima industri pun terpaksa harus dibuang karena susu segar tidak bisa bertahan lama terlebih dalam jumlah besar.
Fenomena ketidakterserapan susu sapi ini sebetulnya telah berulang kali terjadi, yaitu pada 2020 dan 2023. Namun, fenomena ini sebelumnya cukup jarang terjadi karena produksi susu dari para peternak sapi perah lokal masih dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, produksi susu segar di Indonesia hanya mencapai 968.980 ton atau setara 20% dari kebutuhan nasional sebesar 4,4 juta ton. Sisanya, yakni 80% kebutuhan susu masih harus dipenuhi dengan impor.
Hanya saja seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah diiringi deflasi berbulan-bulan lamanya, pasar dalam negeri kian lesu. Kondisi semacam ini memaksa IPS dalam negeri mengencangkan ikat pinggang, salah satunya dengan mengurangi biaya produksi. Kondisi sulit para peternak sapi perah lokal kian pelik tatkala produk lokal harus bersaing dengan susu impor yang berasal dari Australia dan Selandia Baru.
Indonesia memiliki perjanjian bea masuk perdagangan dengan Australia dan Selandia Baru melalui kesepakatan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA). Dengan adanya perjanjian itu, susu yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru mendapatkan fasilitas bea masuk nol persen. Sementara dari segi pajak, susu menjadi salah satu jenis barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022. Walhasil, harga susu impor lebih murah 5 persen ketimbang susu lokal.
Tidak hanya harga susu impor yang kelewat murah dibanding dengan susu lokal, kualitas susu impor pun relatif lebih terjamin dan lebih baik. Padahal, kualitas susu dalam negeri sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya dan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) di angka 9,3. Bahkan, tidak jarang peternak di desa-desa mampu mengirimkan ke IPS dengan kualitas di angka 12,5-12,8. Sayangnya, angka tersebut masih kalah dibanding susu impor yang biasanya di atas angka 13 (boyolali.go.id, 01/04/2021). Harga susu impor yang lebih murah disertai dengan kualitas yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan susu lokal tentu saja membuat banyak IPS lebih memilih untuk mengambil susu impor sebagai bahan baku produk mereka.
Terpuruknya nasib para peternak sapi perah lokal dirasakan juga oleh usaha ternak dan tani lainnya di seluruh penjuru negeri. Pasalnya, dengan pemberlakuan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2020 silam memberi kemudahan keran impor pangan dan produk ternak. UU No. 11/2020 secara nyata merugikan petani serta peternak dalam negeri dan melahirkan rezim ‘gila’ impor.
UU pasal 36B ayat (1) tahun 2014 yang sebelumnya berbunyi "pemasukan ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat,” diubah dalam UU No. 11/2020 diubah menjadi, "Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat.” Perubahan ini menjadi sinyal kuat bahwa impor produk hewan bisa dilakukan kapan saja tanpa adanya klausul ‘produksi dalam negeri belum tercukupi’. Tidak peduli apakah petani dan peternak akan panen atau negara sudah swasembada, impor bisa tetap berjalan.
Bengkaknya impor susu khususnya dan impor bahan pangan secara umum nyatanya tidak menjadi satu-satunya alasan ambruknya usaha ternak dan tani lokal. Dalam kasus susu Boyolali misalnya, sebanyak 1.300 peternak sapi perah terancam kehilangan mata pencaharian karena UD (Usaha Dagang) pengepul susu mereka tersandung masalah pajak. UD Pramono, pengepul susu di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Boyolali bahkan sempat berniat menutup usaha karena harus membayar pajak sebesar Rp670 juta.
UD Pramono tercatat membayar pajak perusahaan sebesar Rp10 juta per tahun sesuai kondisi UD pada tahun 2015, 2016 dan 2017. Kemudian pada tahun 2018 karena persaingan usaha penjualan susu semakin ketat, pihak UD Pramono meminta pajak diturunkan menjadi Rp5 juta. Namun, pada 2021 pihaknya memperoleh surat terkait tagihan pajak sebesar Rp2 miliar yang merupakan tunggakan bayar pajak sejak 2018. Mengaku tidak mampu membayar pajak dengan angka fantastis, pihak UD Pramono mendapat panggilan kembali dan diberi keringanan dengan cukup membayar Rp670 juta ‘saja’. UD Pramono pada akhirnya ‘mengibarkan bendera putih’ karena pendapatan usaha per tahun saja hanya Rp110 juta (metrotvnews.com, 07/11/2024).
Dari sini terlihat jelas bahwa permasalahan susu Boyolali tidak hanya sekedar mampu tidaknya IPS menyerap produksi susu lokal 100%. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan prokorporasi dan antirakyat rezim menjadikan nasib para peternak susu sapi perah Boyolali makin mengenaskan. Pemerintah tampak tidak serius dalam upayanya menjamin kesejahteraan para petani dan peternak lokal. Hal ini bisa kita lihat dari fokus pemerintah yang hanya memberikan solusi tambal-sulam yang justru tidak menyentuh akar masalah. Dalam hal mendorong peternak susu sapi lokal untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk saja penguasa negeri ini ‘ogah-ogahan’ dan memilih jalan pintas dengan menderaskan impor. Di sisi lain, usaha rakyat justru kian diberatkan dengan beban pajak yang terus meningkat.
Derasnya arus impor tidak hanya menghancurkan mata pencaharian para peternak dan petani lokal tetapi juga menjadi celah korupsi dalam perizinan impor pangan. Pasalnya, kebijakan pengendalian impor di Indonesia masih berbasis rezim kuota. Pemerintah membagi jatah impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri yang kemudian menjadi celah praktik korupsi. Kuota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dan praktik kartel karena kuota ini mensyaratkan surat persetujuan impor dan rekomendasi produk impor. Pemberian kuota impor pun tidak transparan ditambah dengan selisih harga internasional dan dalam negeri sangat besar yang akhirnya mendorong para pemburu renten beraksi.
Sistem ekonomi kapitalis yang diemban negeri ini nyatanya menjadikan oligarki kapitalistik bisa bergerak dengan leluasa. Karena sistem kapitalisme memang meniscayakan penyerahan hajat hidup orang banyak kepada pihak asing dan aseng. Di dalam konsep kapitalisme, negara hanya bertindak sebagai regulator bukan pengurus rakyat. Berakar dari pandangan kapitalis yang menganggap negara tidak berkewajiban penuh menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat, membuat rezim tidak segan ‘kongkalikong’ dengan pengusaha guna memperoleh keuntungan materi dari impor bahan pangan termasuk susu.
Tidak hanya mengarusderaskan impor, penguasa terus-menerus menekan rakyat dengan beban pajak yang makin hari makin meningkat. Di bawah kepemimpinan Prabowo, setoran penerimaan negara digenjot harus mampu memenuhi kebutuhan belanja negara dengan target pendapatan negara pada 2025 mencapai Rp3.005,1 triliun, yang didukung oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun (ssas.co.id, 21/10/2024). Untuk mencapai target penerimaan pajak yang cukup fantastis tersebut, pemerintah sudah ‘koar-koar’ kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025 sesuai mandat Undang-Undang Nomor 7/ 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ironis memang! Di tengah-tengah himpitan ekonomi rakyat yang tiada habisnya, rezim justru menambah beban rakyat melalui sektor pajak. Dari sini kenaikan harga barang dan jasa tidak akan bisa dielakkan, mengingat produsen dan penjual biasanya membebankan pajak kepada konsumen. Masifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor usaha seperti tekstil dan manufaktur, disertai dengan beban pajak yang kian tinggi tentu saja akan menjadi mimpi buruk bagi rakyat negeri ini.
Ketidakbecusan negara menyelesaikan persoalan sapi Boyolali sejatinya menjadi bukti lalainya penguasa dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Konsep perekonomian kapitalistik yang diterapkan negeri ini telah terbukti membuyarkan visi negara yang seharusnya mengelola secara serius tiap-tiap sumber daya yang ada termasuk keberadaan para peternak sapi perah lokal. Negara seharusnya hadir membersamai usaha rakyat guna menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri sekaligus kesejahteraan para peternak dan petani negeri. Rasulullah saw bersabda, “Imam/khalifah itu laksana penggembala (ra’in) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bi ash-shawab
0 Komentar