#Editorial- Kenaikan PPN 12% yang sedianya akan berlaku paling lambat 1 Januari 2025, dipastikan akan ditunda. Pemerintah berencana memberikan stimulus terlebih dahulu dalam bentuk subsidi listrik nontunai demi menjaga kondisi ekonomi masyarakat yang tidak mampu agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah masih memiliki dana yang cukup untuk merealisasikan program stimulus ini untuk dua tiga bulan ke depan. Menurutnya, masih ada ratusan triliun setoran pajak yang bisa dimanfaatkan.
Sebagaimana diketahui, kenaikan PPN 12% merupakan amanat UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPH) yang telah disahkan Presiden Jokowi pada Oktober 2021. Kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan. Selain karena dipastikan akan berdampak besar pada kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini sudah sangat lemah, kebijakan ini juga akan memperburuk dunia usaha karena anjloknya daya beli masyarakat.
Kebijakan Populis
Penundaan kenaikan pajak 12% menambah daftar kebijakan populis yang tampak sedang dimainkan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Kebijakan seperti ini seakan lahir dari rasa empati terhadap rakyat, padahal faktanya hanya bersifat pragmatis, tidak mengakar, bahkan sekadar menunda krisis yang bisa meledak pada waktu yang akan datang.
Sebelumnya, pemerintah sudah meluncurkan program makan siang bergizi gratis (MBG) bagi anak-anak dan ibu hamil. Program yang disebut-sebut akan menurunkan kasus stunting ini anggarannya kini diciutkan dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu per orang. Lalu melalui SKB 3 menteri (Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman, serta Menteri Dalam Negeri), pemerintah memutuskan menghapus Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kebijakan ini disebut-sebut demi merealisasikan program tiga juta rumah per tahun yang juga sudah dijanjikan.
Paling anyar, pemerintah menetapkan kenaikan UMP provinsi sebesar 6,5% yang disambut euforia oleh kalangan buruh karena nasibnya seakan diperhatikan. Lalu pada peringatan Hari Guru lalu, Presiden Prabowo pun mengumumkan kebijakan untuk menaikkan gaji guru PPPK dan ASN bersertifikasi, sekaligus berjanji menambah tunjangan guru non-ASN menjadi Rp2 juta. Pemberian kado Hari Guru ini disebut-sebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang menurutnya hingga saat ini masih sangat memprihatinkan.
Di luar itu, masih banyak lagi janji yang sedang antre untuk direalisasikan dan sudah masuk dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat demi mewujudkan Indonesia Emas 2045 ala pemerintahan Prabowo-Gibran. Di antaranya adalah pemeriksaan kesehatan gratis, membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi, merenovasi sekolah-sekolah rusak, melanjutkan dan menambah kartu-kartu kesejahteraan sosial dan kartu usaha, melanjutkan pemberian BLT, serta menaikkan gaji nakes, ASN, TNI, dan pejabat negara, dan lain-lain.
Wajar jika melihat hal ini, masyarakat memiliki harapan besar bahwa pemerintahan baru akan membawa perubahan dan perbaikan. Namun, tidak sedikit pula yang mengingatkan bahwa kebijakan-kebijakan populis yang diumbar pemerintahan baru ini tidak lebih dari “jebakan Batman”, yakni pada akhirnya akan sangat merugikan rakyat dalam jangka panjang.
Selain karena tidak ditopang oleh fundamental ekonomi yang cukup kuat, program-program populis ini jelas akan meningkatkan belanja negara dan menambah defisit anggaran, alias meningkatkan utang negara. Padahal faktanya, kondisi APBN kita sudah nyaris kolaps akibat inefisiensi dan tumpukan utang.
Watak Otoriter (?)
Banyak yang sudah menduga, pemerintahan saat ini sejatinya akan melanjutkan pola kepemimpinan populis sebagaimana pemerintahan sebelumnya. Bedanya, pola kepemimpinan populis pada pemerintahan sekarang menihilkan keberadaan oposan sehingga diduga kuat bisa mengarah pada gaya otoriter (otoritarian).
Pembentukan kabinet gemuk pada awal pemerintahan menjadi bukti awal bahwa pemerintahan ini berusaha mengakomodasi semua kepentingan. Dengan dalih membentuk pemerintahan persatuan yang kuat, kue kekuasaan pun dibagi-bagi kepada parpol pendukung maupun bukan.
Semua entitas pun dirangkul, mulai dari tokoh parpol, tokoh agama, intelektual, akademisi, pengusaha, aktivis, bahkan artis yang track record-nya dipertanyakan. Tidak tanggung-tanggung, jumlah total kabinetnya mencakup 48 menteri, 5 kepala badan, 56 orang wakil menteri, Ketua Mahkamah Agung, 7 orang utusan khusus presiden, serta para penasihat dan staf khusus presiden.
Dengan cara ini, kebijakan apa pun yang dikeluarkan otomatis mendapat legitimasi kuat dari semua unsur yang tergabung di pemerintahan. Mereka semua diklaim merepresentasi kepentingan rakyat sehingga kebijakan-kebijakannya pun otomatis diklaim merepresentasi kehendak rakyat; demi dan atas nama rakyat. Oleh karenanya, siapa pun yang tidak sepakat, siap-siap diisolasi karena dipandang telah menentang kehendak rakyat.
Sebetulnya, sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memprediksi soal kebijakan populis yang bakal diumbar pemerintahan baru ini. Maklum, persaingan politik di Pilpres sedemikian keras, bahkan masyarakat nyaris terfragmentasi sebagaimana kekuatan politik, parpol dan yang lainnya nyaris pula terfragmentasi.
Pemerintah dalam hal ini tampak mengharuskan diri untuk fokus pada upaya mempertahankan dukungan politik jangka pendek, tidak peduli dampak jangka panjangnya bagaimana. Bahkan alih-alih segera mengambil langkah-langkah politis strategis dan mendasar untuk menyelesaikan problem ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme liberal, pemerintah malah mengambil risiko gali lubang tutup lubang dan bermain politik “bagaimana nanti”.
Padahal, meski banyak kebijakan populis yang diumbar, nyatanya tidak bisa menutup dampak kebijakan zalim lain yang sudah diberlakukan. Tengok saja, di balik penghapusan sebagian kecil pajak, upaya diversifikasi pun terus berjalan dan makin menjerat kehidupan rakyat. Apalagi kenaikan PPN 12% ini faktanya bukan dihapus, melainkan ditunda sementara. Hari ini, di luar harga-harga kebutuhan pokok yang mahal, PPN 11% yang zalim itu masih tetap diberlakukan bersama pungutan-pungutan lain, baik pajak maupun nonpajak, yang nyata-nyata mencekik leher.
Terlebih sejak awal Presiden Prabowo justru telah menetapkan visi perpajakan yang ambisius untuk pemerintahannya ke depan. Salah satunya tampak dalam poin terakhir 8 Program Target Hasil Cepat yang menyebutkan bahwa pemerintah akan segera mendirikan Badan Penerimaan Negara dan berusaha mendongkrak rasio pajak (tax ratio) hingga 23% dari produk domestik bruto (PDB) nasional.
Bahkan saat ini, Kemenkeu di bawah Sri Mulyani sedang serius menyusun peta jalan untuk mencapai rasio pajak 23% tersebut. Alasannya selama ini, rasio tersebut diklaim mandek di sekitar angka 10%, lebih rendah dibanding rata-rata Asia-Pasifik sebesar 19,3%.
Lantas, siapa yang akan menjadi sasaran kebijakan menaikkan rasio pajak ini? Tentu saja seluruh rakyat Indonesia, kecuali sebagian kecilnya. Baru-baru ini saja, pemerintah sudah menegaskan akan memburu penunggak pajak kendaraan bermotor secara door to door. Keputusan ini melengkapi rencana pemerintah yang mewajibkan seluruh kendaraan bermotor, seperti motor dan mobil untuk mengikuti asuransi third party liability (TPL) mulai 2025.
Konsekuensi Sistem Batil
Semestinya mudah dipahami bahwa kehidupan masyarakat yang makin berat seperti ini sejatinya tidak terjadi dengan sendirinya. Meluasnya kemiskinan, badai PHK, dan semua krisis yang terjadi pada seluruh bidang kehidupan, termasuk krisis moral, nyatanya terjadi secara sistemis dan struktural. Rakyat bukan hanya ditekan oleh pajak. Banyak kebijakan lain yang alih-alih meringankan kehidupan rakyat, malah mengorbankan kepentingan rakyat.
Buruknya pengelolaan sumber daya alam yang sejatinya merupakan hak milik rakyat dan semestinya bisa menjadi modal menyejahterakan mereka adalah salah satu bukti yang tidak bisa dibantah. Penguasaannya oleh individu termasuk asing justru dilegalisasi oleh negara. Bahkan, tidak sedikit di antara pejabat penguasa dan aktivis parpol yang turut menjadi pemain dan turut merampok hak milik rakyat. Alhasil, negara hanya menjadi perpanjangan kepentingan pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa atau menjadi alat para pengusaha yang berperan ganda sebagai penguasa.
Begitu pun dengan kapitalisasi layanan publik. Rakyat dipaksa membayar sesuatu yang menjadi hak dasarnya sebagai rakyat. Kesehatan, pendidikan, keamanan, transportasi, semuanya menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses mereka yang punya uang. Dalam hal ini, alih-alih bertindak sebagai pelayan rakyat, negara dan para penguasanya justru menjadi “si raja tega” yang bertindak hanya sebagai regulator. Mereka malah mengatur bisnis layanan publik agar berjalan sesuai kehendak para oligark.
Inilah konsekuensi penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal. Kekuatan modal pada sistem ini begitu kuat hingga bisa mendikte kekuatan politik dan kebijakan. Betapa tidak? Kekuasaan dalam sistem ini hanya bisa direbut dengan kekuatan modal karena untuk bisa menang, butuh iklan dan pencitraan yang berbiaya sangat mahal.
Sekularisme dan demokrasi memang tidak mengizinkan kehadiran Tuhan dalam mengatur kehidupan. Alhasil, dunia politik tidak mengenal kata halal-haram. Ia seperti hutan rimba, tempat yan mana si kuat lazim memangsa si lemah.
Merindu Pemimpin Idaman
Kepemimpinan politik Islam jelas sangat berbeda secara diametral dengan kepemimpinan politik berparadigma sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang sedang eksis hari ini. Selain tegak di atas asas keimanan, politik Islam dipagari hukum-hukum yang datang dari Sang Pencipta alam. Halal-haram justru menjadi standar. Tidak ada satu pun aturan atau kebijakan yang boleh keluar dari aturan Islam.
Kepemimpinan dalam Islam memiliki dimensi dunia dan akhirat. Ia dipandang sebagai amanah berat yang harus siap dipertanggungjawabkan di keabadian. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya… “(HR Bukhari).
Islam menggambarkan kedudukan pemimpin seperti penggembala. Penggembala yang baik tentu akan menjaga, merawat, memelihara dan memenuhi hak-hak gembalaannya. Dalam konteks kepemimpinan, ia memiliki segala sifat kebaikan, seperti punya ketakwaan, empati dan kelembutan, sekaligus punya kemampuan (kapabel) mengurus umat. Ia memiliki kepribadian Islam yang tinggi, yakni pola pikir sebagai penguasa/negarawan, sekaligus pola jiwa sebagai hakim yang tegas, tetapi bijaksana.
Semua ini terangkum dalam sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.) Juga bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Kita tidak bisa menghapus sejarah sukses kepemimpinan Islam dalam membawa umat meraih puncak kebaikan dan kesejahteraan. Selama belasan abad, umat Islam hidup di bawah naungan peradaban gilang gemilang. Kesuksesan kepemimpinan Islam ini ditopang oleh kesempurnaan syariat Islam dalam menyolusi seluruh masalah kehidupan. Tidak ada satu aspek pun yang tidak diatur oleh Islam.
Politik Islam tidak mengenal fragmentasi berdasar kesukuan dan tanah air, apalagi kepentingan. Ia adalah sistem kepemimpinan tunggal yang tegak untuk menegakkan hukum-hukum Islam dalam mengatur seluruh urusan umat. Oleh sebab itu, kepemimpinan politik dan kekuasaan dalam Islam—yang dikenal dengan istilah Khilafah—tidak akan menjadi bahan buruan karena kedudukannya bukan jalan untuk mencari uang dan meraih kepentingan.
Seorang khalifah justru bertanggung jawab memastikan seluruh rakyatnya untuk mendapat kebaikan, baik di dunia maupun akhirat. Semua sistem kehidupan, mulai sistem ekonomi, yang di antaranya mengatur soal kepemilikan dan keuangan (APBN), sistem pergaulan, sistem hukum dan sanksi, sistem pendidikan, pengaturan jaminan kesehatan, dsb., akan ia tegakkan berdasarkan paradigma Islam dan berbasis keimanan.
Dapat dipastikan, kepemimpinan Islam akan mewujudkan kesejahteraan bagi orang per orang secara merata dan berkeadilan. Di bawah naungannya, kemuliaan akal, jiwa, harta, kehormatan, nasab, agama, bahkan negara benar-benar akan terjaga. Rahmat juga akan mewujud bagi seluruh alam sebagai dampak penerapan aturan Islam.
Bukan hanya kesejahteraan yang sifatnya duniawi yang dirasakan, melainkan keberkahan yang dirindukan oleh mereka yang beriman. Allah Swt. berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96).
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Fanpage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61553488384489&locale=id_ID
Website : https://www.muslimahjakarta.com/
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar