Living Cost Jakarta Makin di Luar 'Nurul', Capek Deh!

 


Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Tingginya biaya hidup tampaknya sudah wajar melekat dengan kehidupan di Jakarta. Terlebih lagi dengan gaya hidup hedonis nan materialistis anak-anak negeri masa kini menuntut gaya hidup yang kian mahal. Kondisi ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang menyebutkan Jakarta menjadi wilayah dengan biaya hidup paling tinggi di Indonesia. Survei tersebut mencatat nilai konsumsi rata-rata per rumah tangga di Jakarta mencapai Rp14,88 juta per bulan pada 2022, meningkat sekitar Rp 1,43 juta per bulan dari periode pencatatan sebelumnya di tahun 2018 (mediaindonesia.com, 12/12/2024). 


Ironisnya biaya hidup Jakarta yang kian meroket dari hari ke hari tak berbanding lurus dengan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat. Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yang mengalami kenaikan sebesar 6,5% menjadi Rp5.396.760 di tahun 2025 masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak di Jakarta. Hal ini karena adanya kesenjangan yang cukup besar antara nilai UMP dengan biaya hidup layak yang hampir menembus Rp15 juta di Jakarta. Di sisi lain, kondisi perekonomian Jakarta yang kian menyesakkan dada diperparah dengan terjangan badai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).  


Di Indonesia, tercatat sejak Januari hingga awal Juni 2024 setidaknya terdapat 10 perusahaan telah melakukan PHK massal dengan 13.800 pekerja terdampak. Enam di antaranya karena penutupan pabrik, sedangkan empat sisanya karena efisiensi jumlah pegawai. Sedangkan total PHK tenaga kerja di Indonesia per Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Hanya saja perlu dicatat bahwa jumlah ini kemungkinan lebih sedikit dibanding dengan kondisi di lapangan, mengingat tidak semua perusahaan mau terbuka atas langkah PHK massal ini. 


Sayangnya, dari total 30.000-an tenaga kerja yang terdampak, Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah penyumbang angka PHK terbanyak. Jakarta memimpin dengan jumlah tenaga kerja ter-PHK paling tinggi sebesar 7.469 tenaga kerja, cukup jauh melampaui peringkat kedua yakni provinsi Banten dengan jumlah PHK sebesar 6.135 orang. Celakanya jumlah pekerja di PHK di Jakarta melonjak hampir 1.000% dibandingkan periode Januari-Juni 2023 yang hanya tercatat 683 orang (cnbcindonesia.com, 01/08/2024).  


Parahnya lagi, pemerintah sudah memastikan naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025. Meski pemerintah menjamin kebutuhan pokok akan dibebaskan dari beban PPN, tetap saja kenaikan angka PPN akan berdampak pada naiknya biaya hidup masyarakat terutama di wilayah kota metropolitan Jakarta. Walhasil, beban hidup masyarakat pun akan makin besar dan pencapaian hidup ‘layak’ akan makin sulit untuk diraih khalayak banyak. 


Semrawutnya perekonomian negeri ini secara langsung menghantarkan pada anjloknya daya beli masyarakat terutama di area kota-kota besar, khususnya Jakarta. Selain data BPS yang menunjukkan adanya deflasi beruntun sejak Mei hingga September 2024, kita juga melihat data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang pada September 2024 anjlok ke zona kontraksi 49,2. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa peningkatan beban ekonomi dengan peningkatan nilai pengeluaran untuk makanan, pendidikan, kesehatan, hingga pajak menjadi faktor utama melemahnya daya beli masyarakat. 


Memang benar, pemerintah daerah (pemda) Jakarta telah melakukan berbagai upaya konvergensi pada program penanggulangan kemiskinan diperlukan guna mengeluarkan masyarakat miskin dari kemiskinannya. Pemda telah menjalankan berbagai program untuk mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin melalui program perlindungan sosial yang bersifat universal berisi bantuan sosial dan jaminan sosial sebagai dasar bantuan. Dana yang digelontorkan pun tidak sedikit, yakni 30% dari total APBD DKI Jakarta atau sekitar Rp27 triliun/tahun (cnbcindonesia.com, 09/07/2024).  


Tetapi solusi kemiskinan melalui penyaluran dana sosial tidak menyentuh akar masalah perekonomian yang bersumber dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Pasalnya biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan orang per orang naik secara eksponensial seiring dengan meningkatnya harga-harga barang. Kondisi ini kemudian tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan rakyat yang signifikan guna menutupi seluruh kebutuhan mereka. Pada akhirnya bantuan sosial yang diberikan pemerintah hanya sebatas obat penenang yang seringnya justru salah sasaran. 


Pemenuhan kebutuhan dan pencapaian hidup layak sejatinya merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan solusi mendasar. Sayangnya, fenomena tidak mampunya masyarakat memenuhi kebutuhan mereka justru menjadi masalah sistemik sebagai akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Kapitalisme juga melahirkan kesenjangan sosial yang sangat dalam antara si kaya dan si miskin. Perhitungan pendapatan perkapita ala kapitalis pun hanya memproyeksikan angka pendapatan segelintir konglomerat di negeri ini. 


Sistem kapitalisme-liberal yang diterapkan di negeri ini parahnya lagi mereduksi peran negara sebagai pengurus rakyat. Perekonomian masyarakat diambil alih oleh mekanisme pasar yang menjalankan ‘hukum rimba’. Artinya, di dalam sistem kapitalisme-liberal hanya orang-orang yang kuat secara ekonomi yang bisa bertahan. Negara benar-benar mengalihkan tanggung jawabnya pada korporasi dan membiarkan rakyatnya berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya, masalah kemiskinan di negeri ini bak lingkaran setan yang tiada habisnya. Lalu, bagaimana bisa seluruh warga Jakarta mencapai kesejahteraan dan hidup layak dengan pendapatan yang jauh dari angka Rp15 juta/bulan? 

Wallahu a’lam bi ash-shawab. 

Posting Komentar

0 Komentar