Giant Sea Wall Pesisir Pantura Menjadi PSN 2025, Solusi?

 


#CatatanRedaksi — Kondisi daerah pesisir laut Jawa selalu menjadi ancaman yang sangat mengkhawatirkan hingga saat ini. Banjir rob, abrasi sampai beberapa kilometer, dan naiknya permukaan laut dari tahun ke tahun berbanding lurus dengan semakin turunnya muka tanah (daratan) menjadi ancaman bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai.


Dilansir oleh mongabay.co.id (12/4/2024), Muhammad Faisal Latif, warga Kelurahan Degayu, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, menuturkan bahwa daerahnya akan terendam banjir saat hujan lebat turun, kendati tanggul laut sepanjang 7,2 km hampir selesai dibangun. Menurutnya, Desember hingga Februari merupakan bulan langganan banjir.


Di Degayu, penurunan muka tanah mencapai 15-16 cm terjadi dari tahun 2021 hingga 2023. Ini yang menyebabkan banjir terus terjadi. Nasib Demak tidak jauh berbeda. Lahan pertanian mulai tenggelam. “Di Kecamatan Sayung, Demak, makam wali sekarang berada di tengah laut. Dulu kami ziarah masih bisa jalan kaki, sekarang dari parkiran naik perahu.”


Begitu pun dengan Pesisir Utara Jakarta yang juga terancam tenggelam. Pengajar Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas memakai rumus fisika dasar untuk menghitung jarak. Dari perhitungan tersebut didapatkan angka kenaikan air laut hanya 6 mm-1 cm per tahun. "Ternyata di permukaan, jaraknya makin pendek. Ketika jaraknya makin pendek, berarti ada kenaikan muka air laut," jelas Heri. Berarti 100 tahun baru tuh 1 meter. Itu berarti naik perlahan (CNNIndonesia.com, 10/3/2022).


Berikut ancaman tenggelamnya Jakarta bisa disebabkan antara lain, pertama, penurunan muka tanah merupakan penyebab utama ancaman tenggelamnya Jakarta. Penurunan tanah ini disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan. Padatnya penduduk Jakarta dan minimnya daerah resapan semakin memperparah kondisi ini.


Kedua, Kenaikan muka air laut. Peningkatan muka air laut juga menjadi faktor yang membuat ancaman tenggelamnya Jakarta semakin besar. Ini disebabkan curah hujan rata-rata tinggi di Jakarta akibat perubahan iklim, salah satunya efek rumah kaca. Kalau toh ada solusi pompa air ketika terjadi genangan/banjir, ternyata pompa itu langsung dialirkan ke laut, bukan diserap ke dalam tanah untuk cadangan air bersih di musim kemarau, kondisi inilah yang membuat permukaan air laut semakin naik bahkan meluber.


Ketiga, beban bangunan. Pembangunan bangunan-bangunan besar di Jakarta Utara, termasuk di kawasan pesisir, juga menjadi faktor yang memperburuk ancaman tenggelamnya Jakarta. Penelitian Muhammad Ihsan Syahidan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan sejak 2014 sampai 2022, lahan terbangun di Jakarta Utara meningkat 9% atau seluas 853,42 hektar.


Sementara itu, tawaran solusi yang diupayakan pemerintah cenderung jangka pendek, misal, bangun tanggul. Nirwono Joga, ahli tata kota dari Universitas Trisakti mengatakan, dibandingkan membangun dan merawat tanggul yang mahal, menanam mangrove jauh lebih efektif dan menguntungkan dalam jangka panjang. Hutan pantai dan mangrove yang tumbuh subur akan menjadi pelindung alami dari abrasi dan gelombang laut. Walhi melihat ketidaksesuaian tata ruang di Jakarta ini karena politik tata ruang belum berpijak pada prinsip berkelanjutan dan keadilan lingkungan (Mongabay.co.id, 25/7/2024).


Begitulah eksploitasi lingkungan terjadi besar-besaran tanpa memperhitungkan kelestariannya. Itulah sejatinya basis ideologi Kapitalisme yang diakui atau tidak, saat ini juga diterapkan di negeri ini. Hanya dengan basis modal dan kapital, maka eksploitasi pun melenggang tanpa memperhatikan rusaknya ekosistem, yang penting menguntungkan. Reklamasi, pusat-pusat penambangan aneka barang tambang misalnya nikel, batubara, timah, emas, dan sebagainya juga semakin membuat ekosistem rusak dan tercemar.


Padahal, Allah Swt. menciptakan lingkungan ini untuk bisa dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, bukan dirusak. Sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan untuk generasi mendatang, karena warisan lingkungan yang diberikan kepada mereka di masa depan adalah lingkungan yang rusak. Maka sejatinya, solusi untuk mengembalikan lingkungan ini lestari dan memberi manfaat kepada rakyat tidak lain dan tidak bukan adalah dengan normalisasi dan naturalisasi lingkungan. Yakni mengembalikan alam kembali seperti dulu. Hunian dan tempat hidup penduduk seharusnya diatur sedemikian rupa dengan tata ruang dan tata wilayah yang tetap menjaga lingkungan, dan semua itu membutuhkan Political Will dari pemerintah untuk memang benar-benar fokus kepada kelestarian lingkungan di masa depan untuk anak cucu kita.


Maka benar, Allah Swt. telah berfirman: 


"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS ar-Rum: 41)


Maka, solusi dari masalah ini adalah dengan mengembalikan tata ruang dan tata wilayah yang sesuai dengan aturan Allah Swt. agar ancaman kerusakan di darat dan di laut tidak semakin mengerikan. Wallahua'lam bi asshawwab.[] 



Hanin Syahidah, S.Pd.

(Aktvis Dakwah) 


Posting Komentar

0 Komentar