Anggun Permatasari
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#TelaahUtama — Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat partisipasi pemilih pada pilkada 2024 secara nasional berada di bawah 70 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pilpres dan pileg. Untuk pilkada Jakarta, menurut laman Tempo.co (1/12/2024), Lembaga survei Charta Politika merilis, partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024 sebesar 58 persen. Sementara Pilkada Jakarta 2017 berada di atas 70 persen. Dengan demikian, angka golongan putih atau golput dalam Pilkada Jakarta tahun ini mencapai 42 persen. Persentasenya meningkat 30 persen dari Pilkada 2017.
Dilansir dari laman Jawapos.com ( 2/12/2024), Rifqinizamy Karsayuda, selaku Ketua Komisi II DPR RI menduga jadwal pilkada serentak yang digelar tidak lama setelah pemilu presiden dan pemilu legislatif menjadi salah satu penyebabnya. Namun, menurut halaman Bbc.com (30/11/2024), Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini melihat angka golput yang tinggi disebabkan profil para pasangan calon yang bersaing di Pilkada Jakarta. Menurutnya, mereka kurang sejalan dengan aspirasi politik warga dan elite lokal. Figur yang disukai justru tidak mendapatkan tiket politik, seperti Ahok dan Anies Baswedan. Para pemilih Jakarta merasa seperti dikhianati partai yang baru saja mereka pilih di pemilu legislatif.
Fenomena ini tentu menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Pasalnya, penurunan jumlah partisipan yang sangat drastis merupakan salah satu indikasi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap jalannya politik di negeri ini. Sikap apatis masyarakat bukan tanpa alasan, kekecewaan yang ditorehkan para penguasa dari masa ke masa akhirnya mengikis rasa percaya publik kepada pemerintah. Rakyat merasa, janji manis dan solusi parsial nyatanya tidak juga menghapus kesengsaraan hidup mereka.
Namun sejatinya, fakta memprihatinkan tersebut merupakan hal wajar dalam sistem demokrasi kapitalisme. Pemilihan pejabat pemerintah dalam sistem ini tidak benar-benar untuk menjadi pengurus rakyat. Setiap pasangan calon berlomba meraih kemenangan untuk menggapai kursi kekuasaan semata.
Untuk mengambil hati rakyat, permainan retorika seringkali digencarkan. Bahkan, gara-gara kotor seperti “riswah” atau suap yang dikenal sebagai serangan fajar berupa uang ataupun barang dilakukan untuk meraup suara. Rakyat yang memang tidak melek politik akhirnya tergiur iming-iming sedekah politik (money politic) tersebut.
Dari fakta tersebut, karena baik pemilu maupun pilkada membutuhkan biaya besar untuk keperluan kampanye dan lainnya. Tentu setiap kompetitor akan berusaha mengumpulkan kembali modal yang dikeluarkan saat masa kampanye. Kenyataan berbicara, bahwa kebanyakan pasangan calon mendapatkan kucuran dana dari pengusaha yang pastinya diiringi sekelumit perjanjian.
Walhasil, calon yang akhirnya meraih kemenangan akan “balas budi” sebagai tanda terima kasih dengan melahirkan kebijakan yang memudahkan pengusaha tersebut. Disadari atau tidak, kepentingan rakyat menjadi nomor kesekian. Sehingga wajar apabila rakyat akhirnya merasa dikecewakan dan tidak mendapatkan haknya. Rasa saling rida dan kasih sayang antara pemimpin dan rakyat hilang. Rakyat merasa dicurangi karena setelah suaranya diambil mereka ditinggalkan. Kepercayaan pupus, yang tersisa hanyalah kekecewaan dan antipati. Golput menjadi pilihan rakyat atas pengkhianatan yang diberikan pemimpin selama ini.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga”. (HR Bukhari-Muslim)
Namun anehnya, kekecewaan demi kekecewaan yang dirasakan tidak juga membuat rakyat negeri ini bermuhasabah. Adakah yang salah dengan demokrasi? Apalagi sebagai muslim, seharusnya kita bertanya apakah demokrasi sudah sesuai dengan aturan Islam?
Karena sejatinya, aturan Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna mengatur kehidupan manusia, termasuk masalah pemerintahan yakni Khilafah. Sistem Islam (kekhilafahan) mewajibkan penguasa (khalifah) untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya individu per individu. Pemilihan khalifah juga tidak perlu prosesi yang rumit seperti dalam sistem demokrasi. Sehingga tidak perlu modal apalagi sampai memberikan riswah. Tidak semua pejabat dipilih rakyat, selevel gubernur/wali akan ditunjuk oleh khalifah secara langsung.
Rakyat secara sadar memilih pemimpin disertai rasa rida. Karena untuk menjadi kandidat, Islam mengharuskan calon pemimpin/khalifah memenuhi tujuh syarat iniqad/syarat legal. Yaitu, muslim, laki-laki, merdeka, berakal, balig, adil, dan mampu. Syarat selain itu dimungkinkan menjadi syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan), misalnya, keturunan suku Quraisy, seorang Mujtahid, atau Ahli dalam menggunakan senjata.
Ketika Abu Dzar meminta amanah kepemimpinan, Nabi menolak memberikannya dan justru memberi nasihat, “Abu Dzar, kamu ini lemah, sementara jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR Muslim)
Selanjutnya, untuk memilih khalifah aturan Islam mewajibkan adanya baiat. Dengan demikian, rakyat secara sadar memilih siapa yang pantas memimpin. Aturan Islam secara langsung memberi edukasi kepada umat terkait kepemimpinan. Jadi, tidak ada yang namanya ikut-ikutan atau memilih karena alasan remeh-temeh.
Islam juga mengharamkan cara-cara kotor seperti riswah. Sebab kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah yang sangat mulia karena didorong oleh rasa keimanan dan ketakwaan. Pertanggungjawabannya pun sangat berat hingga ke akhirat. Oleh karenanya, mereka tidak akan berlomba-lomba meraih kekuasaan karena hawa nafsu. Dalam pemilihan pemimpin, cara yang simpel, murah, dan mudah senantiasa diwujudkan Islam.
Rasulullah saw. pernah berdoa: “Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim)
Melalui serangkaian pemilu seperti itu, tentunya pemilihan pemimpin akan berjalan dengan jujur dan damai karena siapa pun yang menang akan amanah, dan yang kalah akan menerima dengan lapang dada. Hanya saja, pemilihan pemimpin melalui pemilu seperti ini hanya dapat berlangsung benar jika ada di bawah naungan sistem pemerintahan Islam (Khilafah).
Dari fakta di atas, sesungguhnya pemilihan pemimpin saat ini dalam bingkai demokrasi tidak sama dengan konsep pemerintahan Islam. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat, yang berarti manusialah yang berhak membuat aturan. Sementara dalam aturan Islam menempatkan Allah Swt. sebagai pihak yang berhak membuat aturan. Karena perbedaan mendasar ini, demokrasi jelas tidak sama dan tidak berasal dari Islam, sehingga seluruh muslim tidak boleh memakainya.
Oleh karena itu, semoga umat Islam sadar pada konsekuensi syahadat dan menjadikan al-Quran dan assunnah sebagai sumber hukum, yang sudah pasti datang dari Allah Swt. dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Sehingga, pengangkatan pemimpin rakyat dilakukan atas dorongan keimanan, dipilih secara sadar bukan ikut-ikutan, dan rakyat akan mendapat jaminan kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan tentunya. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar