Shazia Alma
(Penggiat Literasi)
#Analisis — Penolakan kenaikan PPN 12% bergaung dari berbagai kalangan dan daerah. Gencarnya penolakan ini sampai pada bergulirnya petisi tolak kenaikan PPN 12%. Hingga Kamis (28/11/2024), sebanyak 15.000 orang ikut menandatanganinya (m.bisnis.com, 28/11/2024).
Penolakan ini akan berlanjut pada aksi buruh mogok kerja nasional di awal tahun 2025 (CNBC Indonesia.com, 25/11/2024). Kondisi ramai ini terjadi karena PPN 12% akan menjadi kebijakan final pemerintahan baru Prabowo Subianto. Dalihnya adalah karena kenaikan PPN 12% ini merupakan cara menjaga kesehatan APBN tahun mendatang (cnbcindonesia, 25/11/2024) sekaligus amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PP) (liputan6.com, 28/11/2024).
Penguasa hari ini tidak memiliki sense of crisis dan juga menutup mata dari fakta ekonomi sebenarnya yang terjadi pada rakyat. Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan era Soeharto sekaligus Politikus Gerinda menyatakan bahwa pejabat gelap mata. Bagusnya data-data ekonomi Indonesia, daya beli masyarakat yang melemah, dan guncangan ekonomi riil pada masyarakat dianggap biasa saja (CNBC Indonesia, 26/11/2024).
Direktur Indef, Eko Listiyanto mengungkap banyaknya kenaikan (harga) seperti iuran BPJS naik per Juni 2025, bakal adanya seleksi KRL dengan KTP, hingga PPN 12% per Januari, sungguh perlu dikritisi. Wajar jika masyarakat geram hingga tercuat seruan hidup hemat (frugal living) sebagai bentuk protes. Jika terwujud, ekonomi Indonesia bakal makin suram. Tanpa seruan untuk tahan membeli saja, konsumsi masyarakat sudah melemah yang secara otomatis diikuti melemahnya produksi (bisnis) (media Indonesia.com, 21/11/2024).
Dikutip dari cnnindonesia.com (14/11/2024), Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengatakan kenaikan PPN akan berdampak kepada konsumsi rumah tangga. Harga jual barang dan jasa ikut naik. Biasanya, perusahaan kurang bersedia menanggung kenaikan PPN sendiri, sehingga jalan tercepat adalah menaikkan harga jual barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan.
Hal tersebut dibenarkan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) yang menyebut kenaikan ini berpotensi sampainya harga pada konsumen naik 5%–10% pastinya akan memengaruhi perilaku belanja masyarakat, bahkan bisa menurunkan daya beli secara signifikan (cnbcindonesia.com, 20/11/2024).
Reaksi yang sama juga disuarakan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Mereka mengingatkan bahwa kenaikan ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, berjalannya produksi, juga akan menggerus pendapatan negara (cnbcindonesiacom, 25/11/2024).
Wacana kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5% tidak menjamin buruh sanggup menahan dampak kenaikan yang hanya 1%. Dengan perhitungan dan kondisi ekonomi Indonesia yang sulit saat ini, adanya pembatasan subsidi BBM, iuran tapera, dan dengan kemungkinan inflasi 4% tahun depan—menurut pengamat ekonomi dari Celios, Bhima Yudhistira—buruh hanya akan menerima 2,5% dari jumlah yang dimaksud (bbc.com, 2/12/2024).
Dengan sangat meluasnya dampak penderitaan pada rakyat jika PPN 12% berlaku, selayaknya pemerintah melakukan pengamatan ulang kebijakan pajak konsumsi ini. Ancaman PHK besar-besaran, menurunnya kelas menengah dan bertambahnya masyarakat miskin, kesenjangan makin besar, dan bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat makin menipis pada penguasa. Fasilitas berupa subsidi atau bantuan langsung tunai sebagai stimulus nonpermanen, sejatinya tidak pernah optimal dan benar-benar mengangkat kehidupan ekonomi rakyat. Sungguh tega jika aturan pajak ala ekonomi neoliberal ini diberlakukan, rakyat selalu dibuat merana dalam pengurusan sistem kapitalisme.
Pernyataan ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyimpulkan bahwa pemerintah sedang putus asa mengejar penerimaan negara dan melihat kelas pekerja sebagai warga yang masih bisa dibikin menderita demi membiayai visi-misi Presiden Prabowo Subianto. Sebagai salah satu instrumen utama penerimaan negara, PPN memiliki peran penting dalam mendanai berbagai program pemerintah. Kenaikan PPN dianggap sebagai langkah strategis memperbaiki situasi fiskal dan memenuhi kebutuhan anggaran yang meningkat. Selain itu, pemerintah juga berusaha mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran. Mempercepat penerimaan pajak adalah langkah yang diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang serta mengurangi beban pembayaran utang (tempo.co, 23/11/2024).
Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati menilai Kemenkeu perlu melakukan terobosan lain dalam meningkatkan pemasukan negara selain melalui pajak (cnbcindonesia, 25/11/2024). Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana juga turut menyumbang ide bahwa sebetulnya ada cara lain yang lebih bijaksana untuk menambah pendapatan negara, selain "memajaki masyarakat kelas pekerja yang kondisinya saat ini pas-pasan". Yakni memajaki orang kaya dengan mekanisme pajak kekayaan. Namun, pemerintah sampai sekarang belum berani memajaki orang kaya, karena pemerintah tidak memiliki daya tawar politik terhadap pemilik modal dan tidak punya pendekatan untuk memajaki mereka.
Selain itu, pemerintah juga bisa mengkaji ulang proyek-proyek yang memakan anggaran besar, misalnya Ibu Kota Nusantara (IKN) atau makan bergizi gratis. Pemerintah juga dapat menghilangkan insensif-insentif fiskal yang selama ini diberikan kepada industri yang masuk dalam proyek strategis nasional. Semisal tax holiday dan insentif fiskal lainnya pada proyek smelter nikel yang sangat sedikit dampaknya pada serapan tenaga kerja dibandingkan dengan biaya kerusakan lingkungannya (bbc.com, 29/11/2024).
Indonesia perlu membuka diri mengamati lebih jauh bahwa banyak negara yang tidak menerapkan PPN pada rakyatnya, beberapa di antaranya adalah tetangga Indonesia. Sebut saja Brunei Darussalam dan Myanmar (detik.com, 25/11/2024).
Sejatinya, Indonesia punya potensi sumber daya alam dan manusia yang besar. Dengan potensi sumber daya alam yang besar inilah, para penjajah dulu menggali "emas" dari negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Artinya, pendapatan negara Indonesia sangat bisa dipenuhi dari pengelolaan sumber daya alam untuk sustainable development, adanya potensi dan kontribusi barang milik negara terhadap penerimaan negara, melakukan pengaruh kebijakan yang tepat untuk pengelolaan sektor pertambangan terhadap peningkatan pendapatan daerah, serta melakukan analisis ekspor Indonesia (berkas.dpr.go.id).
Mempelajari dan mengamati dengan seksama potensi Indonesia, membangun kebijakan berasaskan sistem politik sahih dan kehendak politik untuk membangkitkan Indonesia sangat penting untuk direnungkan. Sistem kapitalisme yang sedang berlaku saat ini telah nyata selalu menjadikan rakyat menderita, harta negara yang seharusnya cukup menyalurkan kekayaan yang berkeadilan nyatanya hanya jadi perangkap pengelolaan kapitalistik, kesejahteraan bahkan tidak bisa diangankan oleh masyarakat yang tidak berpunya dan berkuasa.
Kesengsaraan rakyat seharusnya menjadi dorongan ruhiyah para pembesar negeri untuk kembali pada amanat UUD berdasarkan keyakinan akan rahmat Allah, Tuhan Yang Mahakuasa untuk mengelola potensi alam demi kesejahteraan rakyat (pasal 33 ayat 3) dan membekali diri dengan pemahaman sahih pengurusan negeri untuk kemakmuran bersama.
Mengambil alternatif sistem berlandaskan akidah Islam dan seperangkat aturan pasti dari Sang Pembuat Hukum (Allah Swt.) jadi keniscayaan. Penjabaran dan contoh pelaksanaannya pun langsung dapat ditiru dari masa kehidupan Rasulullah saw. sampai masa kepemimpinan para sahabat Rasulullah yang mulia, yakni era Kekhilafahan Islam. Mewujudkan sistem ekonomi Islam dengan sistem politik Islam sebagai penopang, masalah penerimaan negara dan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat akan tuntas dengan paripurna. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar