PPN Naik-naik ke Puncak Gunung, Kian Tinggi-tinggi Sekali!

 



Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Pascagonjang-ganjing kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025, pemerintah memastikan kebijakan tersebut hanya berlaku untuk barang mewah. Pihak istana menekankan bahan pokok yang dikonsumsi masyarakat kelas bawah dan menengah tetap dikenai  PPN 11%, bahkan ada yang dibebaskan. Ada 3 barang pokok yang tak terdampak kenaikan tarif PPN baru atau tetap dikenai PPN 11%, yakni minyak goreng curah pemerintah dengan merek Minyakita, tepung terigu, serta gula industri. Sedangkan kebutuhan pokok lainnya semisal beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran bebas PPN.

 

Ada pula sejumlah jasa yang dibebaskan PPN yaitu jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, keuangan, asuransi, pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja, serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum. Selain mayoritas kebutuhan pokok dan sejumlah jasa terdapat pula barang lain yang tidak dikenakan PPN mencakup buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), listrik, dan air minum.

 

Terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah tetap bersikukuh memutuskan untuk menaikkan tarif PPN hingga 12%. Pertama, kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara karena rasio pajak Indonesia rendah. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut kenaikan 12% terbilang aman dan diklaim tidak akan membebani masyarakat. Diketahui bahwa rasio pajak Indonesia saat ini tercatat di angka 10,4%, disebut-sebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain yang mencapai 15% atau bahkan lebih (tempo.co, 21/12/2024).

 

Kedua, kenaikan PPN diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri karena selama ini Indonesia sangat bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran. Kita bisa melihat bagaimana utang Indonesia saat ini diperkirakan telah lebih dari Rp7.000 triliun. Kondisi ini menjadikan cicilan utang luar negeri mencapai 30% APBN atau sebesar Rp700 triliun/tahun. Utang bernilai ‘fantastis’ ini baru akan lunas dalam 10 tahun apabila tidak disertai riba dan tidak ada defisit (utang baru). Sayangnya, negara hingga kini justru tampak getol menambah utang baru yang diperparah dengan perjanjian ribawi. Dari sini, pemerintah berdalih dengan naiknya pendapatan negara dari PPN akan mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri.

 

Alasan ketiga dinaikkannya besaran PPN adalah untuk menyesuaikan dengan standar internasional. Menurut situs Kementerian Keuangan, standar internasional rasio pajak ideal berada di angka 15% ke atas. Meski tarif PPN dinaikkan menjadi 12%, Indonesia diklaim tetap memiliki pajak yang kompetitif dibandingkan negara-negara lain. Angka 12% digadang-gadang pemerintah sebagai langkah moderat, mengingat beberapa negara bahkan menetapkan tarif yang lebih tinggi khususnya dengan rata-rata tarif PPN yang diterapkan oleh negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Beberapa negara di dunia bahkan ada yag menetapkan tarif PPN di atas angka 20%, yakni Argentina dan Belanda di angka 21%, Uni Eropa sebesar 20,8%, serta Inggris, Rusia dan Turki sebesar 20% (cnbcindonesia.com, 20/11/2024).

 

Dari sini kita melihat bagaimana kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% justru memperlihatkan kurangnya ‘sense of crisis’ dari pemerintah. Pada kenyataannya, situasi ekonomi masyarakat sedang sulit yang terproyeksi secara jelas dari tren deflasi yang stabil terjadi beberapa bulan terakhir. Kondisi semacam ini kemudian menggambarkan daya beli masyarakat kian terpuruk. Dari sini saja seharusnya pemerintah peka akan situasi ekonomi masyarakat sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN.

 

Meski di atas kertas kebijakan kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan serupa justru akan menjadi bumerang yang berakibat pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Penurunan tersebut karena konsumsi penopang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berpotensi besar mengalami penurunan. Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang pada triwulan-III 2024 berkontribusi 53,08% terhadap PDB. Perlu diingat pula bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah adalah yang paling rentan terhadap kenaikan ini. Dengan pengeluaran yang lebih besar pada kebutuhan pokok sebagai efek domino kenaikan PPN, kondisi ini secara langsung memengaruhi keseimbangan anggaran rumah tangga kelompok menengah ke bawah.

 

Lebih lanjut UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional juga diprediksi menghadapi tantangan besar. Alih-alih menggenjot perekonomian rakyat, kenaikan PPN justru makin membebani biaya produksi dan berpotensi mematikan sektor UMKM. Di dunia usaha, bisnis yang bergantung pada konsumsi rumah tangga seperti sektor retail dan usaha hiburan beresiko kehilangan omzet lebih besar. Di sisi lain, sektor usaha yang menjual barang atau jasa dengan elastisitas permintaan tinggi juga akan merasakan dampaknya lebih besar atas penurunan daya beli konsumen.

 

Meningkatnya biaya produksi bagi pelaku usaha karena adanya kenaikan PPN justru dapat mengurangi daya saing di pasar global. Hal ini membuat pelaku usaha kesulitan menciptakan lapangan kerja baru atau bahkan sekedar mempertahankan lapangan kerja yang sudah ada. Walhasil, kebijakan ini berpotensi besar mendorong para pelaku usaha untuk melakukan pemangkasan biaya dari sisi pekerja melalui PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Selain itu, penurunan belanja yang menurun secara signifikan pada barang-barang yang diproduksi oleh industri besar dan menengah sebagai akibat dari turunnya daya beli masyarakat, berakibat pula pada penurunan jumlah tenaga kerja dan meningkatkan angka pengangguran.

 

Memang benar kebutuhan pokok tidak dikenakan tarif PPN 12% atau bahkan dibebaskan, tetap saja harga-harga kebutuhan pokok lambat laun akan mengalami penyesuaian. Pasalnya, barang kebutuhan sehari-hari semisal BBM, gas LPJ, transaksi e-commerce, pakaian, sabun hingga deterjen tetap mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga barang yang diklaim pemerintah terkategori mewah pun secara pasti akan berimbas pada naiknya biaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

 

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sejatinya adalah resiko yang harus diambil pemerintah karena menjadikan pajak sebagai sumber utama negara. Hal ini karena memang Indonesia sebagaimana negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis lainnya menggantungkan keberlangsungan pemerintahan dari sektor pajak. Oleh karena itu ‘wajar’ jika kemudian pemerintah akan senantiasa menambah berbagai pungutan terhadap rakyat. 

 

Pajak sejatinya telah diposisikan menjadi “tulang punggung” keuangan negara. Postur RAPBN 2025 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun atau 12,32% terhadap PDB dengan penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp2.189,3 triliun atau 72,85% dari target pendapatan negara. Angka tersebut naik 13,8% dari outlook APBN 2024. Di sisi lain, penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2025 ditargetkan mencapai Rp301,6 triliun, sedangkan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan sebesar Rp513,64 triliun. 

 

Postur APBN yang bergantung pada pajak sejatinya menyebabkan pemiskinan rakyat secara struktural. Hal ini karena beban pajak melalui PPN relatif lebih besar bagi masyarakat miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi. Sebaliknya, para konglomerat justru diberi banyak keringanan pajak. Penguasa memanjakan para cuan dengan adanya tax holiday, tax allowance hingga sunset policy. Dengan dalih menjadikan Indonesia ramah investasi, berbagai insentif perpajakan diberikan pada investor terutama dari pihak asing.

 

Bahkan demi meloloskan proyek-proyek besar, pemerintah menghapus beberapa pajak bagi para cuan. Misalnya saja, kemenkeu telah memutuskan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Penguasa menetapkan Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100% untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN. Terdapat pula pengurangan PPh (Pajak Penghasilan) 100% atau 85% untuk badan yang bergerak di sektor keuangan IKN dan berlaku hingga 25 tahun.

 

Guna memuluskan penerapan kebijakan PPN 12% pemerintah telah melakukan banyak cara agar meyakinkan masyarakat bahwa pajak bukanlah suatu bentuk kezaliman. Penguasa menggambarkan para pembayar pajak bak pahlawan negara. Pemerintah juga melontarkan banyak alasan sebagai dasar penetapan tarif baru PPN per 1 Januari 2025. Padahal, alasan-alasan tersebut dibuat untuk menutupi ketidakmampuan penguasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.

 

Lucu memang! Di negeri yang katanya kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan mencicipi bonus demografi, rakyatnya justru banyak gigit jari. Pemanfaatan SDA yang melimpah di negeri ini justru diserahkan kepada pihak asing dan aseng. Walhasil, yang seharusnya pengelolaan SDA bisa menjadi sumber pendapatan negara justru digantikan dengan pajak yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat banyak. Penguasa kapitalis juga cenderung memindahkan beban pajak kepada masyarakat menengah ke bawah melalui skema pajak tidak langsung semisal PPN, karena rakyat jelata dianggap tidak memiliki daya tawar politik yang kuat. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kelompok atas dan korporasi besar yang seringnya mendapat keringanan pajak atau bahkan “lolos” dari kewajiban pajak.

 

Padahal, secara gamblang Islam mengutuk para penguasa yang membebani rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menzalimi seseorang yang terikat perjanjian (mu’ahad), atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu dari dirinya tanpa kerelaannya, maka aku akan menjadi lawannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i) 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar