Penulis: Meti Astuti
#FOKUS — Perempuan sebagai bagian integral dari masyarakat memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam hal keluarga dan reproduksi. Namun, seiring dengan sekularisasi di segala bidang, kita menyaksikan fenomena yang makin marak dalam beberapa dekade terakhir, yaitu tren childfree atau pilihan untuk tidak memiliki anak.
Menurut laman HeylawEdu, istilah childfree mengacu kepada keputusan seseorang ataupun pasangan untuk tidak memiliki keturunan atau tidak memiliki anak. Selain itu, menurut Oxford Dictionary, istilah childfree merupakan suatu kondisi seseorang atau pasangan yang tidak memiliki anak karena alasan yang utama, yaitu pilihan. Cambridge Dictionary pun mendefinisikan istilah childfree hampir serupa seperti yang dijelaskan oleh Oxford Dictionary, yaitu kondisi seseorang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak.
Hari ini, fenomena childfree menunjukkan peningkatan yang signifikan, terutama pada kalangan perempuan muda dan membawa dampak besar terhadap perubahan cara pandang perempuan terhadap peran mereka dalam masyarakat. Ada banyak faktor yang memengaruhi keputusan ini, mulai dari pertimbangan ekonomi, kesadaran akan isu lingkungan, hingga gerakan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
Motif Ekonomi
Pada 2022, sebanyak 8,2% perempuan usia subur di Indonesia atau sekitar 71.000 orang memilih secara sadar untuk tidak memiliki anak (childfree) dibandingkan sebelumnya (pada 2019, sebanyak 7,0% perempuan memilih childfree). Meski sempat menurun selama awal pandemi Covid-19, prevalensi perempuan usia subur berumur 15—49 tahun yang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree terus meningkat selama empat tahun terakhir.
Prevalensi perempuan yang memilih childfree itu oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia” (2023) didefinisikan sebagai perempuan usia subur yang pernah menikah, tetapi belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup serta tidak menggunakan alat kontrasepsi. “Keputusan seseorang untuk memilih childfree tidak bisa dilarang karena itu hak setiap orang,” kata Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia Sudibyo Alimoeso. Prevalensi perempuan usia subur usia 15—49 tahun di Indonesia yang memutuskan melakukan “childfree” 2019—2022.
Salah satu faktor utama yang mendorong perempuan memilih childfree adalah masalah ekonomi. Dalam masyarakat modern, biaya hidup yang makin tinggi, beban pekerjaan, serta tuntutan karier menjadi alasan utama mengapa perempuan merasa enggan untuk memiliki anak. Mereka merasa bahwa memiliki anak akan mengurangi kesempatan mereka untuk berkembang di bidang lain, terutama dalam dunia pekerjaan yang makin kompetitif. Fenomena ini juga ditemukan dalam berbagai studi yang menunjukkan bahwa perempuan muda makin memilih karier di atas peran keibuan (Ahmed, 2007). Pada 2022, Survei Biaya Hidup (SBH) mencatat, biaya hidup rata-rata di Jakarta per bulan mencapai Rp14,88 juta—tertinggi di Indonesia, tidak sebanding dengan upah minimum provinsi (UMP) yang hanya Rp5 juta.
Kekhawatiran tidak mampu menafkahi dan membiayai tumbuh kembang anak hingga biaya pendidikan pada masa mendatang telah menjadi faktor pemicu sebagian pasangan memutuskan untuk menganut childfree. Alasan utama kesulitan ekonomi tersebut relevan dengan hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, ternyata 57% perempuan childfree tidak terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi.
Isu Lingkungan
Selain itu, isu lingkungan juga menjadi salah satu alasan perempuan memilih untuk tidak memiliki anak. Beberapa pasangan atau perempuan yang memutuskan untuk childfree menilai bahwa populasi penduduk di bumi makin meningkat. Makin meningkatnya kesadaran tentang kerusakan lingkungan dan dampak buruk over populasi menyebabkan banyak perempuan yang merasa bahwa memiliki anak dapat memperburuk masalah tersebut. Dalam konteks ini, mereka melihat bahwa tidak memiliki anak adalah salah satu cara untuk mengurangi jejak karbon dan memberikan kontribusi terhadap kelestarian bumi.
Gerakan Kesetaraan Gender dan Pergeseran Cara Pandang Perempuan
Salah satu pemicu utama dalam pergeseran pandangan perempuan terhadap peran mereka dalam reproduksi dan peran sebagai ibu adalah gerakan hak-hak perempuan (feminisme) yang menekankan pada kebebasan individu, termasuk hak untuk memutuskan apakah mereka ingin memiliki anak atau tidak.
Gerakan feminisme menemukan momentumnya untuk mengadakan beragam perubahan di segala bidang, di antaranya mendorong dan mendukung keputusan perempuan dan pasangan untuk childfree. Keputusan childfree ini digunakan oleh seorang perempuan, untuk memilih kebebasannya untuk menjadi seorang ibu maupun mengalami proses hamil hingga melahirkan.
Konsep “my body, my choice” atau “tubuhku, pilihanku” telah diterima secara luas, yang berarti bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk memutuskan ingin memiliki anak atau tidak, tanpa harus mempertimbangkan tekanan sosial atau budaya. Hal ini tentu saja memengaruhi cara perempuan memandang peran mereka dalam keluarga dan masyarakat. (Abu Dawood, 1984).
Cara pandang perempuan tentang peran mereka dalam kehidupan telah bergeser dan berubah seiring dengan makin masifnya kampanye childfree. Sebelumnya, menjadi seorang ibu dianggap sebagai salah satu pencapaian tertinggi dalam hidup perempuan.
Namun, saat ini menjadi ibu tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tujuan hidup perempuan. Banyak perempuan yang merasa bahwa mereka memiliki hak untuk mengejar karier, pendidikan, dan kebebasan pribadi tanpa harus terikat pada kewajiban keibuan. Pilihan untuk tidak memiliki anak, menjadi bentuk pemberontakan terhadap norma yang dianggap tradisional dengan menilai perempuan hanya berdasarkan kemampuannya dalam mengurus anak dan keluarga.
Selain itu, perubahan cara pandang ini juga dipengaruhi oleh perubahan nilai-nilai sosial yang berkembang dalam tatanan sekuler yang menyingkirkan nilai-nilai agama dalam kehidupan. Dalam tatanan ini, nilai kebebasan individu dan kesetaraan gender, menempatkan peran keibuan bukan sebagai puncak dari kebahagiaan seorang perempuan, melainkan justru dapat menghambat kemajuan dan partisipasi perempuan di masyarakat.
Dengan kata lain, perempuan modern dalam paradigma kesetaraan gender mengutamakan kebebasan memilih tanpa terikat pada ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk menjadi ibu. Feminisme, sebagai gerakan yang memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, makin mendorong perempuan untuk mengambil keputusan yang dapat mendefinisikan hidup mereka secara mandiri, termasuk soal keputusan untuk tidak memiliki anak (Abu Dawood, 1984).
Namun, meskipun kesetaraan gender memberi perempuan kebebasan untuk membuat pilihan hidupnya, hal ini juga menimbulkan dilema bagi mereka yang ingin tetap mempertahankan peran keibuan yang dianggap sebagai tugas mulia. Oleh karena itu, banyak perempuan yang berada di tengah pergulatan antara kebebasan memilih dengan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang menuntut mereka untuk menjadi ibu.
Islam dan Pemuliaan Peran Keibuan
Dalam Islam, peran keibuan dipandang dengan sangat tinggi dan mulia. Menjadi ibu adalah salah satu bentuk penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada perempuan. Dalam banyak hadis sahih, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, yang menunjukkan betapa besar kemuliaan peran seorang ibu dalam pandangan Islam. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan sekuler yang sering kali menganggap peran ibu sebagai kewajiban yang membebani perempuan.
Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim mengatakan, “Seorang ibu adalah yang paling berhak untuk dihormati.” Hal ini menggarisbawahi betapa mulianya posisi seorang ibu dalam Islam. Selain itu, dalam kitab Al-Mughni karya Al-Maziri, dijelaskan bahwa ibu adalah yang pertama diutamakan dalam perhatian dan penghargaan dalam keluarga. Peran seorang ibu dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya menuju kehidupan yang baik sangat dihargai dalam Islam. (Al-Qardawi, 2004)
Islam memberikan jaminan agar peran ibu dapat dilaksanakan dengan baik, meliputi berbagai hukum syariat yang mendukung dan memudahkan seorang wanita menjalankan peran keibuannya mulai dari mengandung, melahirkan, mengasuh hingga mendidik anak-anaknya. Islam memerintahkan setiap ayah dan wali untuk bekerja agar dapat menafkahi istri dan anak- anaknya. Seperti tertuang dalam ayat Al-Qur’an berikut, “Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…” (QS al-Baqarah [2]: 233)
Saking mulianya peran sebagai ibu, Islam menempatkan ibu sebagai pihak yang harus dihormati terlebih dahulu baru kemudian ayah. Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?" Nabi saw. menjawab, "Ibumu!" Dan orang tersebut kembali bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Nabi saw. menjawab, "Ibumu!" Orang tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab, "Ibumu." Orang tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi," Nabi saw. menjawab, "Kemudian Ayahmu." (HR Bukhari dan Muslim)
Islam juga mengharuskan para ayah untuk memperlakukan para istri mereka dengan baik. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya. Aku adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri di antara kalian.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Ibu dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan moral anak-anaknya. Oleh karena itu, meskipun Islam tidak melarang perempuan untuk mengejar karier atau ambisi pribadi lainnya, Islam tetap menempatkan peran keibuan sebagai bagian integral dari kehidupan perempuan. (Al-Qardawi, 2004)
Jaminan Kebutuhan Publik
Islam telah memberikan ketenangan dan jaminan kepada para ibu dengan cara negara turun langsung dalam penyediaan kebutuhan masyarakat dalam pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas, serta menutup semua kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, tidak menjadi alasan bagi para ibu mengkhawatirkan anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena biaya pendidikan yang mahal dan tidak bisa berobat karena biaya kesehatan yang tidak terjangkau.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ‘alaih)
Imam Al-Mala al-Qari menegaskan, frasa (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadis ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-imam menjadi pelindung bagi kaum muslim dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.
Khilafah Islam, Ekosistem Terbaik untuk Peran Keibuan
Islam menawarkan sistem kehidupan yang mendukung peran ibu dengan cara yang sangat baik. Dalam kehidupan Islam, keluarga adalah unit dasar yang sangat dihargai, dan peran seorang ibu di dalam keluarga diakui sebagai salah satu kontribusi terbesar terhadap masyarakat. Islam memberikan ruang bagi perempuan untuk menjalani peran keibuan dengan penuh penghormatan, tanpa harus mengorbankan potensi atau kebebasan pribadi mereka. Dengan adanya dukungan dari suami, keluarga, dan masyarakat, perempuan dapat menjalani peran tersebut dengan lebih maksimal.
Menurut Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq, Islam memberikan perhatian besar pada kesejahteraan ibu dan anak, melalui kewajiban suami untuk mendukung istri secara finansial dan emosional. Dalam Islam, suami memiliki kewajiban untuk membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga, termasuk dalam merawat anak-anak. Dengan demikian, perempuan tidak perlu merasa terbebani oleh peran keibuan karena Islam mengatur semua aspek kehidupan dengan sangat harmonis, sehingga perempuan dapat menjalani peran tersebut dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. (Al-Qardawi, 2004)
Kesimpulan
Fenomena childfree yang makin meningkat mencerminkan perubahan cara pandang perempuan terhadap diri dan kehidupannya. Pilihan untuk tidak memiliki anak, yang didorong oleh faktor ekonomi, kesetaraan gender, dan kebebasan individu, merupakan sebuah keniscayaan akibat tatanan kehidupan sekuler dan kapitalistik yang menyengsarakan perempuan. Alhasil, jalan childfree diambil sebagai bentuk kekhawatiran tidak mampu membiayai dan menafkahi kehidupan dan pendidikan anak serta berbagai pertimbangan lain sebagai upaya bertahan dampak buruk dari hidup di alam kapitalistik sekuler.
Demikian juga isu lingkungan makin membuktikan, ekonomi kapitalistik yang merusak, telah mengeksploitasi alam untuk akumulasi kapital dan keuntungan oligarki sehingga kerusakan alam menjadi fenomena nyata dan memberikan kekhawatiran berlebihan pada para perempuan. Ini melahirkan respons berupa keputusan childfree dengan harapan agar tidak menambah beban bagi bumi.
Sedangkan dalam Islam, peran keibuan tetap dipandang sebagai salah satu kemuliaan terbesar yang diberikan kepada perempuan. Kehidupan Islam menyediakan ekosistem yang mendukung perempuan dalam menjalani peran keibuan dengan penuh kemuliaan, tanpa harus mengorbankan potensi pribadi mereka dan peran kontributif perempuan di tengah masyarakat.[]
0 Komentar