#CatatanRedaksi — Baru-baru ini, viral peternak susu membuang susunya dalam jumlah besar. Bahkan, mandi susu di jalan-jalan sebagai wujud protes hasil susu lokal tidak terserap pasar.
Dilansir kompastv.com, 10/11/2024, massa peternak sapi perah di Boyolali, Jawa Tengah menggelar aksi buang susu, hingga mandi susu untuk memprotes pembatasan kuota susu lokal yang masuk ke pabrik atau industri pengolahan susu (IPS). Demonstran peternak menggelar aksi membuang 50.000 liter susu ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Winong, Boyolali. Para peternak juga membagikan 1.000 liter susu gratis kepada warga, termasuk mereka juga melakukan aksi mandi susu di kawasan Tugu Susu Tumpah, Boyolali.
Sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi di Pasuruan. Dikutip dalam detik.com, 7/11/2024, bahwa aksi nekat dilakukan peternak sekaligus pengepul susu sapi asal Kabupaten Pasuruan, Bayu Aji Handayanto. Ia dan para peternak lain, nekat membuang susu hasil panennya. Alasannya pun bikin sedih. Sebab, perusahaan membatasi pasokan susu sapi dari peternak lokal. Mereka menduga, pembatasan ini karena adanya impor susu sapi yang marak dilakukan belakangan ini.
Dari data yang dihimpun, sebelum ada pembatasan, pengiriman susu per hari bisa mencapai 100-200 ton. Akan tetapi, saat ini hanya sekira 40 ton, sehingga kuota mengalami pembatasan hingga mencapai 50 persen lebih. Padahal, susu tersebut berasal peternak dan masyarakat kecil.
Ternyata dugaan itu cukup beralasan, terbukti Pemerintah membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) atas susu impor. Hal itu menjadi salah satu sebab harga susu impor bisa lebih murah dibandingkan susu lokal. Pembebasan PPN susu impor diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean. Sesuai Pasal 7 (2) huruf (i) PP 49/2022, susu termasuk kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Dalam hal ini, susu termasuk barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Karenanya, mengacu Pasal 6 (1), susu menjadi salah satu barang yang dibebaskan PPN-nya.
Adapun, kategori susu yang dibebaskan PPN-nya adalah susu yang memenuhi kriteria susu perah, baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan (pasteurisasi) dan tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya (CNN Indonesia.com, 13/11/2024).
Ternyata, tidak cukup kungkungan peraturan pemerintah di atas. Malah, alasan dibuatnya peraturan pemerintah di atas tidak kalah menyengsarakan rakyat yakni adanya perdagangan bebas yang mereka menyebutnya ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
Seperti diketahui, Indonesia dan negara ASEAN lainnya telah menyetujui kesepakatan perjanjian perdagangan bebas tersebut (CNBCIndonesia.com, 13/11/2024). Kebijakan kapitalisme dengan politik luar negerinya melalui "penjajahan gaya baru" berupa perdagangan bebas dan investasi telah benar-benar membunuh rakyat di negara jajahannya, termasuk Indonesia. Dengan minimnya kesiapan untuk bersaing dengan pasar global maka seolah menjadi tumbal proyek global atas nama perdagangan bebas tanpa batas. Logika yang dimainkan tentu saja negara yang kuat dan berdaya akan menang pangsa pasarnya, sementara yang lemah akan tertinggal bahkan tergilas.
Diakui oleh Menteri Koperasi Budi Arie bahwa susu lokal kalah saing dengan susu impor sehingga permintaan lebih banyak kepada susu impor bahkan 80% susu impor dan 20% susu lokal. Menurut menteri koperasi semua dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas susu sapi oleh peternak yang dipengaruhi oleh kualitas pakan dan bibit sapi perahnya.
Seharusnya, hal ini menjadi perhatian serius elite kekuasaan negeri ini terkait produksi dengan memberi kemudahan dan iklim kondusif dalam produksi bukan membiarkan rakyat terengah-engah sendiri dalam kegiatan produksinya dan buntu juga dalam pendistribusiannya sehingga akhirnya dibuang-buang. Sungguh, kondisi ini sangat tidak mengherankan jika terjadi, karena memang begitulah gambaran sistem kapitalisme hari ini baik secara global maupun yang diterapkan di negeri ini.
Posisi negara dalam kapitalisme bukan sebagai pengurus urusan rakyat melainkan hanya berfungsi sebagai regulator untuk individu/swasta baik lokal maupun asing. Bahkan, mempermudah negara asing untuk menguasai hajat rakyat negeri ini. Maka tidak mengherankan jika kran impor dipermudah dengan pajak 0% alias tanpa pajak, regulasinya berupa PP 49/2022 dan pasar bebas pun melenggang. Berbeda dengan pasar lokal, produksi susu tidak terserap malah terbebani pajak yang sangat besar. Simak saja permasalahan pajak yang dihadapi usaha rakyat UD Pramono membuat rekening pemiliknya, yakni Pramono, dibekukan oleh bank atas permintaan kantor pajak. Uang Rp670 juta di tabungan dibekukan, karena usaha dagang Pramono menunggak pajak dengan nilai yang hampir sama. Bahkan, semula, Pramono dianggap berutang pajak sampai dengan Rp2 miliar (Kompas TV.com, 11/11/2024).
Kemudian muncul pertanyaan menggelitik, sebenarnya negara hadir untuk siapa? Untuk korporasi global ataukah untuk rakyat. Maka, jelas di mana posisi kapitalis hari ini, siapa pun pihak pemodal yang kuat dialah yang menang dan yang lemah pasti kalah. Bahkan nyata pihak pemodal ini begitu kuat mempengaruhi regulasi.
Akankah sistem yang merugikan ini dibiarkan terus melenggang? Padahal, Islam punya solusi jitu terkait hal ini. Dalam Islam, negara dengan institusi Khilafah Islam adalah pengurus dan pelayan urusan rakyatnya. Khilafah akan mempermudah produksi, mulai dari kualitas bibit, pupuk murah termasuk di dalamnya pakan ternak yang berkualitas, serta adanya ekstensifikasi dan intensifikasi lahan produksi. Terkait beternak, Al-Qur'an memberi dorongan dalam produktivitas peternakan yang sangat bermanfaat dan menyehatkan bagi manusia apakah dari susu, daging, madu, atau lainnya.
Allah berfirman, "Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu terdapat pelajaran yang penting bagi kamu. Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada di dalam perutnya,dan (juga) pada binatang itu terdapat manfaat yang banyak untuk kamu, dan sebagian dari padanya kamu makan." (QS al-Mukminun: 21)
Inilah motivasi Islam terkait produktivitas hewan ternak dalam sebuah peternakan dan beternak bukan hal yang asing dalam Islam, bagaimana para Nabi dalam Islam, sejak awal Islam ada sudah bersinggungan dengan penggembala dan hewan gembalaan. Terkait susu, negara dalam sistem Islam juga memperhatikan hal ini. Terbukti peristiwa Isra’ Mi’raj malaikat Jibril memberi dua wadah kepada Rasulullah Muhammad yang berisi khamr dan susu.
Rasulullah pun memilih meminum susu. Malaikat Jibril lalu mengatakan seandainya dipilih khamr, maka umat Rasulullah akan tersesat. Rasulullah termasuk orang yang gemar meminum susu. Beliau juga menganjurkan para sahabat minum susu dari binatang ternak, seperti kambing, unta, dan sapi. Susu adalah minuman, makanan, dan juga obat (Hidayatullah.com, 2/9/2022).
Kualitas barang hasil produksi juga akan terus diverifikasi oleh negara dengan tim ahli. Selain dalam aspek produksi, negara juga terlibat langsung dalam distribusinya. Aktivitas ekonomi yang dilakukan negara sebesar-besar untuk kesejahteraan rakyat dalam negeri. Jika kemudian berlebih maka baru akan dilakukan ekspor ke luar negeri, hanya regulasi yang dihadirkan negara adalah untuk kemakmuran rakyat dan semua bersifat pergerakan sektor ekonomi secara riil. Pergerakan sektor ekonomi non riil tidak ada dalam negara Khilafah. Perputaran barang dan jasa di pasar terukur dan Islam mengharamkan penimbunan.
Begitulah, Islam benar-benar menjaga rakyat dengan sistem Khilafah oleh seorang khalifah yang akan memimpin. Dia menjadikan negaranya adalah negara mandiri dan kuat tidak pernah bergantung dengan pasar global. Terbukti sistem Islam pernah menjadi sumbu putar dunia di masa lalu, negara-negara lain sangat bergantung kepada produktivitas Khilafah saat itu.[]
Hanin Syahidah, S.Pd.
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar