Vonis Ringan Koruptor, Kapitalisme Legalkan Cara Kotor

 



Anggun Permatasari

 

#TelaahUtama Memprihatinkan, itulah ungkapan yang pantas atas putusan pengadilan kepada para terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 20152022. Pasalnya, mereka mendapatkan vonis ringan dari majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Vonis yang dijatuhkan jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

 

Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah pengusaha Harvey Moeis. Harvey hanya divonis 6,5 tahun penjara, padahal sudah merugikan negara Rp300 triliun di kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah. Menurut eks penyidik KPK, Yudi Purnomo, vonis Harvey Moeis jauh dari rasa keadilan. Apalagi, alasan hakim terkait ‘peran' Harvey Moeis dalam pusaran kasus korupsi tersebut dikatakan kecil. Yudi berpendapat, korupsi tetaplah korupsi (detik.com, 29/12/2024).

 

Putusan hakim terhadap koruptor Harvey Moeis sungguh melukai hati masyarakat Indonesia. Sebelumnya, kasus maling ayam diancam penjara sampai 5 tahun. Bagaimana mungkin uang negara triliunan rupiah yang telah dirampok hanya diberi sanksi 6,5 tahun. Hal itu jelas menunjukkan praktik tebang pilih dalam pengusutan korupsi.

 

Pakar hukum berpendapat bahwa hakekatnya hukum harus ditegakkan secara konsisten dan transparan. Namun faktanya, pada banyak kasus korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi masih belum dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kondisi ini akhirnya membangun citra buruk di masyarakat luas.

 

Sayangnya, kenyataan pahit ini merupakan keniscayaan di alam demokrasi kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, korupsi terjadi di semua lini. Bahkan, di lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan yudikatif pun tidak lepas dari masalah korupsi. Sulitnya memberantas korupsi sesungguhnya menunjukkan wajah buruk sistem hidup yang sedang diterapkan.

 

Mirisnya, regulasi dan sanksi bagi koruptor tidak membuat jera karena dibuat oleh manusia yang penuh cela. Sekularisme membuat manusia tidak mengenal halal-haram sebagai sandaran. Sifat inilah yang akhirnya mendorong manusia berperilaku jahat dan korup.

 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang sahih yang berasal dari Allah Swt.. Aturan Islam melarang perilaku konsumtif dan hedonis yang saat ini menjamur di sistem kapitalisme-sekuler. Aturan Islam memiliki sistem hukum dan sanksi yang tegas yang akan meminimalkan terjadinya penyimpangan.

 

Dalam aturan Islam, korupsi adalah penggelapan atau penyelewengan uang negara dan dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in, termasuk suap-menyuap atau disebut dengan risywah (rasuah) (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Bentuk lain korupsi adalah gratifikasi karena termasuk kategori hadiah atau hibah yang tidak sah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Jilid 2 menulis bahwa setiap orang yang memiliki otoritas memenuhi kepentingan masyarakat maka harta yang diambilnya untuk menjalankan tugas tersebut adalah suap, bukan upah.

 

Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad), melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Sanksinya mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa juga berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89). Demikianlah pemberantasan korupsi yang efektif dan menciptakan efek jera di masyarakat.

 

Allah Swt. dan Rasul-Nya sangat mencela perbuatan korupsi. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman yang artinya, “Barang siapa yang mengambil harta khianat maka pada hari kiamat dia akan datang membawa harta hasil khianat itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (QS al-Imran [3]: 161)

 

Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah r.a., yang artinya, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)

 

Di zaman modern seperti saat ini, korupsi menjelma menjadi seribu wajah. Seperti pada kasus Harvey Moeis terdapat modus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dikenal dengan istilah mingling. Mingling adalah mencampurkan hasil tindak pidana dengan hasil usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya. Namun, apapun motivasinya, hasil korupsi hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang melanggar ketentuan syariat (ghairu al-masyru’) (Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 117119).

 

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 188)

 

Sejarah mencatat dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah 5/528, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dulu menetapkan sanksi koruptor berupa hukuman cambuk dan ditahan dalam waktu yang lama. Zaid bin Tsabit juga menjatuhkan sanksi yang tegas yang bisa membuat orang lain takut melakukannya. Sedangkan Qatadah mengatakan hukumannya adalah penjara (Mushannaf Abd ar-Razaq, 10/208—209).

 

Sistem Islam memiliki aturan kepemilikan yang adil, jelas, dan terperinci. “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

 

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah), kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah), dan kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-dawlah) (An-Nabhani, an-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 69–70).

 

Menurut Syekh Muhammad Husain Abdillah, ada tiga macam kepemilikan umum. Pertama, terkait hajat hidup orang banyak. Contohnya, air, padang rumput, api, dll. Kedua, benda-benda yang dari segi bentuknya tidak boleh dikuasai oleh perorangan/individu. Seperti jalan, jembatan, sungai, danau, dll. Ketiga, barang tambang yang depositnya besar. Contohnya, tambang emas, tembaga, dll (lihat M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, hlm. 56).

 

Dengan demikian, aturan tersebut akan menutup celah oknum/individu untuk menguasai harta umat dalam hal ini barang tambang, apalagi sampai melakukan korupsi. Barang tambang haram dikuasai oleh pribadi-pribadi, swasta, dan asing. Semua tambang wajib dikelola oleh negara. Seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Kalaupun dalam pengelolaannya negara melibatkan individu, swasta, dan asing, mereka semua hanya boleh menjadi mitra pelaksana (operator) yang dikontrak.

 

Dari kasus tambang timah tersebut, sejatinya menjadi bahan muhasabah umat terkait buruknya sistem demokrasi kapitalisme-sekuler neoliberal yang diterapkan saat ini. Sistem ini sungguh menyusahkan rakyat dan membawa pada kemudaratan. Namun sesungguhnya, lingkaran setan korupsi hanyalah setitik permasalahan dari rusaknya sistem hidup yang bukan dari Allah Swt.. Kezaliman dan kerusakan merajalela hingga masyarakat dipenuhi himpitan hidup. Sistem kapitalisme membuka peluang manusia menggunakan cara-cara kotor untuk mendapatkan harta dan mengabaikan halal-haram.

 

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124)

 

Wallahu 'alam bishawab.

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar