#Bekasi — Kabar gembira bagi para pekerja/karyawan, khususnya di Bekasi dengan kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) yang kini disebut juga UMP (Upah Minimum Provinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten/ Kota) mulai berlaku pada Januari 2025.
Dilansir dari Kompas.com (14/12/2024), Dewan Pengupahan Kota (DPK) Bekasi, telah menetapkan gaji UMR Kota Bekasi di Tahun 2025 sebesar Rp5.690.752 yang sebelumnya (Rp5.343.430), artinya bertambah sebesar Rp347.322 atau naik 6,5 persen. Putusan kenaikan UMK tersebut mengikuti arahan Presiden Prabowo dan menteri ketenagakerjaan dan mengacu pada PP Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.
Sedangkan UMK Kabupaten Bekasi pada 2025 sebesar Rp5.558.514 kenaikannya Rp339.251 yang sebelumnya/2024 sebesar Rp5.219.263 (Tempo.com, 20/12/2024). Bekasi, sebagai bagian dari daerah penyangga Jakarta, kini menjadi daerah dengan upah tertinggi di antara Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Depok, sekaligus sebagai daerah dengan UMR tertinggi di Indonesia. Sebagai perbandingan UMR Jakarta Rp5.396.761 dan daerah lain yang jumlahnya lebih rendah dibanding upah Kota Bekasi.
Sekilas tampak membuat bahagia para buruh dengan naiknya upah minimum ini, pada saat yang sama mereka tetap bersusah hati sebab cost living di Bekasi jauh lebih tinggi tak sebanding dengan kenaikan upah tersebut. Bekasi terkategori biaya hidup termahal kedua setelah Jakarta, sebesar Rp14,3 juta per bulan menurut BPS (Liputan6.com, 8/05/24). Ditambah lagi akan adanya kenaikan PPN 12 persen, tentu semakin menyulitkan dalam mengatur kebutuhan hidup. Lalu, timbul pertanyaan mengapa kenaikan UMR bersamaan dengan naiknya PPN (Pajak Pertambahan Nilai)? Apakah ini akal-akalan kapitalisme?
Paradigma Kapitalisme Penyebabnya
Kebutuhan hidup mesti terpenuhi, terutama kebutuhan pokok (pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan). Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, pengusaha terbebani dan menjadi penanggung atas kebutuhan para pekerjanya. Sedangkan negara dalam sistem ini hanya memberi regulasi, dan abai terhadap kebutuhan dasar rakyat. Inilah kesalahan besar sehingga seberapa pun besarnya upah maka akan sulit mencapai kesejahteraan.
Dengan kenaikan upah pula, akan semakin membuat pengusaha berpikir untuk menekan cost produksi agar mendapat profit, salah satunya dengan cara mengurangi karyawan, selanjutnya berujung PHK. Tentu hal ini kembali berdampak pada buruh/pekerja. Lagi-lagi kapitalisme penyebabnya, pengusaha pun tak mau merugi dan meraih untung sebanyak-banyaknya.
Lebih dari itu, kebijakan memberikan upah dengan standarisasi batas minimum biaya hidup sesuai tempat tinggal pekerja. Artinya setiap daerah pun akan berbeda besaran upahnya dan tentunya tetap menyusahkan hati para buruh dalam memenuhi tingginya harga suatu barang.
Tidak dimungkiri kenaikan UMR akan menimbulkan inflasi, naiknya harga barang dan jasa terutama di daerah yang distribusinya tidak merata, juga membuat daya beli masyarakat semakin menurun karena kenaikan harga hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama bagi masyarakat yang hidup di garis kemiskinan dan di bawahnya.
Sebuah rumah tangga, terkategori hidup dalam garis kemiskinan artinya, jumlah pendapatan minimum untuk mencukupi kebutuhan minimum, baik makanan atau nonmakanan. Maka, dalam hal ini setiap daerah pun memiliki jumlah yang berbeda. Jika UMR Bekasi terlihat tinggi sedangkan kebutuhan pangan meninggi pula maka hanya angka yang bertambah, tetapi kondisi tetaplah miskin. Oleh karena itu, harus ada perubahan sistem kapitalisme dalam pengaturannya ke sistem yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Islam Pengatur dan Pemberi Solusi
Dalam Islam, negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan) bukan pengusaha. Jadi ketika pekerja menerima upah yang sesuai dengan pekerjaannya pun, mereka sudah mendapat jaminan dari sisi biaya pokok, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga, beban produksi pun memengaruhi harga barang (lebih murah). Pengaturan upah ditentukan sesuai dengan manfaat kerja seseorang dan jasa kerja. Dengan akad ujrah dengan keridaan antara pemberi upah dan penerima upah.
Di samping itu, distribusi pangan yang merata akan menekan tingginya harga, tentu dalam pengawasan para qadi madzalim, yang ditugaskan Khalifah. Dan jika ada kenaikan upah, para buruh tidak bersusah payah untuk memenuhi dan menyeimbangkan kenaikan harga barang khususnya pangan.
Dalam sistem Islam pun, negara tidak membebankan rakyat dengan adanya pajak atas barang dan jasa. Pajak hanya dipungut ketika kondisi kas negara kosong dan tidak secara berkala. Jadi, dengan kenaikan upah minimum tidak bersamaan dengan naiknya pajak seperti dalam kapitalisme. Negara dalam Islam memiliki kekayaan alam yang pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada asing atau swasta.
Oleh karenanya, hanya dengan sistem ekonomi Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah satu-satunya solusi problematika ekonomi. Jadi, negara harus menjalankan peran dan tanggung jawabnya sesuai syariat Islam. Walhasil, pekerja tidak dirundung gelisah, pengusaha pun tak resah. Sebagaimana sabda Rasul, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin," (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu A'lam bishawab.[]
Hanimatul Umah
0 Komentar