Hantu Golput Bergentayangan di Pilkada Jakarta 2024, Hiii Takuuutt!!!





Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany) 



#TelaahUtama — Angka partisipasi pemilih pada Pilgub Jakarta 2024 hanya mencapai 4.357.512. Padahal, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 8.214.007. Artinya, partisipasi pemilih di Jakarta ada di angka 53,05 persen atau yang golput mencapai 46,95%. Angka golput pada Pilgub Jakarta 2024 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah sejak 2007 silam. 


Menanggapi fenomena golput yang cukup tinggi di Jakarta paslon nomor urut 2, Dharma menuding tingginya angka golput sebagai modus baru untuk kecurangan dalam Pilkada. Ia mengklaim bahwa banyak pendukungnya yang terpaksa golput karena tidak menerima undangan memilih dari KPPS setempat. Di sisi lain Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, menjelaskan bahwa fenomena ini berakar pada tingkat pendidikan masyarakat DKI yang tergolong tinggi. Ia menyebut proses pencalonan yang dianggap kurang alami sebagai biang kerok utama maraknya golput di Jakarta. Para calon disebut lebih banyak melewati proses formal maupun informal tertentu, sehingga kurang menarik perhatian masyarakat. 


Selain itu ada pula yang menyebutkan bahwa tingginya tingkat golput di Pilkada Jakarta 2024, salah satunya disebabkan ketidaksesuaian aspirasi masyarakat dengan calon yang dimunculkan partai politik. Mereka menuding tidak diajukannya Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kontestasi pemilu membuat para pendukungnya memilih untuk tidak ikut serta dalam Pilkada. 


Fenomena golput dalam pesta demokrasi sejatinya bukan hal yang aneh. Dalam Pilkada 2020 lalu misalnya, seluruh warga Desa Matabondu di Sulawesi Tenggara (Sultra) memilih untuk golput. Mereka mengaku ‘suara mereka tak pernah didengar’ dan menganggap Pilkada tidak membawa perubahan yang berarti. Kondisi ini mengonfirmasi bahwa kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem demokrasi hanyalah omong kosong. 


Di dalam demokrasi narasi semisal “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, “kedaulatan di tangan rakyat”, serta “suara rakyat, suara Tuhan” hanyalah mitos belaka. Pada praktiknya, semua mitos dan narasi ini justru membawa kepada keburukan. Dalam konteks pengaturan hidup bernegara dan bermasyarakat, “rakyat” yang dimaksud nyatanya hanya merujuk para elite pemilik modal dan oligarki. Dengan demikian, setiap kebijakan yang dilahirkan pun diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para cuan dan segelintir pemilik kekuasaan. Celakanya, mitos-mitos ini kemudian diperkuat dengan narasi soal jaminan kebebasan atau HAM, mulai dari kebebasan berpikir atau berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berperilaku, hingga kebebasan kepemilikan. 


Di sisi lain, golput terjadi karena adanya ketidaksesuaian aspirasi masyarakat dengan calon yang dimunculkan partai politik. Dalam hasil penelitian Russell J. Dalton, dengan judul _Political Disillusionment and the Decline in Voter Turnout_ dijelaskan bahwa fenomena penurunan partisipasi pemilih mayoritas terjadi karena adanya kekecewaan politik (political disillusionment). Ia menemukan keadaan ketika pemilih merasa tidak terwakili atau tidak percaya pada sistem politik, sehingga cenderung tidak benar-benar berpartisipasi dalam pemilihan umum. Selain itu, ada kecenderungan trust issue publik terhadap parpol yang memunculkan sikap pragmatis masyarakat terhadap parpol. 


Angka golput yang cenderung merangkak naik dalam beberapa gelaran pesta demokrasi sejatinya mengindikasikan bertambahnya ketidakpercayaan rakyat pada proses demokrasi itu sendiri. Hal ini karena proses demokrasi hanya memanfaatkan suara rakyat untuk memuaskan ambisi berkuasa suatu golongan. Bukannya memihak kepada urusan rakyat banyak, para elite politik justru hanya memihak kepada kepentingan segelintir konglomerat hitam. Pada akhirmya, demokrasi tidak menghasilkan perubahan signifikan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik. 


Sejatinya, demokrasi merupakan instrumen para elite untuk mendapatkan berbagai keistimewaan dan kekayaan dengan mengatasnamakan rakyat. Padahal, rakyat negeri ini mayoritas hidup susah. Maka wajar jika kemudian berkembang sikap apolitis di tengah-tengah masyarakat. Makin hari rakyat makin tidak peduli politik karena politik dalam demokrasi adalah politik tipu-tipu. 


Hanya saja, kesadaran rakyat atas kegagalan demokrasi harus diikuti dengan kesadaran atas alternatif solusi sistem pengganti bagi demokrasi, yakni Islam. Edukasi politik yang ditanamkan di benak masyarakat seharusnya berupa makna politik yang benar, bagaimana kriteria pemimpin yang benar, bagaimana cara memilih pemimpin yang benar, dan apa konsekuensi ketika menjadi pemimpin. Tuntunan edukasi politik yang sahih tentulah berasaskan syariat Islam, bukan yang lain. Dengan ini dibutuhkan penerapan sistem Islam kafah di tengah-tengah umat yang secara alami akan memunculkan sosok-sosok pemimpin amanah. Sehingga ketika rakyat memilih, maka mereka memilih calon pemimpin yang tunduk kepada aturan-aturan Allah Swt.. 


Patutlah kita mengingat peringatan yang telah Allah Swt. sampaikan dalam firman-Nya, "Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan." (TQS Shad: 26)  

Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar