#CatatanRedaksi — Mencengangkan, Jakarta kembali memberi kejutan. Angka golput Jakarta versi quick count tertinggi dari semua kota besar di Indonesia. Seperti dilansir kompas.com, 29/11/2024, realita pascapenghitungan yang dilakukan oleh KPU Jakarta, angka partisipasi pemilih hanya 53,05 persen. Artinya, persentase golput di Jakarta sebanyak 46,95 persen atau setara dengan 3,8 juta jiwa. Angka ini menjadi persentase tertinggi sepanjang sejarah golput di Jakarta. Belum lagi statement yang muncul dari masyarakat Jakarta terkait Pilkada Jakarta.
Dilansir dari BBC.com, 30/11/2024, Misnawati, warga Kampung Rawa Jakarta Utara, Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) sengaja mencoblos semua surat suara sehingga tidak sah dan berkata, “Ini sebagai bentuk perlawanan, ketidakpercayaan, dan kekecewaan kami sebagai masyarakat Jakarta atas ketidakadilan dalam demokrasi yang sudah dibeli oleh oligarki,” katanya.
Hal senada juga dilakukan oleh Gugun (Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) yang melakukan gercos sebagai bentuk protes melalui suaranya (protest voting) terhadap proses pencalonan kepala daerah yang diatur oleh elite, bukan rakyat yang menentukan. “Katanya kan pesta demokrasi, rakyat bebas memilih, tetapi sebenarnya saya enggak bebas-bebas amat memilih karena kandidatnya itu sudah ditentukan elite. Partai politik disandera dalam satu koalisi. Calon-calonnya sudah di-setting dan rakyat tidak punya banyak pilihan,” keluh Gugun.
Begitulah jeritan rakyat dalam Pilkada Jakarta dan memang begitulah faktanya. Calon-calon pemimpin yang masuk pemilihan besutan demokrasi sudah di-setting sejak awal, mulai dari electoral treshold dalam UU Pemilu dan jumlah calon independen yang dibatasi. Rakyat sudah hafal dengan semua manuver yang dilakukan parpol dan elite politik agar bisa menang. Bagaimana koalisi gemuk KIM plus-plus mencoba peruntungan berkoalisi dengan banyak partai untuk kemenangan pilpres, meskipun harus puas dengan perolehan suara nomer dua.
Jika ditelisik lebih jauh, hal ini tidak mengherankan terjadi. Demokrasi muncul dari ideologi kapitalisme, pemilik kapital yang besar, maka dia yang menang. Relate, makin banyak uang yang dipunyai dan menggelontorkannya pada sasaran, maka makin besar pula peluang kekuasaan yang didapatkan. Terlebih, politik transaksional di negeri ini bukan rahasia umum. Perselingkuhan penguasa dan pengusaha adalah hal yang biasa. Jalur politik demokrasi yang awal kemunculannya adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", hari ini telah bergeser menjadi "dari oligarki, oleh oligarki, dan untuk oligarki".
Winters (2014) mengartikan oligarki sebagai suatu strategi politik pertahanan kekayaan oleh mereka yang memiliki sumber daya material besar. Hal tersebut dipertahankan supaya properti dan sumber penghasilan mereka tetap terjaga. Menurutnya, kelompok orang 'super kaya' bisa dikategorikan sebagai elite oligarki, seperti pejabat tinggi, pengusaha, dan orang yang masuk dalam daftar orang terkaya baik di level global maupun nasional (Kompas.com, 18/1/2022).
Fenomena ini semakin nyata di sekitar kita. Bagaimana sebuah wilayah yang merupakan proyek yang dipegang swasta ditetapkan sebagai PSN demi balas budi penguasa yang terpilih kepada penyandang dananya. Hal ini berimbas langsung kepada kebijakan yang dimunculkan, tidak memihak rakyat tetapi memihak pemilik modal. Maka, sangat wajar rakyat menjadi apatis terkait kondisi politik hari ini.
Janji-janji manis politisi tidak lagi menggiurkan karena gempuran fakta berbicara berbeda. Kondisi ekonomi semakin sulit, daya beli masyarakat turun drastis, PHK besar-besaran, kelas menengah menyerah sehingga jatuh miskin, wacana kenaikan PPN 12% di awal tahun 2025—masif penolakan di tengah masyarakat sampai detik ini—adalah kebijakan yang tidak mengubah apa-apa, malah kian menyengsarakan rakyat. Seringkali muncul pertanyaan, bagaimana melepaskan kondisi kehidupan seperti ini karena semua ini terus berulang.
Sebenarnya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia seharusnya menjadikan Islam sebagai way of life (jalan hidup), karena Islam juga mengatur semua aspek kehidupan, bukan hanya terkait ibadah ritual melainkan juga aktivitas muamalah dalam kehidupan masyarakat, seperti dalam masalah ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan. Untuk masalah bersuci (thaharah) saja Islam mengatur, apalagi masalah negara. Maka, Islam sejatinya sudah memiliki aturan dan peringatan.
Kiranya sebagai muslim, hari ini kita dapat merenungkan firman Allah dalam surah Thaha ayat 124–126:
وَمَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِكۡرِىۡ فَاِنَّ لَـهٗ مَعِيۡشَةً ضَنۡكًا وَّنَحۡشُرُهٗ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اَعۡمٰى ١٢٤ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِىۡۤ اَعۡمٰى وَقَدۡ كُنۡتُ بَصِيۡرًا ١٢٥ قَالَ كَذٰلِكَ اَتَـتۡكَ اٰيٰتُنَا فَنَسِيۡتَهَاۚ وَكَذٰلِكَ الۡيَوۡمَ تُنۡسٰى ١٢٦
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." Dia berkata, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat? Dia (Allah) berfirman, "Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan."
Alhasil, sudah saatnya menerapkan sistem hidup alternatif yang diridai Allah agar kesempitan hidup tidak terus terjadi. Wallahualam bissawab.[]
Hanin Syahidah, S.Pd.
0 Komentar