Beratnya Hidup di Jakarta

  


#CatatanRedaksi — "Siapa suruh datang Jakarta, Siapa suruh datang Jakarta", itulah sedikit penggalan lagu yang cukup populer menggambarkan kerasnya hidup di Jakarta. Bahkan, muncul ungkapan, "Jahatnya ibu tiri tak sejahat ibu kota" (meskipun status ibu kotanya sudah dicabut baru-baru ini-pen). Jakarta, selalu menyimpan segudang asa dan cerita. Kota trendsetter seluruh Indonesia, tidak hanya life style dan kemegahannya, tetapi juga gambaran jelas jurang si miskin dan si kaya makin menganga.



Hal tersebut diperparah dengan gambaran terbaru besaran biaya hidup di Jakarta yang mencapai nilai fantastis. Dilansir dari Mediaindonesia.com (12/12/2024), berdasarkan data survei BPS, biaya hidup di Jakarta mencapai sekitar Rp14,88 juta per bulan untuk rumah tangga yang terdiri dari dua hingga enam orang. Meskipun hanya acuan sementara, tetapi pastinya melihat tren yang berjalan, kondisi ini tidak akan semakin turun, tetapi justru akan semakin naik. Padahal, UMP Jakarta terakhir masih di kisaran Rp5 juta-an. Satu angka yang terpaut sangat jauh, kebutuhan hidup per bulan lebih dari dua kali lipat UMP.



Ironisnya, jumlah biaya hidup yang nyaris untouchable itu tetap saja tidak membuat orang enggan hidup di Jakarta. Justru sebaliknya, jumlah penduduk Jakarta terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2023 total jumlahnya 10 juta (liputan6.com, 15/6/2023). Menurut disdukcapil Jakarta mencapai 11,34 juta jiwa pada pertengahan 2024. (databoks.katadata.co.id, 16/11/2024)



Alasan klasik urbanisasi ini adalah mengadu nasib. Bagaimana tidak, pusat perputaran uang terbesar negeri ini ada di Jakarta. Menurut Kepala Biro Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi DKI Jakarta, Mochamad Abbas, Jakarta masih menjadi pusat perputaran uang nasional dan kegiatan perekonomian nasional di masa depan. "Jakarta merupakan pusat perputaran uang nasional, sekitar 70 persen uang beredar di Jakarta. Hal ini karena Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi, bisnis, dan keuangan di Indonesia," kata Abbas saat Balkoters Talk bertajuk "Jakarta Merawat Daya Beli, Mengendalikan Inflasi" di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Kamis (Antaranews.com,  24/3/2024).



Jadi, wajar kiranya banyak orang mencoba peruntungan di Jakarta. Namun, kondisi membludaknya kedatangan orang di Jakarta malah menjadikan jumlah orang miskin, bahkan kemiskinan ekstrem di ibu kota semakin mengkhawatirkan. Permukiman kumuh menjamur di antara gedung-gedung mewah, nasib warga yang sangat jomplang, tidak ada kesejahteraan kehidupan rakyat dan masih banyak lagi.



Tentunya, sistem ekonomi kapitalismelah sejatinya biang keladi semua ini. Sistem ini hanya mengukur kesejahteraan manusia dari banyaknya cost yang dia keluarkan dalam hidupnya. Sering muncul anekdot, "murah kok minta bagus, bagus ya mahal". Akhirnya, nestapa itu akan terus menimpa rakyat kecil yang tidak punya biaya untuk mendapatkan barang, jasa yang bagus, dan berkualitas.



Sungguh ini sangat berbeda secara diametral dengan Islam. Bagaimana Islam melihat rakyat itu harus diurusi, dilayani, dan disejahterakan. Harta itu bukan hanya berputar untuk orang-orang kaya saja, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah al-Hasyr ayat 7,



مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ ۝٧



“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”



Dari sini jelas, seharusnya akses kesejahteraan hidup bisa didapat dengan mudah dan murah bagi siapa saja warga negara, bukan hanya orang-orang kaya di antara rakyat. Fungsi negara seharusnya menjadi pelayan rakyat yang memberi kemudahan semua urusan rakyatnya. Kondisi itu pernah terjadi secara gemilang ketika Islam diterapkan secara totalitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tetapi saat ini, ketika sistem kapitalisme-sekuler diterapkan di dunia, sejahtera bagai mimpi di siang bolong. Akan sangat sulit terealisasi karena fungsi negara dalam kapitalisme bukan untuk mengurusi rakyatnya melainkan mengurusi diri (penguasa) dan kroni-kroninya (oligarki).



Rakyat terus menjadi korban keserakahan dan ambisi mereka tanpa ampun. Yang terbaru, bagaimana penolakan masif terkait kenaikann PPN oleh rakyat. Namun, kenaikan PPN tetap akan diberlakukan dan itu hanya salah satu kado pahit awal tahun bagi rakyat. Sungguh menyedihkan di tengah kehidupan yang sulit hari ini mereka juga diperas lagi dengan aneka pajak, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Jadi, akankah kita terus seperti ini? Tidakkah kita tergerak untuk menyudahi semua ini dengan jalan yang diridai iLlahi Robbi? Wallahu a'lam bi asshawwab.



Hanin Syahidah, S.Pd.


Posting Komentar

0 Komentar