#Remaja — Sobi, you know, as person yang lemah ini kita ga bisa hidup sendirian. Jujurly, kita nggak bisa penuhi seluruh kebutuhan kita sendirian. Too many people yang kita libatkan hanya sekadar, misal, kita butuh menuntaskan rasa lapar dengan sepiring makanan. Pak Tani yang menanam padi hingga mengolah jadi gabah, kang pabrik beras yang giling gabah hingga jadi beras, kang sopir yang nganterin itu beras, kang warung, dan kang-kang lainnya. Udah sampe di rumah tu beras, masih aja kita nyusahin Ibu kita. Ibu masak beras hingga jadi nasi dan tersaji di meja makan. Kita mah tinggal ambil piring dan makan. Hmmm ini baru nasi, belum lauk pauknya.
Kalo kita runut mah banyak banget ya orang yang berjasa dalam hidup kita. Orang-orang yang bantu kita agar bisa tetap hidup dengan nyaman itu. Berasa dikelilingi para pahlawan ga sih, Sobi? Lho, emang pahlawan itu “sereceh” itu? Bukannya orang yang disebut pahlawan itu orang hebat yang syahid dalam medan perang aja? Emang jaman sekarang yang udah ga ada perang masih ada pahlawan?
Eh, iya, ya udah kita cari definisi resmi dari kata pahlawan aja dulu ya, Sobi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero (kbbi.kemendikbud.go.id). ini arti official dari pahlawan.
Tapi memang orang-orang suka menggunakan kata ini untuk seseorang yang berjasa pada dirinya, bangsa, atau negaranya. Udah gitu emang kata pahlawan dan berjasa untuk orang lain itu sering banget dikaitkan. Jadi, imo, pak tani tadi buat hidup aku mah termasuk pahlawan. Couse, dia berjasa buat aku. Aku jadi bisa makan nasi yang tanpanya berasa tak makan walau udah makan roti, kentang, atau oatmeal.
Pahlawan Sejati
Sobi, selain di KBBI, ada juga yang mengartikan bahwa pahlawan itu berasal dari akar kata pahala ditambah akhiran wan, jadi pahalawan. Artinya, mereka pantas memperoleh pahala karena jasa-jasanya bagi perjuangan menegakkan kebenaran. Motivasi meraih pahala dengan menjalankan ketaatan memenuhi syariat untuk berjihad membela kebenaran itu memang hanya dipunyai oleh muslim.
Sejarah telah mencatat banyak dari kalangan muslim termasuk di Indonesia ini yang gagah berani berjuang membela kebenaran guna mengharap pahala dari Allah Swt.. Sebut saja Bung Tomo. Bu Tomo adalah salah satu tokoh penting dalam pertempuran merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah. Beliau adalah tokoh sentral dalam pertempuran dahsyat yang terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya.
Tentu saja tokoh penggerak pertempuran 10 November 1945 bukan hanya Bu Tomo saja. Di belakangnya ada sosok ulama besar dan para santrinya. Beliau adalah K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah serta kiai-kiai pesantren lainnya. Mereka mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya.
Selain Bung Tomo, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah ada juga Pangeran Diponegoro. Beliau hidup pada tahun 1785-1855. Beliau adalah panglima Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (Juli 1825-28 Maret 1830). Pangeran Diponegoro ini merupakan seoranh kiai, Sobi. Beliau sebenarnya merupakan keturunan bangsawan. Nama aslinya, Raden Mas Antawirya. Tapi beliau tidak mau terjun dalam politik praktis dan memilih menjadi penasihat agama di Tegalrejo.
Menurut beliau, perang melawan penjajah Belanda adalah jihad. Perang melawan penjajah dinamai beliau dengan perang Sabil, perang melawan kaum kafir. Atas pemahaman inilah Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan selama lima tahun tadi. Perlawanan Diponegoro itu juga dikenal dengan nama Perang Jawa.
Selain Pangeran Diponegoro, ada sosok kiai lain, yaitu Tuanku Imam Bonjol (1772-1864). Nama aslinya Muhammad Shahab, merupakan seorang ulama Minangkabau kelahiran Bonjol, Sumatera Barat. Bersorban dan berjenggot lebat cukuplah menggambarkan kharismatik pemimpin Perang Paderi ini. Gelarnya sebagai imam pun tak dapat dipungkiri bahwa beliau merupakan seorang ulama besar. Siapa sangka sang ulama justru mengambil peran besar di kancah peperangan melawan penjajah di Perang Padri pada tahun 1803-1838 yang sangat bersejarah itu.
Nah, ternyata selain para bapak, ada juga pahlawan dari kalangan ibu-ibu. Salah satu diantaranya adalah Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien (1848-1908). “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid,” demikian ucapan Cut Nyak Dien kepada putrinya, saat Teuku Umar, suami yang juga pahlawan nasional meninggal dunia. Bersama sang suami dan rakyat Aceh, Cut Nyak Dien berjihad mengusir Belanda dari Serambi Makkah.
Cut Nyak Dien merupakan wanita aceh yang mendapat pendidikan agama yang baik dari keluarganya. Tidak hanya dikenal sebagai bangsawan, keluarga Cut Nyak Dien juga dikenal sebagai keluarga ulama yang disegani.
Inilah sebagian contoh para pahlawan yang bisa kita teladani kiprahnya, Sobi. Mereka benar-benar mau mengorbankan apapun termasuk nyawa demi ketaatan kepada Allah dengan membela kebenaran yang lahir dari Islam. Amazing, kan..kan..kan?!
Bisa Jadi Pahlawan
Tenang Sobi, kita juga bisa kok seperti mereka. Potensi kita sama dengan mereka semua. Kita sama-sama manusia, kita sama-sama muslim, dan Islam yang mereka genggam adalah Islam yang sama dengan yang kita pegang. Tinggal mau atau ngga aja kita menjalani jalan yang sama dengan mereka.
Sejatinya kondisi umat Islam saat ini juga sedang butuh-butuhnya dengan hadirnya sosok-sosok para pahlawan, Sobi. Kita juga sedang mengalami keterjajahan. Memang sih ga kaya dulu atau sekarang kaya saudara kita di Palestina yang mengalami penjajahan secara fisik. Kita mah dijajahnya dengan penjajahan gaya baru alias neoimperialisme.
Penjajahan gaya baru itu kita didikte dalam berbagai bidang. Bidang ekonomi, kita kudu nerapin sistem ekonomi buatan Barat, yaitu ekonomi kapitalisme. Hasilnya, buanyaaak orang kismin padahal negeri kita kaya. Kekayaannya digondol sama perusahaan-perusahaan asing. Trus, pendidikan kita juga, masa disuruh ngurangi pelajaran agama Islam sekurang-kurangnya. Bahkan yang paling kurang ajar, untuk beragama Islam aja kita mesti ikut definisi mereka. Katanya jadi Islam itu harus moderat. Itu kan arahan Rand Corporation, lembaga think tank Amerika Serikat, Sobi, bukan ajaran Rasulullah saw..
So, what are you waiting for? Azzam-kan dalam diri bahwa kita akan memproses diri kita untuk jadi pahlawan. Kita wujudkan sifat-sifat kepahlawanan dalam diri kita. Sifat kepahlawanan, to be true, bukan sesuatu yang asing bagi setiap muslim. Itu udah jadi bagian dari karakter muslim.
Sifat kepahlawanan itu adalah, pertama, peduli sesama. Sejak bangun tidur, kita diajarkan untuk memikirkan kondisi kaum muslimin. Rasulullah saw mengingatkan kita, “Barangsiapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka.” (HR al-Hakim dan Baihaqi)
Seorang pahlawan pantang memikirkan kepentingannya sendiri. Berawal dari kepedulian terhadap orang lain, seorang pahlawan bergerak untuk mencari cara agar bisa berkontribusi kebaikan pada umat.
Kedua, berdakwah. Tak cukup hanya peduli, harus ada aktivitas fisik yang menunjukkan wujud kepeduliannya dengan berkontribusi untuk kebaikan umat. Sebagaimana dilakukan oleh para pahlawan Islam Khalid bin Walid sang ”Pedang Allah” yang dikenal karena keberanian dan strategi perangnya hebat; Thariq bin Ziyad yang pertama kali membuka jalan dakwah di Eropa dengan penaklukan bumi Andalusia; atau Muhammad al-Fatih sang penakluk Konstantinopel.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Ketiga, ikhlas. Amal kebaikan seorang pahlawan dalam Islam murni hanya untuk mendapatkan ridho Allah. Bukan sanjung puji manusia. Bukan pula kalungan medali dan tanda kehormatan. Kalopun ada apresiasi, itu sampingan aja.
Setelah kita tau sifat kepahlawanan, kita main rating-ratingan yuk, Sobi. Kita rating seberapa pahlawan sih kamu? 8/10? 9/10? Atau nilai sempurna 10/10? Kalo masih rendah hayu kita berjuang untuk naikin rating. Proses terus dirimu dalam bejana pembinaan pemikiran Islam. Tetap semangaaaat!
Rini Sarah
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar