Demokrasi Meniscayakan Korupsi

 



Hanin Syahidah, S.Pd.


#CatatanRedaksi — Tidak heran, kiranya korupsi menjadi headline berita yang terus muncul akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan sejak Oktober 2024 lalu merupakan awal rezim baru berkuasa terutama dengan gebrakan baru yang dijanjikan dalam komitmennya, yakni membersihkan pejabat-pejabat korup. Maka, tentu saja rakyat sedang menunggu melalui test case apakah benar komitmennya ini dijalankan atau tidak.


Namun ternyata fakta berbicara, pascavonis 6,5 tahun koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara sebesar 300T, komitmen itu cukup memberi keraguan kepada khalayak. Ditambah lagi, sekarang muncul berita dari salah satu lembaga internasional terkait Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo masuk dalam nominasi pemimpin negara terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bersama lima finalis lainnya. Kendati tidak dijelaskan secara rinci, tetapi OCCRP menyebut pihaknya menerima nama-nama finalis untuk "penghargaan tokoh kejahatan terorganisir dan korup" dari pembaca, jurnalis, juri, dan pihak lain yang masuk dalam jaringan global organisasi mereka (bbc.com, 3/1/2025).


Demokrasi memang tidak akan bisa dilepaskan dari korupsi. Bagaimana tidak, politik yang berbiaya tinggi sangat meniscayakan terjadi transaksional antara pengusaha dan penguasa. Perselingkuhan di antara mereka adalah hal yang wajar terjadi karena politisi/parpol membutuhkan dana besar untuk berlaga dalam pemilu. Sementara pengusaha membutuhkan lahan atau lokasi usaha untuk bisnis mereka. Maka, sangat sulit membersihkan demokrasi dari korupsi karena adanya keterkaitan antara pengusaha dan penguasa.


Meskipun sudah dibentuk komisi anti korupsi nantinya tetap akan muncul komisi yang akan mengaudit lembaga anti korupsi juga atau paling tidak memandulkan kinerja lembaga anti korupsi. Seperti yang viral beberapa tahun lalu di masa rezim Jokowi, di antaranya upaya pemandulan KPK dengan revisi UU KPK dan penyingkiran 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi melalui tes wawasan kebangsaan menyempurnakan pemandulan lembaga itu. Ada kekuatan besar yang menggerakkan (Tempo.co, 5/6/2021).


Elite kekuasaan akan mengeluarkan policy dan regulacy. Sementara pengusaha membutuhkan regulacy itu untuk mendapatkan lahan bisnis dan menjalankan bisnisnya demi meraup keuntungan bisnis yang besar yang ada dalam negara itu. Misalnya, bisnis tambang, bisnis manufaktur, dan sebagainya. Itulah yang menjadikan korupsi merupakan sesuatu yang niscaya ada dalam demokrasi. Maka, kalau mau menghilangkan korupsi harus menghilangkan juga sistem yang menyuburkannya, karena sistem dan perilaku itu setali tiga uang.


Apalagi negeri ini mayoritas muslim, bahkan tidak jarang pelaku korupsi adalah muslim. Padahal seharusnya, umat Islam tidak begitu. Islam mengharamkan korupsi, bahkan menghukum dengan hukuman berat bagi korupsi, dan dalam sistem Islam korupsi tidak akan diberi ruang sedikitpun terjadi. Di samping karena ketakwaan individu yang akan menjaga individu untuk meninggalkan keharaman dan melaksanakan apa yang dihalalkan saja oleh Allah, individu penguasa dalam Islam juga takut akan beratnya tanggung jawab di hadapan Allah Swt. terkait rakyat yang diurusinya.


Politik Islam juga tidak berbiaya tinggi, tidak ada politik transaksional atau pun bagi-bagi upeti pengusaha kepada elite pejabat. Bahkan, secara keras Khalifah Umar bin Khattab mencontohkan sebuah penerapan Islam yang utama terkait pembersihan para pejabat terhadap tindakan korupsi. Di antaranya yang pernah dilakukan Khalifah Umar adalah dengan mengaudit harta kekayaan pejabat sebelum berkuasa dan harta pejabat sesudah berkuasa. Jika ada selisih, maka akan dikembalikan ke baitulmaal sebagai hak bagi umat Islam. Maka, tidak ada institusi kekayaan yang bersih dari korupsi sepanjang peradaban manusia selain institusi Islam, yakni ketika Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai Khilafah Islamiah. 


Wallahu a'lam bi asshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar