Siti Rima Sarinah
#Wacana — Pesta
demokrasi dengan biaya sangat mahal telah menampilkan sosok pemimpin-pemimpin
baru yang menjadi tumpuan harapan rakyat. Rakyat senantiasa berharap dan terus
berharap pada setiap pergantian pemimpin akan adanya perubahan kehidupan mereka
menjadi lebih baik. Janji manis dan tebar pesona di masa kampanye selalu
menjadi senjata pamungkas para elite politik untuk menarik simpati
rakyat dan memberikan dukungan suara kepada mereka.
Rakyat
pun selalu menantikan realisasi janji manis akan “kesejahteraan” terwujud nyata
dalam kehidupannya. Akankah harapan kesejahteraan itu
terwujud atau untuk kesekian kalinya rakyat harus kecewa dengan janji manis tanpa
realisasi? Rakyat mengharapkan hidup sejahtera bukanlah sesuatu yang
berlebihan, bahkan sesuatu yang wajar. Namun, tatkala harapan tersebut tidak
kunjung datang, kejenuhan rakyat pada politik hari ini makin terlihat nyata.
Fakta
kejenuhan rakyat pada politik bisa kita lihat dari meningkatnya angka golput
pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2024. Sebanyak 290.000 warga
Kota Bogor tercatat tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Tingkat
partisipasi pemilih hanya mencapai 63 persen, jauh di bawah target KPU Kota
Bogor yang mematok angka 85 persen.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Bogor, M. Habibi Zaenal Arifin
mengatakan rendahnya parsispasi ini dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya
kejenuhan politik yang membuat masyarakat enggan memilih (kompas.com,
04/12/2024).
Meningkatnya
angka golput bukan hanya terjadi di Kota Bogor. Berdasarkan data LSI, Denny
Januar Ali dalam analisis hasil quick
count Pilkada 2024 mengatakan bahwa
ada peningkatan angka golput di tujuh provinsi terbesar di Indonesia. Di antaranya, angka golput di Jawa Barat
36,98 persen, di Jawa Timur mencapai
34,68 persen, Jawa Tengah 29,48 persen, Banten 36,10 persen, Sumatera Utara
46,41 persen, Sulawesi Selatan 29,84 persen, dan DKI Jakarta 46,91 persen. DKI
Jakarta mencatat angka golput tertinggi (sindonews.com, 04/12/2024).
Fakta
ini menjadi bukti konkret rakyat mulai jenuh dan menurunnya ketidakpercayaan
politik yang ada. Hal ini dikarenakan tidak adanya perubahan yang signifikan
setiap kali kepala daerah berganti. Berbagai persoalan terus mendera rakyat
dari persoalan kemiskinan, pengangguran, kesehatan, mahalnya pendidikan, dan masih banyak persoalan
lainnya yang tidak kunjung terselesaikan bahkan semakin memburuk meskipun dipimpin
dengan orang yang kompeten.
Berganti-gantinya
pemimpin memang tidak akan mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Sebab, yang
mampu mengubah kondisi suatu negara adalah sistem yang diterapkan di negara
tersebut. Apabila sistem yang diterapkan masih sama, yaitu sistem kapitalisme-liberal,
maka tidak akan mengubah kondisi masyarakat sedikit pun terkecuali hanya
perubahan pemimpin dan tetap dengan sistem yang sama.
Sistem
kapitalisme-liberal sudah terbukti kegagalannya
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang menghimpit rakyat.
Justru, keberadaan sistem inilah yang melahirkan persoalan demi persoalan yang
terus berdatangan tanpa henti. Negeri kita yang dikenal sebagai Zamrud
Khatulistiwa, memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi rakyatnya hidup
dalam kubangan kemiskinan yang sangat parah. Hal ini terjadi karena sistem
kapitalisme-liberal telah memberikan kewenangan
pada pemilik modal/olgarki untuk menguasai dan mengelola kekayaan alam negeri
ini untuk kepentingan mereka dengan mengorbankan hak rakyat.
Negara
dan penguasa pun tidak berdaya, bahkan tunduk dan patuh mengikuti kehendak
oligarki. Hal ini terjadi karena oligarki telah berjasa menjadi penyokong dana
bagi penguasa dalam kompetisi demokrasi yang berbiaya sangat mahal. Sebagai
kompensasinya, penguasa menjadi ”karpet merah” bagi oligarki
untuk memuluskan berbagai kepentingan dengan menguras habis kekayaan alam
negeri ini tanpa sisa. Rakyat tidak mendapatkan sepeser pun kecuali
penderitaan, kemiskinan, dan ditambah dengan pungutan pajak yang semakin
mencekik rakyat.
Fakta
ini seharusnya menyadarkan rakyat bahwa kejenuhan mereka pada politik hari ini
menjadikan mereka tidak mau lagi di aturan dalam sistem politik kapitalisme-liberal yang selalu memberi ilusi kesejahteraan yang tak
pernah ada realitasnya. Sebuah kesalahan besar berharap pada sistem buatan akal
manusia yang lemah adalah penyebab penderitaan dan kemiskinan
bagi rakyat.
Sistem
kepemimpinan pengurus rakyat hanya ada dalam sistem Islam (Khilafah).
Khilafah menerapkan syariat Islam di
seluruh lini kehidupan rakyat dan menjadikan rakyat sebagai prioritas utama
untuk diurus dan dijamin semua kebutuhannya. Negara dalam Islam adalah pelayan
bagi rakyat dan pemimpinnya adalah sosok yang peduli dan peka terhadap setiap
persoalan rakyat. Dia menjadi garda terdepan dan senantiasa hadir membersamai
rakyat untuk menghadapi setiap persoalan serta memberikan jaminan kesejahteraan
dan kemakmuran yang nyata dirasakan oleh setiap individu rakyat secara adil dan
merata.
Kesejahteraan
dan kemakmuraan rakyat akan mudah diwujudkan oleh negara, sebab pemimpinnya
mengelola kekayaan alam sesuai syariat Islam dan hasilnya untuk kemaslahatan
rakyat. Pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi, dan semua hajat hidup
rakyat dijamin negara dan diberikan kepada rakyat secara gratis.
Islam
hadir ke dunia sebagai obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan kehidupan
manusia. Kesempurnaan Islam yang berasal dari Sang Pemilik jiwa manusia bukan
hanya menjadi problem solving melainkan juga mampu mencetak pemimpin yang amanah, mengurus umat
semata-mata ingin mengharapkan rida dan pahala dari-Nya. Wajarlah dalam
sepanjang ribuan tahun lamanya umat manusia hidup sejahtera, aman, nyaman, dan makmur dalam naungan Khilafah. Khilafah pengurus urusan
rakyat. Rakyat butuh kepemimpinan Islam bukan
sistem kapitalisme demokrasi.
Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar