Korupsi Triliunan Cuma Dihukum 6,5 Tahun Penjara, Koruptor Menang Banyak!



Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Terdakwa korupsi kasus timah dengan kerugian negara mencapai Rp271T, Harvey Moeis, divonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Harvey juga diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp210 miliar. Hukuman tersebut dijatuhkan setelah Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam kasus pidana korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada tahun 2015-2022. 

 

Menanggapi putusan hakim, banyak pihak menganggap hukuman pelaku megakorupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tidak sebanding dengan apa yang diterima Harvey. Korupsi tata niaga timah yang dilakukan Harvey dan sejawatnya secara nyata merusak alam Indonesia dan merugikan negara secara materil. Hasil penambangan timah di wilayah Bangka Belitung (Babel) yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat banyak justru berubah menjadi petaka. Lingkungan di Babel hancur, tambang ilegal kian merajalela dan rakyat setempat hidup dengan warisan kerusakan.

 

Pengungkapan kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga mencapai Rp271T nyatanya hingga detik ini masih belum menyentuh ‘pemain utama’. Dari total 21 orang yang ditetapkan tersangka sejak April lalu, tidak ada nama petinggi PT Refined Bangka Tin (RBS) ataupun aparat setempat yang bersekongkol dalam kasus megaskandal tersebut. Padahal ada belasan perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah dengan menyewa jasa peleburan timah ke PT TINS dan melibatkan luas lahan sebanyak 170, 36 ribu hektare yang dikelola oleh PT Timah Tbk. Berangkat dari fakta tersebut, dapat dipastikan banyak aktor yang terlibat dalam proyek korupsi timah dan dilakukan secara masif serta terbuka.

 

Lucunya, pelaku korupsi yang banyak disorot bukan koruptor ‘kelas kakap’ melainkan aktor figuran semisal Harvey Moeis. Harvey sendiri kapasitasnya hanya sebagai perpanjangan tangan atau pihak yang mewakili PT RBS. Parahnya lagi, hukuman yang diterima Harvey sangat tidak berimbang dengan kerugian negara. Majelis hakim mempertimbangkan sikap sopan terdakwa selama persidangan menjadi salah satu alasan utama peringanan hukuman. Selain itu, hakim juga menilai terdakwa memiliki tanggungan keluarga yang harus dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman. Faktor lain yang meringankan adalah bahwa Harvey belum pernah dihukum sebelumnya, sehingga hakim memberikan vonis lebih ringan daripada tuntutan jaksa (liputan6.com, 24/12/2024).

 

Perbedaan perlakuan putusan hakim terhadap kasus megaskandal semacam kasus korupsi tata niaga timah dengan kasus pidana lain yang melibatkan rakyat jelata sungguh sangat kentara. Sebut saja kasus seorang nenek renta berusia 63 tahun, Asyani, yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan pada 2015 silam. Nenek Asyani didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur (liputan6.com, 23/04/2015). Hukuman yang diterima Nenek Asyani jelas saja sangat jomplang dengan apa yang diterima Harvey Moeis. Ketidakadilan yang diterima Nenek Asyani adalah karena dirinya bukanlah sosok yang dekat dengan penguasa dan tidak pula mendapat sokongan dari para konglomerat.

 

Miris memang! Penegakan hukum di negeri ini sangatlah tebang pilih. Konsep kesamaan di depan hukum (equality before the law) benar-benar tidak terwujud. Hal ini terjadi karena negeri ini mengalami pergeseran secara fundamental dari apa yang disebut negara hukum menjadi negara kekuasan. Artinya, kekuasaan yang mengatur hukum di negeri ini dan hukum dibuat oleh penguasa untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Niccolo Machiavelli dalam Il Principe (Sang Penguasa) yang menggambarkan bagaimana para penguasa bisa dengan bebas mengubah hukum agar tidak menghambat atau mengurangi kekuasaan mereka.

 

Kasus korupsi tata niaga timah yang melibatkan Harvey Moeis juga kian meyakinkan kita bahwa korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang, karena sesungguhnya korupsi berskala mahabesar tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa adanya campur tangan penguasa. Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, bahkan sampai menyebutkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut (power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely). Maraknya kasus korupsi di Indonesia bahkan begitu mengakar dan tampak sudah menjadi budaya. Penegakan hukum dalam kasus korupsi pun seakan tidak memberi pengaruh terhadap berkurangnya jumlah korupsi, yang terjadi justru kasus korupsi kian marak dan menggurita.

 

Pada 2023,  Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia berada di angka 34, padahal rata-rata IPK global sendiri adalah 43. Kondisi ini menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-110 sebagai negara paling korup di dunia. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara terkorup ke-5 setelah Myanmar, Laos, Kamboja, dan Filipina. Sementara itu, KPK merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2023 yang hasilnya dari 508 Pemerintah Kabupaten/Kota, 93 Kementerian/Lembaga, dan 38 Provinsi di seluruh wilayah Indonesia, tercatat indeks integritas nasional tahun 2023 berada di angka 70,97, jauh target angka 74.

 

Ada beberapa alasan utama mengapa negeri ini begitu lekat dengan korupsi. Pertama, penerapan sistem sekuler di negeri ini. Sistem kehidupan sekuler yang kian kental di negeri ini menyebabkan manusia hidup tanpa berlandaskan agama. Masyarakat tidak menjadikan halal-haram sebagai pengontrol perbuatan mereka dan justru berlomba-lomba mengikuti hawa nafsu mereka. Masyarakat terutama penguasa membuang jauh-jauh agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan menjadikan nilai manfaat sebagai tolak ukur perbuatan. Kondisi semacam ini juga kian menurunkan kontrol masyarakat melalui aktivitas amar makruf nahi mungkar.

 

Kedua, penerapan sistem politik demokrasi yang serba mahal. Sistem demokrasi yang sudah dikenal membutuhkan dana besar bagi siapa saja yang hendak duduk di kursi kekuasaan justru menumbuhsuburkan politik transaksional. Ketergantungan para penguasa terhadap para konglomerat demi membiayai pencalonan mereka di bursa pemilu membuat para pemimpin yang terpilih harus melakukan ‘balas budi’ kepada para pemegang cuan. Salah satu politik ‘balas budi’ yang biasa dilakukan adalah dengan memberi ‘perlindungan hukum’ sebagaimana yang didapat Harvey Moeis ataupun koruptor kelas kakap di belakang Harvey.

 

Politik transaksional yang lumrah terjadi dalam politik demokrasi celakanya juga membentuk pola pikir ‘bisnis’ para pemimpin negeri ini. Mereka senantiasa menggunakan hitung-hitungan materi dalam melakukan tugasnya selama menjabat. Tidak ada istilah penguasa negeri ini menjadi pelayan rakyat, mereka justru menjelma menjadi penghisap darah rakyat yang memberlakukan banyak kebijakan merusak seperti kenaikan PPN 12%, penegakan UU Cipta Kerja, hingga pemberian amnesti bagi ‘orang-orang terpilih’ termasuk para koruptor.

 

Alasan ketiga ialah pemberian sanksi koruptor yang sama sekali tidak memberikan efek jera. Hukum yang tumpul bagi para pelaku korupsi tidak jarang membebaskan mereka dari jeratan hukum negeri ini. Jikapun mereka terkena hukuman, tingkatannya sangat ringan dan tidak berimbang dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan. Dari sini para koruptor pun kian berani melakukan kejahatannya dan jumlah total nilai materi yang dikorupsi kian hari kian bernilai fantastis. Belum lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa para koruptor akan mendapat perlakuan istimewa selama menjalani masa tahanan, yang membuat mereka bisa hidup dengan sangat nyaman di penjara.

 

Dari sini terlihat jelas bahwa korupsi adalah persoalan sistemis yang terjadi di alam politik demokrasi dan sistem kehidupan sekuler. Penegakan hukum yang dibuat oleh manusia sebagaimana demokrasi dan sekularisme telah nyata menumbuhsuburkan budaya korupsi yang kian hari kian ganas. Padahal Islam benar-benar melaknat perbuatan korupsi serta para pelakunya.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR abu Dawud) 

Dalam hadis lain disebutkan pula, “Barang siapa berlaku ghulul maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat.” (HR at-Tirmizi) 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar