#Depok — Prostitusi yang beroperasi sekitar lebih satu tahun yang menyasar anak di bawah umur, ternyata bersarang di Depok. Kepolisian Resor (Polres) Metro Depok pun berhasil menangkap komplotan muncikar online berinisial B, RR, RA, MF, dan MA, yang terlibat prostitusi lewat MiChat dan situs Locanto (kompas.com, 15/11/24).
Dari penangkapan tersebut, menurut laman yang sama, Polisi mengamankan sekitar 18 kondom dari berbagai merek, enam obat supertetra darya varia, delapan pelumas, tujuh ponsel, bukti transfer, dan uang tunai Rp500.000. Kelimanya dikenakan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun.
Kasi Intelijen Kejari Depok, Muhammad Arif Ubaidillah pun mengungkap, Kejari Depok telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Polres Metro Depok, terkait kasus eksploitasi anak dan prostitusi. Polres Metro Depok sebelumnya membongkar kasus tersebut yang berada di Apartemen Saladin (Liputan6.com, 20/11/2024).
Transformasi digital memang memiliki dua nilai yang berbeda seperti dua sisi mata uang, bisa berdampak buruk atau berdampak baik, tergantung siapa yang memanfaatkan dan dengan cara bagaimana menggunakannya. Kasus prostitusi online seakan sudah di mana-mana hingga orang tua yang memiliki anak kecil pun memasang kuda-kuda agar tak mendapati nasib buruk terjadi pada anak-anaknya, khususnya.
Namun terjepitnya kondisi ekonomi, banyak juga orang tua yang malah tega menjual anaknya bahkan hingga menjual 'diri' yang memang sudah memasuki ranah TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Parahnya, hal itu baru ditemukan selama satu tahun sudah berjalan. Lalu ke mana pengawasan negara selama ini?
Menurut pengamat masalah perempuan, anak, dan generasi, dr. Arum Harjanti menyatakan ini semua cermin kebobrokan masyarakat. Kritiknya, negara belum memiliki ketahanan digital di tengah gencarnya transformasi digital yang dikembangkan. Kegagalan mencetak manusia berkepribadian mulia berdampak pada pemanfaatan teknologi untuk hal yang salah. Mandulnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi memberi celah maraknya kejahatan terorganisir yang menyasar anak-anak. Peradaban manusia yang dibangun pun, akan penuh kehinaan dan jauh dari kemuliaan (muslimahnews.net, 05/08/24).
Selain masalah hidup dengan ekonomi yang serba pas-pasan, gaya hidup kapitalisme membuat hampir semua orang (dari yang tua hingga muda) mempunyai sikap konsumtif sehingga tidak mampu membedakan mana kebutuhan dana mana keinginan (hawa nafsu) semata, manusia saat ini dididik haus uang atau materi yang menjadi standar hidup masyarakat. Platform media sosial pun dipenuhi konten-konten flexing alias pamer hingga masyarakat khususnya generasi muda lupa akan tujuan hidunya, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah Swt..
Apa itu ibadah? Tentu bukan hanya sekadar ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Tapi juga ibadah yang berhubungan dengan manusia lain yang bisa disebut dengan muamalah, seperti jual-beli, bersekolah, dan berkunjung ke fasilitas kesehatan. Islam bukan hanya disekat dalam batasan masjid atau mushala saja. Ibadah bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Maka itu, seyogianya masyarakat smart dan mulia dibangun di atas aturan dari Sang Khalik, yaitu Allah Swt..
Konsep nafkah yang sesuai syariat pun diwajibkan pada para lelaki/wali, bukan perempuan apalagi anak-anak. Jiwa sosial dan empati dalam lingkungan masyarakat juga terjalin sambung-menyambung, tidak hanya memikirkan diri sendiri karena alasan itu masalah keluarga lain.
Adanya media sosial atau internet pun dikendalikan oleh negara agar tidak terjadi banyaknya ketimpangan sosial yang sejatinya memang tidak begitu nampak dalam kehidupan nyata. Sanksi tegas bagi para pelaku apalagi 'mucikari/gembong' terbukanya pintu kemaksiatan, Islam memiliki ataran yang bisa membuat jera bahkan sebelum keburukan itu terjadi yang sifatnya lebih kepada preventif (mencegah).
Islam memiliki ilmu ekonomi yang jelas dan lengkap, sayangnya ilmu itu hanya akan menjadi 'pengetahuan' semata jika tidak menghadirkan sistem. Oleh sebab itu, sistem ekonominya pun harus berasal dari Islam, karena tidak mungkin diterapkan dalam roda ekonomi yang bukan dari Islam seperti sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yang justru memisahkan agama dari kehidupan. Sungguh, klaim para ilmuwan Barat 'sukses' membangun negara dan generasi dengan meninggalkan agama, perlu dikritisi. Malah, kehidupan akan hancur dan nestapa akan selalu membayangi jika agama Islam ditinggalkan.[]
Alin Aldini, S.S.
(Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok)
0 Komentar