#Wacana — Gaji guru diberitakan akan naik pada tahun 2025. Kabar itu diumumkan oleh Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, ketika berpidato pada acara puncak peringatan Hari Guru Nasional di Velodrome, Jakarta Timur, Kamis, 28 November 2024. Prabowo mengatakan bahwa guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar satu kali gaji pokok. Sedangkan, guru non-ASN akan meningkat menjadi Rp2 juta per bulan (tempo.co, 2/12/24).
Pesimis Sejahtera
Kabar kenaikan gaji guru ternyata tidak serta-merta mendapatkan reaksi positif dari kalangan pendidik. Beberapa tanggapan diberikan oleh organisasi profesi guru. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) melalui Koordinatornya, Satriawan Salim, mengungkapkan bahwa pernyataan Prabowo itu bisa menimbulkan multitafsir hingga berpotensi memunculkan kegalauan pada para guru. Satriawan menuntut klarifikasi dari Presiden, apakah semua guru PNS akan diberikan tambahan sebesar 100% gaji pokok. Misalnya, guru dengan gaji pokok Rp4 juta akan mendapatkan Rp8 juta, atau kenaikan satu kali gaji pokok tersebut merupakan tunjangan profesi guru yang diberikan bagi guru-guru ASN yang sudah disertifikasi. Di lain pihak, Satriawan pesimis akan opsi yang pertama, karena jika diambil opsi pertama pasti berakibat pada semakin terbebaninya APBN (detik.com, 30/11/2024).
Hal senada juga dikemukakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, menuntut hal yang sama, yaitu klarifikasi pihak pemerintah terkait bagaimana detail kenaikan gaji guru tersebut. Heru menilai justru akan ada dua persepsi dalam hal ini. Pertama, tidak akan ada kenaikan gaji maupun tambahan kesejahteraan bagi guru ASN. Karena, sejak tahun 2008 pemerintah telah memberikan Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar 1 kali gaji pokok bagi guru ASN yang telah memperoleh sertifikat pendidik.
Kedua, Heru juga menilai, tidak ada peningkatan sebesar itu bagi tunjangan profesi untuk guru non-ASN pada tahun 2025. Sebab, tahun-tahun sebelumnya sudah berlaku tunjangan profesi guru non-ASN sebesar Rp1,5 juta. Jadi kenaikannya hanya sebesar Rp500 ribu itu pun untuk guru non-ASN yang telah tersertifikasi (tempo.co, 2/12/2024).
Pada faktanya, untuk mendapat tunjangan profesi sebesar Rp1,5 juta ada syarat yang harus dipenuhi oleh guru non-ASN. Guru non-ASN harus lulus PPG dan memenuhi 35 jam mengajar tatap muka. Satu jam pelajaran berdurasi 35-45 menit. Tetapi, guru non-ASN yang lulus PPG banyak yang tidak memenuhinya, karena mengajar kurang dari 24 jam pelajaran. Sehingga, guru yang demikian tidak bisa menikmatinya.
Hal lainnya, guru yang bisa ikut program PPG disyaratkan harus memenuhi kualifikasi pendidikan Diploma IV (D4) atau Sarjana (S1). Jika pada tahun 2025 nanti pemerintah akan melaksanakan program PPG untuk 806.486 guru, maka itu hanya berlaku bagi guru lulusan D4 atau S1. Sedangkan, guru lainnya tidak mendapatkan kesempatan untuk ikut PPG yang berakibat pada tertutupnya peluang untuk mendapatkan kenaikan gaji. Jika ingin dapat, maka guru harus mengupayakan sendiri untuk lulus pada jenjang pendidikan yang dimaksud.
Lalu, jika kita bandingkan besaran pendapatan guru dengan kondisi perekonomian negara, bisa dipastikan tidak akan sebanding. Sebelum ada pengumuman kenaikan gaji guru, pemerintah sudah lebih dulu mengumumkan akan ada kenaikan PPN menjadi 12%. Pasti kenaikan ini akan menggerus pendapatan guru juga.
Selain itu, ada inflasi yang akan berdampak pada kenaikan biaya hidup. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK November 2024 tercatat inflasi sebesar 0,30% (month to month), 1,55% (year on year). (kominfo.jatimprov.go.id, 5/12/2024)
Faktor penyebabnya adalah naiknya bahan pokok. Empat komoditas yang mengalami kenaikan harga tertinggi adalah daging ayam ras, bawang merah, minyak goreng, dan tomat.
Tentu saja, beban hidup guru tidak berhenti di situ, ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Misalnya, tempat tinggal dan penyelenggaraannya, biaya pendidikan anak, transportasi, komunikasi (paket data), kesehatan, dan lain-lain. Semuanya harus dipenuhi secara mandiri oleh guru. Dengan kenaikan gaji guru yang “secuil” itu, tentu saja guru akan kalah bertarung dengan gempuran biaya hidup tadi. Tidak heran banyak guru yang bekerja sampingan, terlilit hutang bank, hingga terjerat pinjol, bahkan judol. Jika tidak ada perubahan dalam tatanan kehidupan, kita bisa pastikan proyeksi kesejahteraan guru di satu tahun ke depan masih terlihat suram.
Sejahtera Bersama Islam
Saat ini, Indonesia menerapkan ideologi kapitalisme. Dalam kapitalisme, pendidikan dianggap sebagai komoditas bisnis. Tujuan berbisnis adalah memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya-biaya. Guru dalam kapitalisme tidak ubahnya pekerja dalam sektor lain. Ia termasuk faktor produksi yang biayanya harus ditekan serendah mungkin. Syekh Taqiyudin Annabhani dalam buku _Nidzomul Iqtishodi filIslam_ menjelaskan bahwa gaji dalam sistem kapitalisme dirancang supaya pekerja bisa menegakkan tulang punggungnya agar dapat tetap bekerja saja.
Hal berbeda akan terjadi jika kehidupan di Indonesia dan dunia muslim lainnya menerapkan ideologi Islam. Islam mengamanahkan pendidikan kepada penguasa sebagai bentuk layanan. Penjaminan dalam sektor ini bersifat langsung. Artinya, negara harus menyediakannya secara cuma-cuma bagi rakyatnya.
Keberadaan pendidikan seperti fasilitas umum lainnya. Semua hal yang terkait dengannya, termasuk gaji guru, menjadi tanggung jawab negara (Khilafah).
Khilafah akan memastikan agar para guru mendapatkan gaji yang cukup. Sepanjang penerapan Islam, guru mendapatkan gaji yang besar bahkan bisa dikatakan fantastis.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, beliau telah menggaji guru sekolah taman kanak-kanak sebesar 15 dinar (1 dinar = 4.25 gram emas). Dilanjutkan pada era Khilafah Abasiyah, gaji guru setara dengan gaji para muadzin sebesar 1.000 dinar/tahun atau 83,3 dinar/bulan. Jika dikonversi pada harga emas saat ini sebesar Rp1,5 juta/gram, berarti gaji guru jaman itu sebesar Rp6,375 miliar/tahun atau Rp531 juta/bulan. Setara dengan gaji CEO perusahaan besar saat ini!
Hal fantastis lain terkait kesejahteraan para pengajar dalam Khilafah bisa kita temui dari besaran gaji para ulama yang sibuk dengan Al-Qur’an, mengajar ilmu Al-Qur’an, dan mengurusi para penuntut ilmu. Mereka diberikan gaji sekitar 2.000 dinar/tahun. Sedangkan ulama dengan kemampuan khusus yang menekuni ilmu-ilmu Al-Qur'an, mengumpulkan riwayat hadis, dan ahli dalam fikih memperoleh gaji 4.000 dinar/tahun.
Selain penggajian para pengajar yang besar, Islam juga menerapkan sistem ekonomi yang menyejahterakan rakyat. Dengan cara menerapkan syariat yang menjamin agar harta kekayaan didistribusikan dengan adil di tengah-tengah masyarakat. Hal ini bertujuan agar rakyat bisa memenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan, papan, sekaligus berkesempatan memenuhi kebutuhan sekunded serta tersiernya dengan layak.
Syariat Islam juga mengamanahkan kepada negara agar berperan sentral untuk menstabilkan ekonomi, salah satunya dengan mencegah terjadinya inflasi atau deflasi. Negara juga tidak akan memeras rakyat dengan pajak. Karena Islam mempunyai aturan terkait pos-pos pemasukan negara dan pajak bukan pendapatan utama. Terakhir, kebutuhan komunal seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan yang biasanya menyedot pendapatan keluarga dijamin langsung oleh negara. Hingga rakyat akan mendapatkannya secara gratis. Oleh karena ini, pendapatan rakyat termasuk guru tidak habis bahkan kurang untuk menanggung beban hidup saja.
Inilah gambaran kesejahteraan yang bisa kita raih dalam naungan sistem hidup Islam. Para guru dan rakyat pada umumnya akan sejahtera. Kemaslahatan-kemaslahatan lainnya pun, insya Allah bisa kita realisasikan. Karena dalam penerapan syariat pasti akan ada maslahat. Tentu saja ada maslahat terbesar yang tidak akan pernah bisa kita dapat jika menerapkan sistem hidup lain, yakni mendapat rida Allah. Wallahualam bissawab.
Rini Sarah
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar