Anggun Permatasari
#TelaahUtama — Kejutan awal tahun 2025 berupa rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025, mendapat penolakan luas dari sejumlah elemen masyarakat. Di jajaran elite partai politik, PDI Perjuangan menjadi parpol yang paling bersuara lantang menolak rencana kenaikan tersebut. Meskipun, fraksi partai ini juga yang menjadi pimpinan panitia kerja (panja), ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menjadi dasar kenaikan PPN tersebut, dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (kompas.com, 23/12/2024).
Sungguh, penguasa besutan sistem kapitalisme tidak memiliki empati sedikit pun untuk rakyat. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu peribahasa yang sesuai dengan penderitaan rakyat saat ini. Sebab, sistem kapitalisme telah memiskinkan rakyat karena dengan aturannya mengizinkan sumber daya alam milik rakyat dikuasai segelintir orang.
Seharusnya kita kembali pada konsekuensi syahadat kita sebagai muslim. Dalam aturan Islam, sesungguhnya pemimpin dalam Islam tidak memungut pajak yang diambil dari masyarakat. Sedangkan, dalam sistem kapitalisme saat ini, pendapatan, barang-barang termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan dikenakan pajak.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh al-Hakim)
Apabila kita menengok pada sejarah Nabi saw., tidak ditemukan riwayat sama sekali beliau pernah memungut pajak. Bahkan, ketika Rasulullah saw. mengetahui bahwa terjadi pemungutan pajak pada komoditas-komoditas di perbatasan negeri, beliau justru melarangnya. Dalam aturan Islam, sumber penerimaan kas negara yang masuk ke baitulmaal (kas negara) diperoleh dari: (1) fai (anfal, ganimah, khumus); (2) jizyah; (3) kharaj; (4) ‘usyur; (5) harta milik umum yang dilindungi negara; (6) harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) khumus rikaz dan tambang; (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan (9) harta orang murtad.
Dalam sistem Islam dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Namun, penerapan dan pengaturannya sangat jauh berbeda dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme saat ini. Pemungutan dharibah merupakan jalan terakhir yang diambil penguasa apabila kondisi kas baitulmaal benar-benar kosong. Maka pada kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim yang kaya.
Pemungutan pajak diambil dari sisa pendapatan untuk kebutuhan hidup dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya, serta dilakukan secara makruf. Pajak dipungut untuk kebutuhan baitulmaal dalam memenuhi kewajiban negara. Apabila kebutuhan baitulmaal sudah terpenuhi, pengambilan pajak dihentikan. Pajak dalam aturan Islam diterapkan secara temporal dan bukanlah penerimaan rutin (Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam).
Dalam kitab Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129, Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmaal. Oleh karena itu, pengambilan pajak dalam Islam bukan suatu kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.
Aturan Islam telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos. Kewajiban tersebut ditarik baik kondisi harta di baitulmaal ada atau kosong. Jika tidak ada harta di baitulmaal, kewajiban tersebut berpindah pada kaum muslim. Ini dilakukan karena jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim. Oleh karenanya, dalam rangka menghilangkan dharar saat baitulmaal kosong inilah, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, sifatnya insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau baitulmaal mempunyai dana untuk menutupinya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum)
Dalam sistem Islam, pajak tidak diambil, kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat. Pertama, wajib atas baitulmaal dan kaum muslim sesuai dengan dalil-dalil syariat yang sharih (jelas). Kedua, tidak ada harta di baitulmaal yang mencukupi untuk kebutuhan rakyat. Dalam kondisi seperti inilah boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang dia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat.
Allah Swt. berfirman yang artinya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan’.” (QS al-Baqarah: 219)
Sedangkan Rasulullan saw., bersabda yang artinya, “Sedekah yang paling utama adalah yang dari orang kaya.” (Muttafaq ‘alayh)
Berkebalikan dari sistem Islam, sistem kapitalisme justru memanjakan pengusaha dengan fasilitas tax holiday. Orang kaya yang ditarik pajak, justru diberikan kemudahan atas nama investasi. Sedangkan masyarakat miskin yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit, dipalak.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Siapa saja yang menzalimi seseorang yang terikat perjanjian (mu’âhad), atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu dari dirinya tanpa kerelaannya, maka aku akan menjadi lawannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertobat. Seorang pemungut ‘maks’ bertobat sebagaimana tobatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR Muslim)
Hadis tersebut berkaitan dengan kisah Alghamidiah yang menunjukkan bahwa dosa pelaku maks lebih besar dari dosa berzina. Menurut sebagian ahli hadis dan fikih, karakteristik utama maks adalah pungutan zalim sebab tidak ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Pungutan itu diambil dari mereka yang tidak seharusnya membayar. Merupakan pungutan liar. Pada referensi fikih sunah, maks maksudnya zalim dan pungutan. Dari sisi istilah, ada beberapa pengertian maks, yakni antara lain, memberlakukan pungutan terhadap pedagang secara zalim (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, 7/134).
Rasul saw. bersabda yang artinya, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR Muslim dan Ahmad)
Dari penjabaran di atas, jelas sangat berbeda perbandingan konsep pajak pada sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Dalam sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat dan barang-barang tertentu sehingga sangat berpotensi terjadi kezaliman terhadap rakyat. Sama halnya seperti saat ini ketika pemerintah merencanakan kebijakan kenaikan PPN 12% di awal tahun 2025. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar