Halima Noer
#Fokus- Menyambut Hari AIDS Internasional 1 Desember lalu, Kemenkes menyelenggarakan konferensi pers tentang pencegahan AIDS dengan membentuk perilaku seksual yang positif semenjak dini. Dalam konferensi pers tersebut, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Ina Agustina Isturini menyebutkan bahwa pembentukan perilaku tersebut dimulai pada usia 10 tahun atau setingkat kelas 5 SD karena pada saat ini anak sudah mengalami hal-hal terkait seksualitasnya, misalnya menstruasi. Pengetahuan ini penting agar mereka dapat menjaga kesehatan reproduksinya, termasuk mencegah agar tidak terkena penyakit seksual menular seperti HIV/AIDS.
Koordinator Nasional Inti Muda Indonesia Bella Aubree mengatakan bahwa selain tentang kesehatan reproduksi, membangun perilaku seksual yang sehat juga dengan mengajarkan pada anak tentang consent, yakni pernyataan untuk mau atau tidak terlibat dalam sesuatu, kebersihan diri, serta mengenalkan tentang bagian tubuh yang sensitif dan tidak boleh dipegang orang lain guna mencegah kekerasan seksual. Saat anak sudah mengalami pubertas dan menjadi remaja, maka diajarkan tentang cara menjaga kesehatan organ reproduksi. (Antara News, 28-11-2024).
Pertanyaannya adalah mampukah perilaku seksual positif yang dibangun sejak dini mencegah HIV/AIDS?
Bukan Program Baru
Program pemerintah membangun perilaku seksual positif sejak dini sebenarnya bukanlah hal baru. Program tersebut telah lama dikenal dengan nama pendidikan kespro (kesehatan reproduksi). Anak diajari agar bisa menjaga kesehatan reproduksinya, juga tentang consent, yakni pernyataan untuk mau atau tidak mau terlibat dalam sesuatu, tentang kebersihan diri, serta mengenalkan tentang bagian tubuh yang sensitif dan tidak boleh dipegang orang lain guna mencegah kekerasan seksual.
Sejak 2014 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan peraturan terkait kespro, yakni PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini terus diperbaharui hingga pada 2024 terbitlah PP 28/2024 yang cukup “ramai” karena adanya pasal kontroversial tentang penyediaan kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Artinya, upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah sudah berjalan cukup lama. Namun, apakah jumlah penderita HIV/AIDS kemudian mengalami penurunan? Ternyata tidak, bahkan makin hari makin banyak jumlahnya.
Juru Bicara Kemenkes dr. Muhammad Syahril menyebut bahwa di Indonesia pada 2023, kasus HIV pada anak usia 1—14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini setiap tahunnya bertambah sekitar 700-1000 anak dengan HIV.[1]
Kenapa kasus HIV ini terus meningkat, sedangkan upaya membentuk perilaku seksual positif sejak dini sudah dilakukan? Ini karena masalah AIDS tidak hanya masalah perilaku.
Masalah Sistemis, Butuh Solusi Sistemis
Masalah AIDS bukan hanya masalah perilaku. Sering kali anak tertular virus saat menjadi korban dari kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya, yang kebetulan adalah penderita HIV/AIDS. Begitu juga, sering kali anak tertular virus ini saat menjadi korban pelecehan seksual menyimpang yang makin merebak. Juga banyak terjadi penularan tidak secara langsung.
Hari ini, banyak istri yang tertular AIDS dari suaminya yang berperilaku seks bebas, baik dengan pasangan perempuan maupun laki-laki. Ketika istri ini hamil, ia lantas menularkan pada bayinya. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35%, lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya, seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man).[2]
Oleh karenanya, jelas bahwa membangun perilaku seksual yang sehat sejak dini tidak akan bisa menjadi solusi selama berbagai kejahatan seksual tidak diselesaikan. Juga selama berbagai bentuk pornografi dan pornoaksi masih bergentayangan di sekitar anak, serta selama masih ada pandangan umum yang salah di tengah masyarakat bahwa seks adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dilarang.
Dengan demikian, persoalan AIDS tidak bisa diselesaikan secara individu karena ini adalah persoalan sistemis. Sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan hari inilah yang membuat pengaturan segala urusan dijauhkan dari agama sehingga semua masalah itu muncul dan tidak mendapat solusi yang tepat. Penerapan sistem sekuler ini yang akhirnya memunculkan liberalisasi seksual yang menyebabkan siapa pun bebas melakukan perilaku seksual yang salah dan menyimpang, bahkan mendapatkan jaminan perlindungan dari negara.
Masalah HIV/AIDS hanya bisa diselesaikan dengan mengganti sistem hidup yang diterapkan saat ini dengan sistem hidup yang menutup rapat pintu kebebasan seksual, pornografi/pornoaksi, homoseksual, dan berbagai penyimpangan seksual lainnya. Sistem hidup yang akan menjaga kesucian di tengah masyarakat dengan membatasi hubungan seksual hanya melalui pernikahan, serta menerapkan sistem sosial yang menjauhkan laki-laki dan perempuan dari pandangan seksual.
Sistem hidup yang seperti demikian hanyalah ada pada sistem Islam. Oleh karenanya, persoalan HIV/AIDS hanya akan dapat diselesaikan dengan adanya sistem Islam melalui tegaknya Khilafah yang akan menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh.
Khilafah, Solusi Tuntas HIV/AIDS
Penerapan hukum Islam secara sempurna akan dilakukan oleh Khilafah melalui berbagai langkah sebagai berikut.
Pertama, Khilafah akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan membangun ketakwaan dan ketaatan umat pada syariat Islam. Khilafah akan memahamkan nilai-nilai, norma, moral, dan pemikiran Islam dengan melalui sistem pendidikan Islam, baik formal maupun nonformal. Dengan begitu, umat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari perilaku buruk, serta bisa menyaring informasi dan pemikiran yang rusak dan merusak. Umat tidak didominasi oleh sikap hedonis serta mengutamakan kepuasan hawa nafsu.
Kedua, Khilafah akan menerapkan sistem pergaulan Islam. Semua hukum tentang pergaulan Islam harus dijalankan, mulai dari batasan aurat dan kewajiban menutupnya, larangan tabaruj (bersolek secara berlebihan) bagi perempuan, hukum memisahkan tempat tidur, kewajiban infishal (terpisah) antara kehidupan laki-laki dan perempuan, perintah gadhul bashar (menundukkan pandangan), larangan khalwat (berdua-duaan) antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa mahram, larangan ikhtilat (bercampur baur) antara laki-laki dan perempuan, hingga haramnya zina dan semua aktivitas mendekati zina. Negara pun akan memudahkan bahkan memfasilitasi siapa saja yang ingin menikah secara syar’i agar terhindar dari pergaulan bebas maupun perbuatan maksiat lainnya.
Ketiga, Khilafah akan mengatur media dan menetapkan sistem informasi yang bebas dari pornografi/pornoaksi serta kekerasan. Khilafah akan menghentikan penyebaran segala bentuk pornografi/pornoaksi, baik yang dilakukan sesama jenis maupun berbeda jenis. Khilafah akan menyensor semua media yang mengajarkan dan menyebarkan pemikiran dan budaya yang merusak. Media juga akan digunakan oleh negara sebagai sarana untuk mengedukasi umat, hingga mengajari cara menyalurkan gharizah nau’ (naluri seksual) yang benar, yakni dengan menikah secara syar’i.
Khilafah juga akan menghentikan segala arus informasi terkait peredaran narkoba. Sebagaimana diketahui, salah satu perantara penyebaran virus HIV/AIDS adalah melalui jarum yang digunakan secara bergantian oleh para pemakai narkoba.
Khilafah juga akan menjadikan seluruh media yang dimiliki—media massa maupun media sosial sebagai sarana dakwah—untuk membangun ketakwaan umat, meningkatkan keterikatan kepada syariat Islam, dan menangkal segala paham (liberalisme, sekularisme, dsb.) yang menjerumuskan umat kepada gaya hidup serba bebas dan jauh dari agama.
Keempat, Khilafah akan melakukan proteksi dan rehabilitasi. Proteksi artinya melakukan segala cara agar semua yang bisa menjadi perantara penularan HIV/AIDS bisa ditiadakan. Adapun bagi yang sudah menderita penyakit tersebut, terlebih bagi mereka yang tertular bukan karena kesalahan mereka, seperti istri yang tertular dari suaminya atau bayi-bayi tidak bersalah yang tertular dari ibunya, Khilafah akan berupaya merehabilitasinya. Semuanya tentu saja dengan gratis, tanpa biaya sedikit pun.
Kelima, Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Penerapan sistem ekonomi Islam ini akan menjadikan semua harta kepemilikan umum, seperti berbagai macam tambang, hutan, SDA yang ada di laut dll., semuanya akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan diberikan kepada rakyat. Alhasil, rakyat pasti akan sejahtera, hidup berkecukupan, tidak akan ada yang menjadikan alasan ekonomi (karena miskin, lapar, kekurangan, dll.) demi melegalkan perilaku menyimpang dan maksiat.
Penerapan sistem ekonomi Islam juga akan mengantarkan Khilafah menjadi negara yang kaya raya, mampu membiayai semua kebutuhan negara maupun kebutuhan seluruh rakyat, termasuk kebutuhan akan sarana/prasarana yang diperlukan untuk pencegahan maupun penanggulangan HIV/AIDS.
Keenam, Khilafah akan menerapkan sistem sanksi (ukubat) Islam. Penerapan sistem sanksi Islam ini akan memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang serupa. Allah Swt. berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Di dalam Kitab Nizham al-Uqubat fil al-Islam karya Abdurrahman al-Maliki disebutkan bahwa mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabiin, maupun para ulama terpandang pada setiap zaman, menyatakan bahwa pezina yang belum menikah dijilid sebanyak 100 kali cambuk, sedangkan pezina mukhshan (yang sudah pernah menikah) dirajam hingga mati. Rasulullah saw. telah merajam Ma’iz. Seperti yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan. Nabi saw., memerintahkan untuk menjilidnya. Kemudian ada kabar bahwa ia adalah mukhshan, maka Nabi saw. memerintahkan untuk merajamnya.
Adapun tentang perilaku seks menyimpang, seperti homoseksual, kita dapati Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual, seperti kelakuan kaum Luth, maka bunuhlah keduanya (pelaku dan objeknya).” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Khatimah
Demikianlah, membentuk perilaku seksual positif dari sejak dini tidak akan mampu mencegah penularan HIV/AIDS karena persoalan ini bukan hanya masalah perilaku, melainkan masalah sistemis. Persoalan HIV/AIDS hanya bisa diselesaikan dengan mengganti sistem sekuler kapitalisme menjadi sistem Islam.
Melalui tegaknya Khilafah Islamiah ‘ala minhaajin nubuwwah yang akan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, akan tertutup rapat pintu kebebasan seksual, serta akan terjaga kesucian di tengah masyarakat. Wallahualam.
0 Komentar