Fenomena Childfree: Antara Kapitalisme, Feminisme, dan Dekonstruksi Peran Perempuan




#Wacana — Meningkatnya Fenomena Childfree


Childfree adalah keputusan untuk tidak memiliki anak. Fenomena ini makin mencuri perhatian publik, setelah Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia melaporkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 71 ribu perempuan berusia 15-49 tahun yang memilih jalan ini. Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) sekaligus Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Wihaji, mengidentifikasi tiga faktor utama yang mendorong keputusan tersebut, yaitu:


Pertama, tekanan ekonomi. Banyak pasangan merasa tidak mampu menanggung biaya hidup anak yang makin mahal akibat sistem kapitalisme. Kedua, prioritas karier. Makin banyak perempuan yang ingin mengejar jenjang profesional, bahkan tanpa memiliki anak. Ketiga, pergeseran budaya. Pandangan tradisional terhadap pernikahan dan peran perempuan mulai bergeser.


Di balik keputusan tersebut, terdapat pengaruh besar dari kapitalisme dan feminisme modern yang turut mengaburkan fitrah manusia. Bagaimana fenomena ini berkembang, dan apa dampaknya terhadap peran perempuan dalam masyarakat? 


Kapitalisme, Feminisme dan Dekonstruksi Peran Perempuan


Kapitalisme telah menciptakan struktur sosial yang menempatkan materialisme sebagai tolok ukur utama kehidupan. Dalam sistem ini, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya semakin mahal, membuat anak dianggap sebagai beban finansial. Kehidupan yang berorientasi pada keuntungan dan kompetisi memaksa individu untuk terus bekerja keras, bahkan sering kali mengabaikan aspek keluarga. Pandangan seperti ini menjadikan peran orang tua, khususnya ibu, dipandang tidak produktif secara ekonomi.


Kapitalisme juga memosisikan perempuan sebagai bagian dari pasar tenaga kerja, menuntut mereka untuk menjadi produktif dalam pekerjaan formal. Akibatnya, banyak perempuan yang memilih untuk menunda atau bahkan menolak peran sebagai ibu demi mempertahankan posisi profesional mereka. Ini adalah buah dari sistem yang mengukur nilai manusia berdasarkan kontribusi materi.


Feminisme dengan slogan kebebasan individu dan kesetaraan gender, sering kali menempatkan peran domestik perempuan sebagai bentuk penindasan. Menjadi ibu dianggap sebagai hambatan untuk meraih kebebasan sehingga banyak perempuan yang merasa perlu membuktikan eksistensinya melalui karier di ruang publik. 


Sistem kapitalisme berhasil mendekonstruksi peran perempuan. Fenomena childfree adalah contoh konkretnya. Tidak sedikit dari perempuan membuat keputusan yang  salah disebabkan karena pola pikir feminisme tersebut. Ide-ide feminisme memberikan ruang bagi perempuan untuk berekspresi sesuai kehendak  perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan syariat Islam. Menganggap perempuan yang tidak berperan publik, punya anak dan mengasuhnya, menutup aurat sesuai syariat, taat suami adalah terbelakang.  Keputusan ini sungguh sangat naif karena peran domestik terutama sebagai ibu, memiliki dampak strategis bagi keberlanjutan peradaban manusia.                      


Tantangan Menjadi Ibu dalam Konteks Modern


Menjadi ibu membutuhkan pengorbanan besar secara fisik, emosional, dan spiritual. Namun, di bawah tekanan kapitalisme, peran ini sering direduksi menjadi beban yang tidak dihargai secara sosial. Ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan nilai ekonomi secara langsung. Padahal, peran seorang ibu sebagai pendidik generasi adalah pekerjaan strategis yang tidak dapat digantikan.


Dalam konteks modern, semuanya diukur dengan uang. Pendidikan, kesehatan, bahkan kelahiran semua membutuhkan biaya. Ini adalah kenyataan yang dihadapi perempuan masa kini yang seringkali menumbuhkan rasa takut untuk menikah dan memiliki anak. Ketika perempuan memilih untuk tidak memiliki anak, mereka mencari berbagai alasan, meskipun itu bertentangan dengan kodrat mereka.


Fenomena childfree adalah cerminan dari krisis nilai yang disebabkan oleh kapitalisme beserta turunannya yaitu feminisme. Sistem ini telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap pernikahan, keluarga, dan anak. Padahal, ada hal yang perlu dibenahi. Pertama, pemahaman diri tentang kehidupan ini; kedua, sistem yang melingkupi kita. Seorang ibu harus memahami bahwa memiliki anak adalah bagian dari takdir Allah. Banyak perempuan yang sangat ingin memiliki anak namun tidak diberi, dan sebaliknya, banyak yang berencana tidak punya anak, tetapi takdir Allah berkata lain.


Al-Qur'an menegaskan pentingnya berkembang biak sebagai tujuan penciptaan manusia dalam QS an-Nisa: 1. Rasulullah saw. juga menegaskan kedudukan ibu dalam hadis yang menyebutkan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu (HR al-Bukhari). Perspektif feminisme modern yang menolak peran ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang memuliakan ibu sebagai pilar peradaban.


Mengembalikan Peran Perempuan pada Fitrahnya


Islam menawarkan solusi holistik yang dapat mengatasi fenomena childfree dengan mengembalikan manusia pada fitrah ilahiah. Berikut adalah solusi yang ditawarkan Islam:


(1) pemahaman bahwa Anak adalah rezeki. Islam mengajarkan bahwa setiap anak memiliki rezekinya sendiri yang telah ditentukan oleh Allah Swt.. Dalam QS al-Anfal: 28, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak adalah ujian, tetapi juga karunia yang membawa keberkahan jika dikelola dengan iman dan takwa. Perspektif ini membebaskan manusia dari ketakutan akan tekanan ekonomi, mengingat Allah adalah pemberi rezeki yang Maha Pemurah. Konsep rezeki pun harus dipahami dengan benar, bahwa rezeki adalah hak Allah, dan setiap orang sudah ada takarannya, tidak akan tertukar;


(2) membangun sistem ekonomi yang adil. Sistem kapitalisme yang menimbulkan ketimpangan dan tekanan ekonomi harus digantikan dengan sistem Islam yang berbasis keadilan. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan. Dengan adanya jaminan sosial ini, memiliki anak tidak lagi dianggap sebagai beban finansial;


(3) menguatkan nilai keluarga dalam Islam. Islam memandang keluarga sebagai institusi utama dalam membangun masyarakat. Pergeseran budaya yang meremehkan peran ibu perlu diluruskan dengan menanamkan pendidikan berbasis Islam dan harus ditekankan untuk mengembalikan pandangan positif terhadap peran ibu sebagai pendidik generasi.


(4) meningkatkan dukungan bagi perempuan. Islam tidak melarang perempuan untuk berkiprah di ruang publik, tetapi menekankan keseimbangan antara peran domestik dan publik. Negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas seperti cuti melahirkan yang memadai, layanan kesehatan gratis, dan dukungan lainnya agar perempuan dapat menjalankan perannya sebagai ibu tanpa kehilangan kesempatan untuk berkontribusi di masyarakat.


Rasulullah saw. menekankan pentingnya penghormatan kepada ibu dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Ibu, ibu, dan ibu—baru kemudian ayah. Penghormatan ini bukan hanya karena tugas ibu yang berat, tetapi juga karena hakikat surga yang Allah janjikan berada di bawah telapak kaki seorang ibu, sebuah penghargaan luar biasa yang hanya bisa diraih oleh ibu yang dengan tulus menjalankan peranannya.


Bagi seorang ibu yang ikhlas menjalankan segala tugas demi mendapatkan ridha Allah, sesungguhnya perjuangan mereka adalah bentuk amal yang besar di sisi-Nya, meskipun di mata masyarakat terkadang dianggap sepele. Ibu yang memilih untuk tidak memiliki anak, pada hakikatnya memilih untuk meninggalkan potensi besar untuk memberikan kontribusi pada peradaban umat.


Sebagai madrasah pertama bagi anak, ibu memegang peranan utama dalam menentukan kualitas generasi masa depan. Peran ibu jauh melampaui sekadar pengasuhan fisik, tetapi juga pembentukan karakter, pemikiran, dan arah hidup anak. Ibu yang berkualitas adalah kunci bagi terciptanya generasi unggul. Melihat contoh para ulama besar, banyak di antara mereka yang kesuksesannya tidak terlepas dari bimbingan dan motivasi dari ibu mereka. Seperti yang dilakukan oleh ibunda Ibnu Taimiyah yang menanamkan pada anaknya agar selalu mengabdi kepada Islam dan umat manusia.


Ibu bukan hanya sekadar pengasuh melainkan agen perubahan yang dapat mengubah wajah peradaban. Karena itu, seorang perempuan yang tidak ingin menjadi ibu sejatinya merendahkan potensinya untuk berkontribusi besar bagi kemajuan umat dan peradaban. Sebuah cita-cita yang sempit, yang lebih mengutamakan kebahagiaan sesaat daripada warisan abadi untuk umat manusia. Islam menawarkan solusi secara holistik dengan mengembalikan nilai-nilai ilahiah, menempatkan anak sebagai amanah dan rezeki, serta ibu sebagai pilar peradaban.


Sistem kapitalisme itu sendiri jelas memperlihatkan kebobrokannya. Mengutamakan kebebasan dan manfaat duniawi, sistem ini mendorong manusia untuk mengejar kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akhirat. Inilah yang melahirkan ide-ide seperti childfree yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, tak ada jalan lain selain mengganti sistem kapitalisme ini dengan sistem Islam yang lebih adil dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam memandang peran perempuan sangat mulia sebagai pendidik generasi. Wallahualam bissawab.


Zakiyah Amin, S.P., M.M.


Posting Komentar

0 Komentar