Agar Pagar Laut Tak Jadi Kemelut





#Tarikh — Islam mengajarkan manusia tidak serakah dengan harta. Karena Islam mengatur dengan jelas hukum dari berbagai aktivitas muamalah antarsesama manusia agar tak ada seorang pun yang dizalimi dalam perkara harta dan kepemilikannya. Syariat Islam memandang bahwa setiap harta pasti ada pemiliknya. Dan seluruh harta di dunia ini pada hakikatnya adalah milik Allah Swt.. Allah Swt. memberikan izin kepada siapa pun yang ingin memiliki harta dengan cara-cara yang ditentukan oleh syariat dan hukum-hukum fikih yang digali dari nash-nash syariat.

Terkait hukum kepemilikan, Islam membaginya menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Jalan, barang tambang, laut, dan pantai adalah contoh kepemilikan umum, sehingga tak ada seorang pun yang boleh memilikinya. Pengelolaannya diserahkan pada negara. Karenanya memagari laut, sebagaimana terjadi di perairan Kabupaten Tangerang, bukanlah sebab kepemilikan yang diperbolehkan dalam Islam. 

Takhanya mengatur masalah hukumnya, Islam juga memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa hidup dengan orientasi akhirat, sehingga gambaran pahala dan dosa taklepas dalam setiap pertimbangan saat melakukan sesuatu. Keterikatan kaum muslimin pada syariat Islam ini membuat kaum muslimin sanggup menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang akan mengantarkannya pada neraka dan mampu menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji.

Hal ini tercermin pada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari 


حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، عَنْ مَعْمَرٍ ، عَنْ هَمَّامٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ ، فَقَالَ لَهُ : الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ ، وَقَالَ : الَّذِي لَهُ الْأَرْضُ إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ ، فَقَالَ : الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ أَلَكُمَا وَلَدٌ ، قَالَ : أَحَدُهُمَا لِي غُلَامٌ ، وَقَالَ : الْآخَرُ لِي جَارِيَةٌ ، قَالَ : أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا " (صحيح البخاري – 3472)

Ishaq bin Nasr meriwayatkan kepada kami, Abdul Razzaq meriwayatkan kepada kami, dari Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. berkata, “Seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari laki-laki lain, dan laki-laki yang membeli tanah itu menemukan di dalam tanahnya sebuah kendi berisi emas, maka ia berkata kepada orang yang menjual tanah itu, “Ambillah emas Anda dari saya, saya hanya membeli tanah dari Anda dan aku tidak membeli emas itu darimu.” Orang yang menjual tanah itu berkata, “Aku hanya menjual tanah itu dan apa yang ada di dalamnya adalah milikmu.” Maka mereka pergi kepada seseorang (hakim) untuk meminta keputusan hukum mereka. Hakim itu berkata, “Apakah kamu memiliki anak?” Salah satu dari mereka berkata. “Aku memiliki anak laki-laki.” Sedang yang lain berkata, “Aku memiliki anak perempuan.” Hakim itu lantas berkata, “Nikahkan anak laki-laki itu dengan anak perempuan dan infakkan buat keduanya serta bersedekahlah.” (HR Bukhari No. 3472)

Melalui hadis ini Rasulullah menceritakan kisah yang cukup mengherankan. Ketika dua orang bertransaksi jual beli sebidang tanah dan ternyata dalam tanah tersebut terdapat kendi berisi emas, mereka sama-sama merasa takmemilikinya. Biasanya, dalam kondisi masyarakat saat ini berpeluang untuk menimbulkan persengketaan. Masing-masing ingin mendapatkan emas dan mengklaim bahwa itu miliknya. Pembeli merasa, emas itu ada di tanah yang telah dibelinya. Begitu pula si penjual merasa hanya menjual tanah, tidak termasuk emas yang ada di dalamnya. Persengketaan seperti ini pasti akan terjadi karena kecintaan manusia terhadap dunia sebagaimana kemelut pagar laut yang sedang terjadi saat ini.

Terkait kecintaan pada dunia, Allah berfirman, 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS al-Imrân [3]: 14)

Namun dalam kisah dalam hadis tersebut, persengketaan itu justru sama sekali tidak terjadi. Mereka sama-sama menolak kendi berisi emas, seolah mereka tak membutuhkannya. Salah satu alasannya adalah takut bila harta yang diterimanya terkategori harta syubhat, apalagi sampai haram. Pun demikian dengan hakim yang mengadili perkara keduanya. Dia justru menetapkan keputusan yang unik. Dorongannya sama, yakni kekhawatiran mendapatkan dosa dari keputusan yang tidak adil. Artinya ketiganya memiliki orientasi hidup ke akhirat. Sehingga semua amal perbuatannya senantiasa dipertimbangkan agar jangan sampai menghantarkan pada dosa yang membawanya ke neraka. 

Sebaliknya, mereka bertiga berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak karimah. Ketaatan pada syariat, mengharap rida dan pahala dari Allah Swt.. Sungguh ini adalah sebuah potret sikap hidup yang hanya akan ditemukan ketika Islam diterapkan secara kafah dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, jika ingin mengatur harta dan kepemilikan laut, menyelesaikan kemelut yang kemungkinan akan terus terjadi, tak ada jalan lain selain dengan menerapkan hukum Islam secara kafah dalam bingkai negara Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam.[]

Posting Komentar

0 Komentar