Rini Sarah
#Wacana — Kemayoran hangus terbakar pada Selasa (10/12/2024). Kebakaran di
kawasan padat penduduk di Kelurahan Kebon Kosong itu telah menghanguskan 200
rumah. Sebanyak 15 orang mengalami luka-luka sekitar dan 1800 orang mengungsi.
Total kerugian harta sampai berita diunggah masih dalam penyelidikan
(liputan6.com, 12/12/2024).
Di tengah situasi perekonomian yang sangat
membebani rakyat, tentu saja musibah ini makin memberatkan beban hidup warga
Kemayoran. Bisa jadi, harapan dan rencana hidup ikut hangus terbakar. Karena si
jago merah membuat warga harus kembali ke titik 0 seperti sebelum punya
apa-apa. Ini tidak bisa kita anggap sebagai hal remeh semata. Harus dicari
jalan keluarnya, supaya ketika terjadi bencana serupa bisa diisolasi, tidak
menyebar, dan menjatuhkan banyak korban.
Tata
Ruang Kemayoran
Kemayoran adalah sebuah kawasan yang terletak
di Jakarta Pusat. Di kecamatan ini, dulu terdapat bandara. Sejak penutupan
bandara pada tahun 1985, kawasan seluas 44 hektar ini berubah menjadi
permukiman padat penduduk. Menurut data Wikipedia, kepadatan penduduk di
Kemayoran adalah 36.010 orang/km² dengan total luas lahan 7,21 km².
Kepadatan penduduk tentu saja diiringi oleh
kebutuhan akan perumahan. Jika tidak ada penataan yang benar oleh pemerintah,
maka masyarakat cenderung akan membangun rumah secara swadaya dengan
pengetahuan, cara, dan anggaran masing-masing. Hasilnya adalah perumahan padat
berdempetan dengan akses jalan sempit yang menyusahkan mitigasi dan evakuasi
ketika terjadi bencana. Untuk permukiman di Kemayoran, digambarkan media dengan
permukiman padat dengan bangunan semi permanen.
Perlu
Perbaikan
Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga, meminta
Pemrov DKI Jakarta untuk segera melakukan penataan dan pembangunan permukiman
pascakebakaran. Joga memberikan tenggat waktu hanya dua minggu. Jika tidak,
warga akan membangun kembali rumah yang sama dengan tata ruang yang sama. Hal
ini tentu saja berpotensi akan mengulang bencana yang sama (poskota.co.id, 14/12/2024).
Jika kita melihat pola, hal yang diharapkan
oleh Joga sepertinya tidak akan terealisasi. Pemprov DKI masih sibuk dengan
program pascakebakaran. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Jakarta, Isnawa Adji, mengemukakan penangan bencana bahwa korban kebakaran yang
mengungsi ditampung di tiga posko pengungsian dengan bantuan logistik yang
telah disediakan Dinsos dan PMI, ada kegiatan trauma healing, lalu nanti akan diberikan KK dan KTP baru. Penyerahan KK
dan KTP baru akan dilakukan oleh Pj Gubernur (liputan6.com, 12/12/2024).
'Mas' Wapres,
Gibran Rakabuming Raka, pun tidak tercatat media menyanggupi permintaan warga
untuk membangun rumah baru. Gibran dikabarkan “hanya” memastikan bahwa logistik
bantuan di pengungsian aman (kompas.com, 11/12/2024).
Butuh
Pemimpin Islam
Sikap pemerintah dalam kasus kebakaran
Kemayoran merupakan gambaran nyata pemimpin dalam sistem hidup kapitalisme.
Mereka sama sekali tidak bertindak sebagai pengurus rakyat. Mereka cenderung bertindak
secara transaksional. Untuk kasus pembangunan perumahan pascabencana atau
penggusuran, pemerintah sering menggandeng perusahaan swasta atau BUMD, lalu
menjual dengan harga keekonomian kepada rakyat. Sebagaimana terjadi pada kasus
Kampung Bayam.
Padahal, pemimpin seperti ini bukanlah
pemimpin yang diajarkan Islam. Islam memandang bahwa pemimpin wajib menjadi
pengurus, pemelihara, dan penjamin seluruh urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda
Rasululah saw., “Imam adalah raa’in
(gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya”. (HR Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bahwa para pemimpin
wajib memelihara seluruh urusan rakyatnya. Ia wajib menjamin secara tidak
langsung pemenuhan sandang, pangan, serta papan individu per individu rakyatnya.
Selain itu, pemimpin juga harus menjamin secara langsung kesehatan, pendidikan,
dan keamanan. Termasuk menjamin keamanan rakyat dari bencana semisal kebakaran
tadi.
Amanah ini tentu saja akan dipahami sebagai
tanggung jawab dunia dan akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah
riwayat hadis yang artinya, “Tidaklah
seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu
mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga
baginya”. (HR Bukhari)
Pemimpin seperti itulah yang dibutuhkan oleh
umat saat ini. Pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab karena amanah Allah
Swt. semata.
Belajar
dari Kekhalifahan
Pengurusan rakyat oleh pemimpin Islam dalam
hal pengelolaan tata ruang permukiman telah dipraktikkan dengan baik oleh para
pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara total. Para khalifah dan jajaran
di bawahnya memikirkan begitu rupa tata kota mulai dari perencanaan hingga
eksekusinya. Sebagai bukti keseriusan, ketika Khalifah al-Mansyur membangun
Baghdad.
Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur
mengumpulkan para surveyor, insinyur, dan arsitek dari seluruh dunia untuk
datang dan membuat perencanaan kota. Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi
datang untuk menyurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji
untuk langsung memulai pembangunan kota.
Setelah selesai dibangun, Baghdad jadi kota terbesar di dunia pada abad
ke-8.
Bukti lain kehebatan tata ruang masa Khilafah adalah
Cordova ketika masih dalam naungan Islam. Thomas F. Glicks dalam bukunya Islamic
and Christian in the Early Middle Ages, mengungkapkan area
kota Cordoba dibagi tiga bagian. Pusat kota sebagai wilayah tempat berdirinya
kantor-kantor pusat pemerintahan dan masjid kota. Tujuannya agar rakyat bisa
lebih mudah untuk mengurus keperluannya. Di tengah kota terkonsentrasi pusat
perdagangan. Selain di pusat perdagangan, perniagaan, dan kegiatan sosial
dilakukan juga di jalan dan pelataran tertentu.
Sedangkan, area pinggir kota merupakan area
permukiman. Permukiman ini dibangun dengan sistem blok 8-10 rumah. Mirip sistem
cluster perumahan pada saat ini. Jalan-jalan pemukiman dibangun mengikuti
kontur alam guna memudahkan drainase. Terakhir area luar kota merupakan kawasan
industri. Penataan tata kota seperti ini membuat rakyat aman dari bahaya ketika
terjadi kecelakaan dalam industri, seperti kasus kebakaran Pertamina Plumpang
yang merembet ke rumah warga.
Sedangkan dalam penataan perumahan tahan
bencana kebakaran, Kekhalifahan Usmani memberi kita inspirasi. Rumah-rumah
tidak dibangun berdempetan. Bangunan tersebut dipisahkan oleh taman atau ruang
terbuka. Ini dilakukan untuk menghindari merembetnya api jika terjadi kebakaran
di suatu rumah. Bahan bangunan yang dipakai pada saat itu adalah batu dan kayu
yang didesain tahan api. Atap dibuat miring agar bisa mengalirkan salju dan air
untuk mengurangi risiko kebakaran. Jalan pun dibuat lebar plus sistem air baik.
Inilah tata kota hasil pemikiran pemimpin yang
taat syariat Islam kafah. Pemimpin demikian akan memandang persoalan secara
komprehensif dengan kacamata Islam. Untuk kebakaran Kemayoran, masalahnya bukan
pada bencana kebakarannya saja melainkan ada masalah lain yang membuat permukiman
di sana atau Jakarta pada umumnya menjadi sangat padat.
Sebab utamanya adalah adanya pembangunan yang tidak
merata di berbagai daerah di Indonesia akibat distribusi pembangunan diatur
oleh sistem kapitalisme. Inilah yang melahirkan urbanisasi ke Jakarta. Lalu
menimbulkan masalah turunannya. Jadi, jika ingin memperbaiki semua dengan
tuntas, pastikan penyebab hal ini terjadi dienyahkan. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar