Reni Tri Yuli Setiawati
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#Tangsel — Hari AIDS sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Desember, pada tahun 2024 ini mengambil tema "Take the Rights Path: My Health, My Right!". Menyitat dari laman World Health Organization (WHO), dinyatakan bahwa dunia dapat mengakhiri Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)—jika hak setiap orang dilindungi. Dengan mengutamakan hak asasi manusia dan masyarakat sebagai pelopor, maka dunia dapat mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030. WHO pun mengajak para pemimpin dan warga dunia untuk memperjuangkan hak atas kesehatan dengan mengatasi kesenjangan yang menghambat kemajuan dalam mengakhiri AIDS. (www.who.int, 01/12/2024)
Menindaklanjuti peringatan hari AIDS tersebut, Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel), Banten, menargetkan program Zero AIDS pada 2030 mendatang, sebagai bagian dari komitmennya dalam memerangi HIV/AIDS. Saat ini jumlah penyintas AIDS di Tangsel tercatat sebanyak 1.917 jiwa dari berbagai usia.
Untuk mencapai target tersebut, Pemkot Tangsel terus meningkatkan fasilitas dan layanan kesehatan. Semua rumah sakit milik Pemkot serta enam rumah sakit swasta telah dilibatkan dalam upaya pengobatan HIV/AIDS, dan jumlahnya akan terus ditambah. Kepaa Dinas Kesehatan (Dinkes) Tangsel, Allin Hendalin mengatakan, sepanjang tahun 2010–Oktober 2024, kasus HIV/AIDS di Tangsel didominasi oleh usia produktif yakni 25–49 tahun. (www.rri.co.id, 03/12/2024)
Niatan Pemkot Tangsel untuk memusnahkan salah satu penyakit mematikan saat ini sangat baik. Apalagi diketahui bagaimana penyebab dan cara penyebaran dari penyakit tersebut yang menabrak norma agama. Proses penularan AIDS dibagi menjadi dua jalur, yaitu cairan kelamin dan darah. Jadi faktor risiko dari penyakit ini tidak bisa dipisahkan dari kedua hal tersebut.
Di Indonesia, data menunjukkan bahwa berganti-ganti pasangan seksual dengan hubungan seks bebas (perzinaan) dan hubungan seksual melalui dubur atau anus (aktivitas LGBT), serta penggunaan jarum suntik nonsteril secara bergantian saat mengonsumsi narkoba adalah penyebab penyebaran AIDS terbanyak. (upk.kemkes.go.id/new/kenali-faktor-risiko-hivaids-dan-pencegahannya)
Mencermati penyebab penyebaran penyakit ini, maka tentunya membutuhkan perhatian serius, luas, mendalam, dan komprehensif. Sehingga program Pemkot Tangsel untuk Zero AIDS tersebut linier dengan akar persoalannya.
Penderita AIDS, yaitu istri yang tertular dari suami penderita AIDS yang hobi 'jajan' dengan pelacur atau pun pelaku LGBT, anak yang tertular dari ibunya semasa kehamilan, dan mendapatkan suntikan, transfusi darah, atau prosedur medis lainnya yang tidak steril dikecualikan dari akar masalah yang sudah disebut di atas.
Kota Tangsel yang mencirikan sebagai kota religius, sudah semestinya menjadikan agama sebagai tolok ukur solusi dan pengaturan kehidupan bermasyarakatnya. Logisnya, jika penyebab penyakit AIDS adalah menabrak norma agama, maka solusinya jelas harus kembali kepada norma agama. Kota Tangsel yang warganya memiliki rasa beragama yang baik, maka harus kembali merujuk kepada Islam, bukan sekadar mengatasi AIDS secara kuratif, yaitu pengobatan saja.
Arahan WHO agar hak penderita AIDS dilindungi dengan mengutamakan HAM, harus dikritisi. HAM ala WHO tentu saja adalah HAM rasa Barat, di antaranya adalah kebebasan berperilaku. Padahal, sebagai manusia beragama, tak ada tempat untuk kebebasan berperilaku. Semua perilaku harus terukur oleh agama. Jika melanggar agama, maka harus ditinggalkan. Jadi jangan playing victim bagi para penderita AIDS akibat perilaku maksiatnya. Sanksi yang bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku sekaligus menimbulkan rasa takut bagi orang lain untuk berbuat yang sama harus diberlakukan juga.
Seks bebas jika merujuk ke dalam Fikih, maka terkategori had zina, yaitu dicambuk 100 kali bagi pelaku yang belum menikah atau dirajam bagi pelaku yang sudah menikah. Sedangkan para pemakai narkoba akan ditakzir oleh penguasa atau hakim (qadhi) yang ditunjuk.
Simpel namun berefek luar biasa jika sanksi Islam ini diterapkan. Jika diterapkan, kebutuhan obat untuk penderita karena bermaksiat tadi akan berkurang banyak. Tetapi mengapa WHO menyarankan untuk memenuhi hak penderita tersebut. Patut diduga adanya kapitalisasi kesehatan. Kota Tangsel, lebih luas lagi skala negara Indonesia, akan butuh banyak obat-obatan. Sebagian obat yang dibutuhkan penderita diperoleh impor, dan sebagiannya sudah bisa dibuat di dalam negeri.
Kebebasan berperilaku sebagai bagian dari ciri hidup paham sekuler secara halus dianjurkan WHO. Jika Tangsel ingin benar-benar mencapai Zero AIDS, maka bukan anjuran WHO yang harus dilakukan melainkan norma atau syariat Islam yang diterapkan.
Islam jelas melarang keras seks bebas alias perzinaan, apalagi aktivitas LGBT. Pencegahan hingga sanksi bagi pelakunya sangat berat. Tentu orang akan berpikir ulang untuk melakukannya. Ditambah lagi, penyemaian iman dan penjagaannya dilakukan sedini mungkin. Lingkungan akan kondusif dengan pengendalian dan pelarangan terhadap produksi barang-barang yang diharamkan.
Kontrol sosial pun harus digalakkan. Patut diapresiasi tindakan warga UMKM Mega Mall Ciputat yang melakukan aksi unjuk rasa. Satu dari tiga tuntutan dalam aksinya adalah melarang keras lingkungan komplek ruko Mega Mall Ciputat dijadikan tempat maksiat (prostitusi), mabuk-mabukan, serta dijadikan dugaan tempat perdagangan orang, apalagi di bawah umur. Tempat yang dimaksud warga adalah Hotel Shakti Inn yang ada dalam lingkungan ruko mereka. (korantangerang.com, 30/11/2024)
Terakhir, Kota Tangsel bisa memelopori untuk menerapkan sistem Islam yang komprehensif untuk menjadi kota, bahkan negeri, yang digelari baldatun thayibatun warabbun ghafur. Mulai dari promotif, preventif, dan kuratif penanganan AIDS ini hanya menjadikan Islam sebagai prosedurnya.[]
0 Komentar