Regulasi Kapitalisme : Gaji Guru Honorer Terpasung Anggaran

 



#Bogor — Dugaan gaji guru honorer di sekolah Kabupaten Bogor disunat hingga jutaan rupiah mencuat ke publik. Hal itu disampaikan oleh Koordinator Pusat Aliansi Bogor, Ramdan Giri Nugroho dalam aksi damai yang melibatkan beberapa kampus di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. (Pakuan Raya, 10/10/2024) 


Dugaan penyunatan gaji guru honorer ditanggapi Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Nina Nurmasari bahwa gaji guru honorer tersebut bukan dipotong, tetapi dipinjam rekeningnya untuk memberikan gaji guru lain yang belum dibayar akibat tidak terdaftar dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan).


Banyaknya jumlah guru honorer yang belum terdata di Dapodik memang menjadi permasalahan krusial. Salah satunya adalah gajinya tidak bisa dibayarkan langsung sehingga gajinya dititipkan melalui rekening guru lain.


Permasalahan ini sudah banyak terjadi di hampir seluruh sekolah di Indonesia. Banyak guru honorer mengeluh belum terdaftar di Dapodik guru karena pihak sekolah belum mendaftarkan mereka ke Dapodik. Hal ini disebabkan oleh faktor keterbatasan anggaran pemerintah daerah yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan biaya untuk menggaji guru honorer atau menyertakan mereka dalam sistem Dapodik.


Dilansir dari pakuanraya.com (25/11/2021) Pemerintah Kabupaten Bogor kembali berencana memangkas beberapa sektor anggaran untuk menutupi defisit pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPB) 2022, salah satunya adalah hibah untuk guru-guru honorer. Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Ridwan Muhibi upaya mensejahterakan para guru melalui PPPK membuat beban belanja APBD sudah melebihi batas maksimum (Radar Bogor, 27/09/2024).


Diketahui anggaran prioritas yang diusung di 2025, anggaran pendidikan sebesar Rp724,26 triliun, merupakan 20% dari total belanja APBN 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dalam acara Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) ke-13 pada 2 Desember 2024, meskipun Indonesia mengalokasikan 20% dari anggaran untuk pendidikan, tetapi Indonesia masih jauh dari mencapai tingkat yang diinginkan dalam pendidikan dan pelatihan bagi pekerja terampil. Angka tersebut dinilai belum cukup untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.


Akibatnya, tidak sedikit permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia, salah satunya penurunan kualitas pendidikan. Kurangnya anggaran berdampak pada kekurangan jumlah guru karena rekrutmen berkurang, baik melalui mekanisme PNS maupun PPPK. Termasuk gaji guru honorer yang rendah merupakan salah satu kelemahan sistem ekonomi pendidikan yang tidak terstruktur, bahkan penentuan gaji untuk guru honorer sering kali tidak memiliki sistem yang jelas.


Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Rabu (4/9) meminta untuk mengatur ulang acuan belanja wajib anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari pagu belanja APBN. Alasannya, pemerintah akan kesulitan mencari anggaran di tengah kondisi dunia yang sangat dinamis. Padahal, alokasi wajib 20% dari APBN masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Rata-rata, anggaran pendidikan Indonesia berada di kisaran 2%-3,5% terhadap PDB (Katadata.co.id). Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam investasi di sektor pendidikan begitu rendah dibandingkan sektor lain.


Fakta menyedihkan ini adalah dampak buruk dari penerapan sistem sekuler-kapitalisme. Dalam kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai komoditas. Sektor ini dianggap tidak menguntungkan secara materi dibandingkan dengan investasi negara di sektor ekonomi. Hal ini tampak dari minimnya pemerintah memberikan anggaran pendidikan dibandingkan dengan proyek mercusuar yang konon menghasilkan keuntungan materi besar.


Sistem politik kapitalisme membuat negara lemah bahkan abai dalam mengurusi urusan masyarakat.  Koordinasi pemerintah pusat dan daerah terkait guru honorer kurang baik, tumpang tindih kebijakan, termasuk kewenangan pengangkatan guru.


Minimnya anggaran negara untuk membiayai pendidikan adalah konsekuensi dari rusaknya tata kelola SDA yang tidak menguntungkan rakyat. Sumber Daya Alam yang melimpah tidak sedikit yang dikelola swasta atau asing. Sementara pendapatan negara ini bergantung pada pinjaman luar negeri dan pajak. Sistem inilah yang membuat ekonomi negara semakin lemah dan berdampak pada anggaran pendidikan yang minim.


Disinilah urgensi meninggalkan sistem sekuler-kapitalisme sebagai biang persoalan dan beralih pada sistem Islam (Khilafah). Dalam Islam pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, termasuk gaji guru. Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid bayaran melimpah untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Khalifah memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitulmal) yang bersumber dari harta kepemilikan negara dan harta kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, tambang, laut, dan hutan.


Dengan demikian, sistem politik Islam dan ekonomi Islam membuat hak pendidikan masyarakat terpenuhi. Sistem Khilafah memberikan jaminan pembiayaan pendidikan tidak sulit karena memiliki visi misi mensejahterakan rakyat, termasuk kesejahteraan guru honorer.[]



Mitri Chan

(Aktivis Dakwah) 







Posting Komentar

0 Komentar