#CatatanRedaksi — Lagi, lelucon penegakan hukum di negeri ini terhadap koruptor dipertontonkan secara live di depan publik. Dilansir CNNIndonesia.com (26/12/2024), Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengaku heran dengan vonis 6,5 tahun penjara yang diterima pengusaha Harvey Moeis. Mahfud mengatakan tuntutan dari jaksa saja cuma 12 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp210 miliar. Namun, ternyata putusan hakim hanya separuhnya. “Tidak logis dan menyentak rasa keadilan. Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU Rp300T," kata Mahfud di akun Twitter @mohmahfudmd, Kamis (26/12).
Tidak hanya komentar Mahfud MD, berita ini sontak viral di sosial media. Netizen juga menyoroti ketidakadilan hukum yang makin mengkhawatirkan dalam sistem hukum di negeri ini. Bahkan, alasan keringanan hukuman itu karena hakim juga menyebut vonis Harvey lebih ringan karena ia sopan selama persidangan. Selain itu, hakim menyebut Harvey punya tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum sebelumnya. Alasan yang sangat aneh dan dibuat-buat untuk sebuah putusan perkara pidana korupsi. Apalagi dalam kasus ini, Harvey diduga menerima Rp420 miliar bersama Helena Lim, Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Suparta, terdakwa lain, disebut menerima Rp4,57 triliun dari kasus yang menyebabkan kerugian negara Rp300 triliun. Keduanya juga didakwa mencuci uang dari dana tersebut (Tempo.co, 25/12/2024).
Satu angka yang fantastis, bahkan di awal waktu berita ini muncul. Beredar hitung-hitungan netizen terkait kasus korupsi dengan nilai 300T yang bisa memberi cuma-cuma dana di setiap kepala warga negara Indonesia masing-masing 20 juta tanpa bekerja. Sungguh sebuah nilai yang sangat besar. Terbayang, kerugian negara juga tidak sedikit. Dana yang seharusnya untuk kepentingan rakyat, karena dikorupsi menjadi hanya dinikmati oleh seorang koruptor dan keluarga/koleganya saja. Maka, wajar sekali kegaduhan terjadi karena vonis yang sangat ringan ini telah menodai rasa keadilan dan dinilai tidak masuk akal.
Terlebih di tengah himpitan kehidupan rakyat yang makin berat akhir-akhir ini. Tuntutan hukuman setimpal bisa direalisasikan untuk mengobati rasa keadilan yakni dengan mengembalikan semua dana yang sudah dikorupsi disertai hukuman yang berat untuk efek jera. Namun, faktanya terjadi dan berulang. Hukuman bagi koruptor cenderung sangat ringan, bahkan mereka tidak malu-malu dengan predikat koruptor yang disematkan kepadanya. Masih banyak dari para tersangka yang tersenyum lepas dan juga fasilitas mewah yang diberikan di dalam tahanan. Maka, tidak heran koruptor semakin menjamur di negeri ini setiap waktu, bahkan jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Hasil riset terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan peningkatan tren korupsi yang cukup masif di 2023. Kasus korupsi di 2023 ada sebanyak 791 kasus. Sementara ada 579 kasus pada 2022, 533 kasus pada 2021, 444 kasus di 2020, dan 271 kasus di 2019 (MetroTVnews.com, 21/5/2024). Tidak jarang kasus korupsi dilakukan secara berjamaah dan hal itu sudah menjadi rahasia umum yang biasa terjadi di negeri ini. Seolah mental korup menjadi budaya dari masa ke masa.
Sejatinya mental pejabat korup dalam sistem sekularisme-kapitalisme memang satu hal yang biasa. Bagaimana tidak, karakteristik sistem sekularisme menjadikan agama dijauhkan dari kehidupan publik, membuat semua berjalan semau-maunya, dan cenderung memperturutkan hawa nafsu, aji mumpung berkuasa atau memegang satu jabatan. Maka, sebanyak mungkin mengambil keuntungan yang besar dengan cara mark up anggaran ataupun penyalahgunaan dana anggaran dan wewenang. Rasa takut akan dosa dan rasa bersalah seolah tidak pernah menjadi pertimbangan. Selama kepuasan materi didapat, para koruptor masa bodoh jika orang lain menderita karenanya.
Walhasil, semakin suburlah budaya korupsi di negeri ini. Apalagi hukuman yang diberikan tajam kebawah dan tumpul keatas, lebih tegas putusan hukuman maling ayam daripada koruptor. Maka, ketegasan hukum benar-benar menjadi tanda tanya besar dalam kehidupan bernegara di negeri ini. Sampai kapan ini akan terjadi? Sesungguhnya selama kita tidak mau mengubah nasib kita, maka Allah tidak akan mengubahnya. Maha benar Allah dengan Firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS ar-Ra'du: 11)
Wallahu a'lam bi asshawwab.
Hanin Syahidah, S.Pd.
0 Komentar