KEK Lido, Kamuflase Kesejahteraan Kapitalisme



#Bogor — Ratusan massa gabungan kembali menggelar aksi unjuk rasa menuntut pencabutan izin Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido, Bogor pada Minggu, 1 Desember 2024. Koordinator aksi, Aqsho Bintang Nusantara mengatakan kehadiran megaproyek KEK Lido nyatanya tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat. Angka pengangguran semakin naik, sementara penyerapan tenaga kerja yang dilakukan pihak KEK Lido tidak optimal bahkan masyarakat cenderung kesulitan untuk bekerja di KEK Lido. (Radar Bogor, 01/12/2024)


Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata (KEK- Pariwisata) MNC Lido City digadang-gadang sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Namun, faktanya tren pariwisata menjadikan masyarakat yang tinggal di area tempat wisata kehilangan haknya sebagai tuan tanah. Mereka harus menjual tanahnya lalu akhirnya menjadi pekerja. Mereka tidak bisa lagi bercocok tanam, beternak dan menjual hasilnya.


Pembangunan KEK Pariwisata menyebabkan kerusakan alam serius, seperti Danau Lido yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar telah dirusak akibat reklamasi danau dan pembuangan limbah yang dilakukan pihak MNC Lido. Dampaknya, masyarakat makin kesulitan bertahan hidup dan slogan pariwisata mengentaskan kemiskinan sama sekali tidak terwujud. Belum lagi konflik yang timbul antara warga dan investor yang tidak ada jalan keluarnya.


Upaya mensejahteraan masyarakat dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai penopang utama ekonomi negara adalah kamuflase belaka. Hal ini tidak lepas dari cara pandang sistem kapitalisme yang membelenggu negeri ini. Keberadaan negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator, yakni mempertemukan antara investor dan  sesuatu/benda yang akan diinvestasikan. Kemudian, negara akan menghitung pertumbuhan ekonomi, apakah naik atau turun. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang muncul tidak memperhatikan dampak pada individu per individu, tetapi secara umum saja. Jadi, meskipun data pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi realitas kemiskinan di masyarakat meningkat. 


Apalagi, investasi di Indonesia sangat minim serapan tenaga kerja untuk masyarakat Indonesia. Pembangunan pariwisata tidak serta-merta membuat pengangguran atau tenaga kerja masyarakat sekitar wisata terserap. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengatakan kenaikan realisasi investasi di Indonesia ternyata tak sejalan dengan serapan tenaga kerja di lapangan. Angka pertumbuhan ekonomi memang seolah naik, tetapi tidak berkualitas (upah tenaga kerja minim dan tidak terampil). (Bisnis.com, 08/10/2020) 


Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat individu per individu belum tercapai. Investor pariwisata yang masuk tidak mengurangi kemiskinan secara progresif. Seharusnya sikap negara berkembang seperti Indonesia mengandalkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) daripada mengejar sektor pariwisata. Sumber Daya Alam Indonesia sangat melimpah, tetapi dikuasai oleh investor/korporat asing. Alih-alih mengambilnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat, justru pemerintah malah mengejar sektor pariwisata yang kurang bernilai. Negara-negara berkembang dialihkan perhatiannya dari menggunakan SDA pada pariwisata sebagai leading sektor ekonomi. Padahal, negara-negara maju tidak menyandarkan sektor ekonominya pada pariwisata  tetapi pada manufaktur yang lebih cepat berkembang. Jika Indonesia masih tetap teralihkan dengan kesejahteraan semu sektor pariwisata, alih-alih akan menjadi negara maju, malah sebaliknya.


Dalam sistem Islam (Khilafah) sektor pariwisata bukan sebagai tumpuan fundamental dalam menumbuhkan perekonomian negara. Sebab, sektor pariwisata hanya sebagai sektor pelengkap sesuai kebutuhan. Tidak seperti sistem kapitalisme yang menjadikan pariwisata sebagai sarana bisnis dan penopang utama sektor ekonomi. 


Adapun konsep kesejahteraan masyarakat dalam Islam adalah ketika kebutuhan dasar (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan pokok (pendidikan, kesehatan, keamanan) terpenuhi. Enam hal kebutuhan masyarakat akan dipenuhi oleh negara secara langsung dan tidak langsung per individu, bukan secara umum. Daulah Islam memiliki mekanisme untuk menopang ekonomi negara. Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Amwal fi Dawlah Al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) telah menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan dalam baitulmal. Salah satunya dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum; seperti hutan, minyak, gas, dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai sumber utama pendanaan negara. Hal itu hanya akan tercapai jika penguasa berani melawan arus negara-negara kapitalis dan menerapkan Islam kafah dalam bingkai Khilafah Islamiah.[]


Mitri Chan


Posting Komentar

0 Komentar