Siti Rima Sarinah
#Wacana — Pulau
Rempang adalah sebuah pulau yang berada di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi
Kepulauan
Riau. Pulau Rempang mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia terkait kasus konflik
agraria yang berakhir pada penggusuran penduduk asli di wilayah tersebut yang
terjadi pada September 2023. Penggusuran ini dilakukan untuk proyek
pengembangan kawasan Rempang Eco-City yang akan
dibangun di
atas dua keluarahan, yaitu Kelurahan Sembulang dan Rempang Gate.
Sudah
setahun lebih kasus Rempang masih terus memanas hingga hari ini dan tidak ada
keberpihakan sedikit pun kepada warga Rempang. Mirisnya, pemerintah menganggap
bahwa penduduk asli sebagai warga liar yang tidak memiliki hak untuk tinggal di
Pulau Rempang. Hal ini menjadi dalih pengusiran penduduk asli dari Tanah
Rempang. Padahal, mereka berdiam di Pulau Rempang sudah berpuluh-puluh tahun
lamanya. Penolakan yang dilakukan oleh warga Rempang pun diabaikan begitu saja.
Bahkan melibatkan aparat keamanan untuk menghadang berbagai demo dan aksi warga
Rempang terkait pembangunan proyek tersebut.
Dilansir
Tempo.co (16/01/2025), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor
Keamanan menyoroti keterlibatan TNI dalam percepatan proyek Rempang Eco-City.
Husein Ahmad, sebagai anggota koalisi menyatakan bahwan keterlibatan apara kt
keamanan dalam proyek tersebut berpotensi besar terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia (HAM). Keterlibatan TNI dalam proyek-proyek bisnis menempatkan
TNI harus berhadapan dengan rakyat yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan dan
pelanggaran HAM. Keterlibatan militer juga bertentangan dengan profesionalisme
TNI yang sebagaimana tercantum dalam UU TNI pasal 2 huruf d terkait
mengamanatkan tentara tidak berbisnis dan menjunjung tinggi HAM. Padahal,
seharusnya tupoksi dari TNI adalah mengamankan dan menangkap segala bentuk
ancaman yang terjadi dari luar dan dalam negeri.
Fakta
di atas membuktikan arogansi pemangku kebijakan negeri ini dengan melibatkan
militer untuk membungkam warga agar tidak melakukan penolakan serta perlawanan
agar proyek tersebut bisa segera terlaksana. Padahal, apa yang dilakukan oleh
warga Rempang adalah untuk mempertahankan hak tanah yang menjadi hak mereka.
Namun sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah terlihat makin berambisi agar
proyek Rempang Eco-City tetap terlaksana, sebab proyek ini merupakan salah satu
Proyek Strategis Negara (PSN) yang diatur dalam peraturan Menteri Koordinator
bidang Perekonomian RI Nomor 7 tahun 2023. Tidak tanggung-tanggung, total
investasi untuk pengembangan proyek Rempang Eco-City mencapai 43 triliun.
Proyek Rempang Eco-City ini digadang-gadang dapat memberi dampak pertumbuhan
ekonomi bagi Kota Batam dan dapat menyerap tenaga keja lebih dari 306.000 hingga
tahun 2080.
Kasus
konflik Rempang hanyalah salah satu dari deretan konflik agraria yang terjadi
di negeri ini, dan rakyat yang harus terpaksa mengalah demi PSN. Hal serupa
juga terjadi oleh warga asli di IKN
Kalimantan Timur, yang digusur paksa oleh pemerintah atas nama PSN. Bahkan, ada
106 konflik agraria dan PSN yang ditangani oleh YLBI dan LBH di seluruh
Indonesia. Yang memaparkan data adanya kriminalisasi yang mencakup konflik SDA,
khususnya di wilayah PSN dengan lebih dari satu juta rakyat harus menjadi
korban. Tidak satu pun manfaat yang didapatkan oleh rakyat dengan adanya PSN,
kecuali hanya menyisakan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat. Keberadaan
PSN tidak hanya merugikan dan menyengsarakan rakyat tetapi juga ancaman
kerusakan lingkungan makin nyata di depan mata.
Rakyat
terus dijadikan tumbal demi memenuhi keserakahan korporasi yang berlindung di
bawah payung undang-undang PSN. Negara yang seharusnya melindungi dan menjaga
hak tanah milik rakyat, justru memberi “karpet merah” kepada korporasi agar
proyek-proyek mereka bisa berjalan tanpa ada penghalang apa pun dari rakyat.
Inilah bentuk kezaliman nyata yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya,
sebagai buah penerapan sistem kapitalisme yang menjadi asas lahirnya berbagai
undang-undang dan peraturan yang berlaku di negeri ini.
Berbeda
halnya dengan sistem yang senantiasa menjaga dan melindungi hak rakyat dari
siapa pun yang ingin merampasnya (sistem Islam/Khilafah). Karena Islam memiliki
seperangkat aturan yang mengatur terkait kepemilikan yang terbagi atas tiga
jenis, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu menjadi hak individu yang tidak boleh diambil/dimiliki
oleh negara dengan alasan apa pun. Sedangkan, kepemilikan umum dikelola
langsung oleh negara yang hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat.
Seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi, dan lain sebagainya.
Negara tidak akan memberi celah sedikit pun bagi swasta untuk mengelola
kepemilikan umum.
Sistem
Islam menjadikan negara sebagai pelayan yang mengurusi urusan rakyat, sedangkan
sistem kapitalisme justru menjadikan negara sebagai pelayan korporasi.
Sedangkan Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah
halal seseorang untuk mengambil tongkat milik saudaranya, kecuali atas
kerelaannya.” (HR Ibnu Hibban)
Berbagai
kerusakan yang timbul saat ini adalah akibat kita berpaling dari sistem yang
menjadi penjaga dan pelindung umat. Maka, sistem rusak yang saat ini kita emban
harus segera diakhiri agar kekayaan alam milik umat akan kembali ke tangan
umat. Juga mengakhiri penderitaan panjang yang dirasakan oleh umat agar umat
bisa merasa kesejahteraan dan kemakmuraan hidup di sebuah negara dalam naungan
sistem periayah umat. Wallahu a’lam bishawab.[]
0 Komentar