#Editorial — Baru-baru ini, paslon Cagub dan Cawagub DKI Jakarta Ridwan Kamil (RK)-Suswono mengaku selama dua bulan ini telah menghabiskan sekitar Rp 60 miliar untuk mendanai kampanye Pilkada DKI 2024. Dana sebesar ini digunakan untuk membeli Alat Peraga Kampanye (APK) dan aksesoris lain yang digunakan untuk mengenalkan diri ke masyarakat sejak awal kandidasi.
Mahalnya biaya pilkada seperti ini memang sudah bukan rahasia, bahkan dianggap lumrah. Tahun 2022 saja, survei KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendapati biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota bisa mencapai Rp20—30 miliar. Sementara untuk level gubernur atau wakilnya membutuhkan modal sekitar Rp100 miliar!
Hitung-Hitungan Naif
Angka sebesar itu tentu belum termasuk biaya mahar beserta biaya-biaya lainnya, seperti anggaran temu akbar, honor para saksi dan pelatihan para saksi. Juga untuk membiayai aktivitas “penunjang”, seperti membayar lembaga survei, hingga biaya politik uang yang kerap terjadi saat jelang atau hari H perhelatan demokrasi.
Untuk diketahui, total daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak tahun 2024 ini ada sebanyak 545 daerah, dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Dengan hitungan kasar saja, bisa dibayangkan berapa total uang yang dikeluarkan para paslon dan parpolnya demi memenangi kontestasi. Diperkirakan, cuan yang dihamburkan selama momen pilkada ini, akan tembus hingga angka Rp200 triliunan!
Angka ini belum termasuk anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah sendiri sebagai pihak penyelenggara pesta yang jumlahnya tidak kalah fantastis, yakni lebih dari Rp37 trilyun. Data Kemendagri pada Juli 2024 menyebut, anggaran Pilkada yang dialokasikan pemerintah meliputi anggaran untuk KPUD sebesar Rp28,73 triliun, untuk Bawaslu Daerah sebesar Rp8,61 triliun, untuk Polri sebesar Rp3 triliun, dan untuk TNI sebesar Rp 936,95 miliar.
Ini baru pilkada saja. Saat pilpres pada Pebruari 2024 lalu Bank Indonesia mencatat, uang yang beredar pada momen tersebut lebih dari Rp67,17 trilyun. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahkan mengungkap angka yang lebih besar, yakni Rp80 trilyun. Angka ini diperoleh berdasarkan analisis terhadap 108 produk intelijen keuangan selama Januari 2023 hingga Mei 2024. Transaksi itu disebut-sebut melibatkan capres, cawapres, caleg, parpol, anggota parpol, hingga pejabat aktif.
Tidak salah jika Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia pada akhir 2023 lalu sempat mengalkulasi, bahwa akan ada tambahan konsumsi dari belanja yang dikeluarkan dari kegiatan politik selama 2024, baik yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah. Adapun angkanya diperkirakan akan mencapai lebih dari Rp 294 triliun.
Mirisnya, sebagian pihak menganggap fenomena ini sebagai sesuatu yang positif. Menurut mereka, perputaran uang yang begitu besar pada momen pemilu akan menstimulus perekonomian nasional alias menjadi katalisator pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Dengan adanya pemilu kata mereka, akan ada tambahan (spending), karena ribuan caleg, capres, calon kepala daerah dan wakilnya, parpol, dan negara (APBN), semua akan mengeluarkan spending.
Dalam hal ini, ada beberapa sektor, baik produksi maupun konsumsi, yang kinerjanya disebut-sebut akan terdorong tersebab pemilu, bahkan diklaim akan membawa efek pengganda besar. Sektor-sektor tersebut meliputi bisnis makanan dan minuman, tekstil atau garmen, media massa, distribusi, logistik, transportasi, serta jasa-jasa pendukung pemilu lainnya. Dengan demikian, diharapkan perkonomian dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan sendirinya.
Namun pertanyaannya adalah, apakah faktanya demikian? Meningkatnya belanja dan konsumsi saat momen pemilu memang terjadi. Akan tetapi untuk Pilpres 2024 misalnya, anggaran jumbo yang dikeluarkan terbukti dampaknya tidak signifikan. Peneliti dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE di situs resmi UGM menyatakan, efek dari dana kampanye maupun dana pemilu terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nyatanya masih cenderung terbatas, yakni hanya berkisar antara 0,1-0,2 persen saja.
Dalam hal ini masyarakat luas tidak merasakan manfaatnya, karena mereka masih dihadapkan pada inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa yang tinggi. Terlebih faktanya sejumlah paslon presiden dan oarool oendukungnya saat itu tidak menggunakan dananya secara outsource. Untuk pengerjaan spanduk, kaos, dan atribut kampanye lain misalnya, mereka menggunakan perusahaannya sendiri. Artinya, dana jumbo pemilu tadi nyatanya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, yakni orang-orang seputar parpol atau kontestan saja. Hal yang sama dipastikan terjadi saat perhelatan Pilkada serempak yang dananya jauh lebih besar lagi.
Yang pasti dari pemilu ke pemilu kehidupan masyarakat tidak juga beranjak baik. Biaya sosial dan politik yang ditimbulkan akibat pemilu justru jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya ekonominya. Momen pemilu tak jarang membuat masyarakat malah terfragmentasi hingga memunculkan konflik. Pemilu 2019 misalnya menjadi catatan khusus karena banyak jiwa yang harus menjadi korban.
Terlebih kebijakan penguasa hasil pilihan pemilu juga begitu-begitu saja. Meski selama kampanye mereka membawa narasi yang berbeda, faktanya siapapun yang terpilih mereka membawa kebijakan yang sama karena lahir dari sistem yang sama. Semua rezim, sama-sama menerapkan sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang dipastikan anti rakyat dan pro kepentingan pengusaha.
Pemborosan Berpotensi Koruptif
Adapun soal dari mana sumber pendanaan pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada, sebetulnya sudah diatur oleh undang-undang. Di sana disebutkan, sumber dana kampanye t_______________ersebut berasal dari APBN, lalu dari pasangan calon yang bersangkutan, atau dari parpol dan/atau gabungan parpol yang mengusulkan, serta dari sumbangan pihak-pihak yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta yang besarannya masing-masing sudah ditetapkan.
Namun dengan menghitung besarnya dana yang dibutuhkan, semua aturan itu tidak mampu menutup celah masuknya kepentingan kekuatan modal. Dengan kata lain, sangat memungkinkan proses politik tadi menjadi transaksi bisnis yang berpotensi melahirkan kebijakan pro pengusaha, bahkan melahirkan tindak koruptif, serta melibatkan berbagai tindak kriminal lainnya.
Penangkapan gubernur sekaligus calon gubernur Bengkulu oleh KPK baru-baru ini bisa memotret situasi menyedihkan ini. Ia ditangkap karena diduga memeras anak buahnya dan mencairkan dana honor guru demi membiayai pilkada. Hal ini menambah panjang daftar temuan KPK yang sejak berdiri hingga Agustus 2022 mencatat ada 310 anggota DPR dan DPRD, 154 bupati atau wali kota dan 22 gubernur tersandung kasus korupsi.
Begitu pun dengan temuan PPATK pada pilpres dan pileg 2024. Pada perputaran uang R 200 trilyun tadi ternyata ditemukan triliunan dana kontestan yang berasal dari belasan kasus narkotika, perjudian, illegal mining, perdagangan tumbuhan dan satwa liar, pencucian uang, hingga gelontoran dari dana asing. Ini belum termasuk catatan para caleg yang stress karena kehabisan harta, serta para anggota legislatif terpilih yang terlilit utang dan berbondong-bondong “menyekolahkan” SK.
Semua fakta ini semestinya menjadi bahan perenungan kita semua bahwa ada yang salah dengan sistem demokrasi kapitalisme yang sedang diterapkan. Sistem ini memang senjatinya tidak mengenal halal haram karena tegak di atas paham sekulerisme dan liberalisme. Siapapun yang punya uang, bisa maju dalam pemilihan dan dimungkinkan menang. Maklum, pemilu demokrasi ini berbasis pada kekuatan iklan dan pencitraan yang ujungnya menyangkut kekuatan cuan.
Kekuasaan dalam sistem ini juga menjadi buruan dikarenakan posisinya hanya sebagai alat meraih keuntungan, baik bagi calon dan parpol pengusung, maupun bagi para sponsor dari kalangan pemilik modal. Alhasil pemilu bagi mereka, layaknya seperti meja perjudian. Modal yang mereka gelontorkan pada para kontestan diharapkan akan terbayar dengan kebijakan yang menguntungkan atau proyek yang jadi sumber mendapatkan tambahan kekayaan.
Lantas di manakah posisi rakyat? Rendahnya literasi akibat buruknya penerapan sistem pendidikan dan kemiskinan struktural, membuat mereka tetap berposisi sebagai korban iklan. Setiap ajang pemilu dilangsungkan, mereka hanya diposisikan sebagai ceruk suara yang cukup dibayar dengan harga minimal dan janji-janji manis menggiurkan. Lalu saat jagonya menang, mereka siap diperas habis-habisan dengan kebijakan yang menyengsarakan. Termasuk kebijakan pajak yang kian hari kian mencekik leher yang boroknya ditutup dengan program-program populis saat jelang pemilu mendatang.
Saatnya Kembali kepada Islam
Semestinya umat Islam tidak membiarkan diri mereka terus-menerus terperosok ke dalam lubang yang sama. Mereka semestinya paham bahwa sepanjang sistem demokrasi ini tegak, kepemimpinan yang dipilih melalui pesta lima tahunan tidak pernah akan membawa pada kebaikan. Pemilu demokrasi hanya menjadi alat memperpanjang kezaliman, karena aturan yang diterapkan oleh pemimpin yang terpilih melalui mekanisme ini ternyata jauh dari tuntunan Sang Pencipta Kehidupan.
Pemilu sebagai cara memilih pemimpin sebetulnya tidak dilarang oleh Islam. Namun, problemnya adalah ketika pemilu digunakan untuk memilih pemimpin yang justru melanggengkan sistem sekuler. Bagaimana tidak sekuler? Aturan pemerintahan yang ditegakkannya, adalah sistem yang menjadikan penguasa hanya sebagai regulator dan bukan pengurus umat. Para penguasa ini tunduk pada kekuatan modal, baik lokal maupun global, bahkan menjadi perpanjangan politik negara adidaya.
Sistem ekonomi yang diterapkan pun, masih sistem kapitalisme yang jantungnya adalah riba. Bahkan sistem ini membebaskan individu atau swasta untuk menguasai hak milik umum, dan mengkapitalisasi hak publik, hingga kemiskinan dan kezaliman merajalela. Begitu pun dengan aturan pergaulan, sistem yang diterapkan adalah sistem sekuler liberal, hingga kehidupan masyarakat begitu permisif dan menimbulkan banyak kerusakan. Sedangkan aturan hukum dan polugri yang diterapkan masih mengadopsi aturan penjajah, sehingga alih-alih menjamin keamanan dan ketentraman, kejahatan malah kian merajalela.
Wajar jika kehidupan umat ini tidak juga beranjak baik meski kepemimpinan silih berganti. Kesempitan demi kesempitan terus mendera akibat mencampakkan hukum-hukum Allah. Semua ini niscaya sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, niscaya baginya kehidupan yang sempit. Dan kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta. “ (QS Thaha: 124).
Khatimah
Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh umat Islam selain mereka segera kembali kepada tuntunan Allah SWT. Mereka harus segera mewujudkan kepemimpinan Islam yang siap dibaiat hanya untuk menerapkan syariat Islam kafah dalam naungan sistem politik yang disebut sebagai Khilafah. Khilafah inilah yang akan menyatukan umat dan memobilisasi semua sumber daya yang mereka miliki demi kemaslahatan Islam. Juga untuk menjaga wibawa negara serta mengurus dan menyejahterakan seluruh rakyatnya tanpa kecuali, muslim maupun nonmuslim.
Khilafah atau kepemimpinan dalam Islam benar-benar dipahami sebagai amanah dan riayah. Ia mengandung dimensi duniawi sekaligus dimensi ruhiyah. Kekuasaan akan dihisab sehingga tidak akan menjadi bahan buruan. Ia akan diberikan kepada siapa pun yang memenuhi ketetapan Islam, bukan yang hebat dalam pencitraan dikarenakan punya kekuatan uang.
Oleh karenanya memilih khalifah dalam Islam menjadi hal esensial sekaligus simpel dan murah. Ia bisa dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, atau mekanisme lain, termasuk diwakilkan kepada tokoh-tokoh yang merepresentasi umat. Adapun pengangkatan para pembantu khalifah termasuk kepala daerah, sepenuhnya menjadi kewenangan khalifah karena tugas mereka hanyalah membantu dalam hal yang dibutuhkan oleh khalifah, bukan penguasa wilayah atau raja-raja kecil yang berebut kue kekuasaan layaknya dalam sistem demokrasi.
0 Komentar