Menakar Kembali Urgensitas Megaproyek Giant Sea Wall

 



Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Akhir November lalu, Presiden Prabowo Subianto meminta jajarannya untuk mengkaji pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang membentang dari Jakarta sampai Cirebon sebagai Program Strategis Nasional (PSN) 2025. Lebih lanjut, Prabowo memberi arahan untuk pembiayaan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam megaproyek tersebut. Tanggul laut raksasa Jakarta-Cirebon tersebut nantinya akan terhubung dengan tanggul pengendali banjir dan rob di Tambaklorok, Semarang, yang sebelumnya sudah dibangun. Pemerintah mengklaim pembangunan tanggul laut di wilayah perairan utara Jawa sebagai upaya mewujudkan ketahanan energi dan pangan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) di area Jakarta dan sekitarnya (mediaindonsia.com, 26/11/2024). 

Guna memuluskan jalannya proyek Giant Sea Wall (GSW), Prabowo mengajak perusahaan-perusahaan Jepang untuk berpartisipasi dalam investasi tatkala menjamu pengusaha yang tergabung dalam Japan Indonesia Association di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis (05/12) lalu. Lebih dari itu, Prabowo menawarkan peluang investasi dalam proyek senilai US$60 miliar untuk pembangunan GSW kepada Tiongkok bersamaan dengan kunjungan kenegaraan pada awal bulan lalu (scmp.com, 17/10/24). 

Giant Sea Wall merupakan struktur yang dibangun sejajar dengan garis pantai pada peralihan antara pantai dan daratan atau bukit pasir. Fungsi dari GSW sendiri di antaranya ialah mencegah erosi pantai, menstabilkan tebing yang terkikis di sepanjang garis pantai serta melindungi jalan pesisir dan permukiman yang berbatasan dengan pantai. Dalam kasus ini, GSW terutama dimaksudkan untuk mencegah kota metropolitan Jakarta tenggelam lebih cepat. Kota yang tenggelam hingga 20 cm/tahun di beberapa titik diperkirakan ‘hilang’ setidaknya sepertiga wilayah pada 2050 (wired.com, 31/07/2019). Selain itu, GSW digadang-gadang oleh pemerintah sebagai solusi mujarab pengentasan masalah banjir Jakarta. 

Pembahasan terkait pembangunan tanggul pantai dan tanggul laut raksasa sesungguhnya telah dimulai sejak 1994 untuk kawasan pesisir utara Jakarta. Namun rencana ini baru mulai diwujudkan pada tahun 2014 sebagai bagian dari proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), yang terbagi dalam tiga fase pengerjaan: A, B, dan C. Seiring perjalanannya, proyek tersebut mengalami banyak penolakan terutama dari kalangan aktivis lingkungan dan akademisi. Kemudian pembahasan tentang GSW kembali menguat di masa pemerintahan Jokowi yang didukung penuh oleh Menteri Pertahanan saat itu, Prabowo, yang kini menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia. Proyek GSW pun diwacanakan akan diperpanjang hingga Jawa Timur. 


Proyek ambisius senilai Rp600 triliun untuk wilayah perairan Jakarta sepanjang 32 km tersebut terbagi atas tiga fase pembangunan. Pertama, pembangunan tanggul pantai dan sungai, serta sistem pompa dan polder di pesisir utara Jakarta. Kedua, pembangunan tanggul laut pada sisi sebelah barat pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum 2030. Ketiga, pembangunan tanggul laut di sisi sebelah timur pesisir utara Jakarta yang dikerjakan sebelum 2040. 

Jika benar GSW direalisasikan hingga area Jawa Timur, tanggul raksasa tersebut akan dibangun setidaknya sepanjang 600km dan membutuhkan waktu penyelesaian setidaknya hingga 40 tahun ke depan. Tidak hanya itu, dana yang harus disiapkan pemerintah pun bisa mencapai Rp12.000 triliun atau bahkan lebih. Belum lagi biaya perawatan tanggul bisa mencapai US$6000 (setara Rp100 juta) per 10km. 

Biaya pembangunan dan operasional GSW yang di luar nalar sejatinya tidak akan mampu menyelamatkan Jakarta dari banjir dan potensi untuk tenggelam. Dua faktor utama yang menyebabkan Jakarta cepat tenggelam dan terdampak banjir adalah kenaikan permukaan laut sebesar 7,3 mm/tahun dan penurunan permukaan tanah rata-rata 15 cm/tahun. Dari sini jika kita proyeksikan kondisi Jakarta di tahun 2100, akan terjadi kenaikan permukaan laut yang menyebabkan daerah dengan ketinggian di bawah 1 m tenggelam dengan luas area genangan sekitar 1325 Ha. Sedangkan jika ditambahkan dengan pengaruh turunnya permukaan tanah maka luas area genangan bisa mencapai 31.257 Ha (Achmad P, Budi S, Taslim A, et al. 2015. Kertas Kerja Kebijakan: Prakiraan Dampak Giant Sea Wall Teluk Jakarta. Jakarta). 

Krisis yang sebenarnya terjadi di wilayah Jakarta justru adalah permasalahan sulitnya akses ketersediaan air bersih. Penduduk Jakarta memompa terlalu banyak air tanah yang berdampak pada amblasnya tanah Jakarta. Jika pemerintah tidak dapat memberi solusi untuk menghidrasi penduduknya, kota itu akan terus tenggelam bersama dengan tanggul laut yang dielu-elukan. 

Buruknya penataan kota Jakarta dan sekitarnya juga manjadi alasan mengapa kota tersebut berlangganan banjir dan terus tergenang. Pembangunan gila-gilaan di wilayah Jakarta tidak kemudian dibarengi dengan perencanaan kawasan yang menyebabkan tertutupnya saluran drainase ibu kota. Maka wajar saja jika banyak wilayah di Indonesia yang sama-sama semrawut dalam perencanaannya kemudian mengalami bencana banjir di musim hujan, tetapi mengalami kekeringan di musim kemarau.  

Terlebih lagi dalam konteks Daerah Aliran Sungai (DAS), banyak pembangunan yang justru dilakukan di wilayah DAS dan tidak ramah akan DAS. Wilayah Jakarta dialiri sedikitnya 13 sungai. Sungai-sungai tersebut bagai nadi kehidupan yang terus berdenyut di sepanjang kota Jakarta dan sekitarnya, di mana sungai terbesar adalah Sungai Ciliwung yang bersumber di wilayah Cianjur, Jawa Barat. Jakarta yang menjadi bagian hilir wilayah DAS Ciliwung justru menjadikan pembangunan beton-beton raksasa sebagai prioritas. Alhasil, fungsi Jakarta sebagai hilir DAS pun terabaikan, maka terbitlah bencana banjir dan kekeringan secara berulang.  

Tidak hanya beban pembangunan Jakarta yang sangat tinggi, alih fungsi lahan terbuka menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir langganan dan tenggelamnya pesisir pantai di kota tersebut. Sejak tahun 1984, telah terjadi alih fungsi lahan hijau (hutan mangrove) secara masif. Alih fungsi ini terjadi akibat kebijakan pemerintah DKI Jakarta di tahun 1984 yang melepas kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831,63 hektar untuk dialihfungsikan sebagai kawasan perumahan, lapangan golf, kondominium, dan fasilitas lainnya. 

Di sisi lain, pembangunan tembok beton GSW celakanya justru akan memperparah banjir di Jakarta. Pasalnya pembangunan GSW di sepanjang Teluk Jakarta malah memperburuk sedimentasi sungai yang meningkatkan potensi banjir. Jika semua muara sungai ditutup maka arus air bisa berbalik karena air susah mengalir ke laut dan permukaan laut lebih tinggi daripada permukaan sungai. 

Lebih jauh, pembangunan proyek GSW dapat dipastikan akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional. Mau tak mau dua pelabuhan ikan Nusantara akan ditutup, puluhan bahkan ratusan ribu warga nelayan harus dipindahkan. Dengan ini jelas bahwa pembangunan tanggul laut raksasa akan berdampak besar pada transformasi kehidupan penduduk yang bermukim di wilayah sekitar pembangunan dan berprofesi sebagai nelayan. Tidak hanya akan menghancurkan ekonomi masyarakat di sektor perikanan, keberadaan GSW itu sendiri juga sudah pasti akan mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang ada di perairan pulau Jawa bagian utara. 

Kerusakan lingkungan tidak hanya akan terjadi di area sekitar proyek, tetapi bahkan akan berdampak pada area-area yang menjadi target pengerukan pasir laut. Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pada tahun 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388 juta meter kubik (walhi.or.id, 12/01/24). Jumlah ini tentu akan jauh lebih banyak jika pembangunan GSW diperpanjang hingga area Jawa Timur.  

Jika Giant Sea Wall benar-benar secara penuh dibangun di sepanjang Teluk Jakarta, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang juga harus ditutup karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. Kalaupun dipertahankan, biaya operasional PLTU akan membengkak karena memerlukan pompa yang berjalan terus-menerus. Namun, jika pemerintah berencana membangun PLTU pengganti, diperlukan setidaknya dana sebesar 30 triliun rupiah untuk membangun pembangkit listrik yang setara dengan PLTU Muara Karang. 

Dari sini terlihat jelas bagaimana pembangunan megaproyek yang memakan anggaran jumbo tersebut kenyataannya tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada, tetapi justru menambah banyak masalah baru. Isu banjir dan tenggelamnya kota Jakarta dijadikan alasan bagi penguasa untuk memberi lampu hijau bagi proyek-proyek besar nan mahal seperti proyek IKN (Ibu Kota Negara) dan GSW. Selain itu, tampak jelas pula bahwa proyek GSW digelontorkan demi melindungi kepentingan para cuan. Di sepanjang pantai utara Jawa terdapat setidaknya 70 kawasan industri dan lima Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). 

Membangun mega infrastruktur GSW untuk mengatasi permasalahan banjir dan potensi tenggelamnya Jakarta ataupun kota-kota lain di pesisir pantai utara Jawa adalah respon kebijakan yang jelas-jelas salah arah. Kebijakan penguasa negeri ini seharusnya berkelanjutan dan berpihak pada kelompok miskin terutama nelayan, bukan para konglomerat. Terlebih lagi proyek tersebut akan dibiayai melalui model kemitraan publik-swasta, 80% biaya akan ditanggung oleh pengembang swasta sementara sisanya ditanggung APBN. Artinya, pihak asing dan aseng akan banyak ikut campur dan kepentingan mereka jelas akan jauh lebih didahulukan dalam pengembangan GSW, bukan rakyat.  

Pemerintah seharusnya lebih berfokus pada upaya memperbaiki akar masalah (corrective measures) yang berdampak jangka panjang. Upaya-upaya yang bisa dilakukan d iantaranya melarang ekstraksi air tanah untuk mencegah penurunan muka tanah, menjadikan daerah pesisir sebagai kawasan cagar alam, mengutamakan pelestarian alam pesisir, menjaga DAS dari limbah industri dan pendangkalan, hingga penanaman kembali mangrove. Di sisi lain, pemerintah tidak sepatutnya berpihak pada para pengembang di area reklamasi dan tidak menghiraukan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan tanggul laut raksasa.     Wallahu a’lam bi ash-shawab. 

Posting Komentar

0 Komentar