Hitung-hitungan Biaya Program MBG, Dana Zakat Harus Out!

 


Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama —  Belum satu purnama program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan, ketercukupan dana untuk pelaksanaan MBG hingga akhir tahun 2025 sudah mulai disangsikan. Kondisi ini kemudian memunculkan banyak ‘saran’ dari berbagai pihak termasuk Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin. Ia menyatakan masyarakat patut untuk ikut serta terlibat membiayai MBG, salah satunya dengan pemanfaatan dana zakat. Terang saja usulan tersebut dianggap kontra produktif yang mendapat reaksi keras dari masyarakat. Pasalnya, dana zakat merupakan dana umat yang peruntukannya sudah jelas yakni para delapan ashnaf. 


Tidak mengherankan memang jika dana zakat mulai ‘dilirik’ untuk pembiayaan MBG. Program andalan Prabowo Subianto tersebut dipastikan akan menelan dana fantastis bahkan sebelum pihaknya membeberkan rincian biaya pascapemenangan Pilpres 2024 silam. Hal ini karena program tersebut menyasar siswa PAUD hingga jenjang SMA, balita, ibu hamil serta ibu menyusui. Dari sini diperkirakan target penerima manfaat MBG berjumlah 82,9 juta hingga akhir 2025.  


Dalam pagu APBN 2025, pemerintah sejatinya telah mencanangkan anggaran senilai Rp71T untuk pembiayaan MBG tahun ini. Hanya saja pada kenyataannya, dana fantastis tersebut diperkirakan hanya mampu menutupi biaya MBG hingga Juni 2025. Dari sini Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menyebutkan bahwa dibutuhkan setidaknya tambahan anggaran sebesar Rp140T agar program MBG tetap berjalan hingga akhir tahun. Dengan demikian sepanjang 2025, program MBG bakal menelan dana setidaknya Rp210T (tempo.co, 10/01/2025). 


Namun, perlu digarisbawahi bahwa kebutuhan dana Rp210T tidak bisa diproyeksikan untuk pelaksanaan program MBG di tahun-tahun mendatang. Pasalnya di tahun ini baru menyasar 40% dari total target penerima MBG. Sedangkan di tahun kedua ditargetkan penerima program MBG mencapai 80%, dan baru di tahun 2029 yakni tahun keempat pelaksanaan MBG mencapai 100% yang diperkirakan akan menelan biaya setidaknya Rp400T/tahun atau sekitar Rp1,2T/hari. 


Sekalipun menelan biaya yang luar biasa besar, pemerintah menilai program MBG tidak hanya akan memenuhi kebutuhan gizi generasi muda tetapi juga mendongkrak perekonomian masyarakat. Perhitungannya adalah 85% dari dana yang keluar diasumsikan untuk membeli bahan-bahan baku yang diambil dari masyarakat. Artinya, pemerintah mengklaim program MBG akan memberi efek domino atas peredaran uang di masyarakat.  


Sesungguhnya perkara MBG tidak hanya sebatas permasalahan jual-beli bahan baku antara masyarakat dan pemerintah. Pertanyaannya, apakah petani Indonesia sendiri saat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan dan tanpa MBG? Jawabannya belum. Pada tahun 2024 saja, jumlah impor beras Indonesia berada di angka 4,52 juta ton yang merupakan angka tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Sedangkan impor gula Indonesia pada Januari–Agustus 2024 mencapai 3,38 juta ton atau 5,53% lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tidak bisa kita pungkiri ketergantungan Indonesia akan impor bahan pangan cukup besar. Di sisi lain, program-program ketahanan pangan semisal food estate yang digalakkan pemerintah nyatanya masih belum membuahkan hasil. 


Padahal program MBG membutuhkan sumber daya bahan baku pangan yang sangat besar. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyebutkan kebutuhan harian bahan baku MBG bisa tembus 16 juta liter susu sapi hingga 82 juta butir telur ayam. Dari uji coba yang telah dilaksanakan di tahun 2024 tercatat di satuan layanan yang menyediakan makanan gratis untuk 3000 anak setiap hari membutuhkan 200 kg beras, 350 kg ayam atau 3.000 telur, dan 350 kg sayur, serta susu 600 liter sehari (cnbcindonesia.com, 08/10/2024). 


Jika kita mengambil contoh dari ketersediaan susu dalam negeri, hingga tahun 2024 dan tanpa adanya program MBG peternak lokal hanya mampu menyediakan sekitar 20% suplai nasional. Sedangkan 80% sisa kebutuhan susu nasional masih mengandalkan impor terutama dari New Zealand dan Australia. Kondisi tersebut kemudian dijadikan alasan pemerintah untuk memuluskan rencananya mengimpor 1,5 juta sapi perah demi memenuhi kebutuhan susu dalam program MBG (liputan6.com, 30/12/2024). Namun di sisi lain, fakta di lapangan memperlihatkan bagaimana pasokan susu dari peternak domestik justru mengalami banyak penolakan oleh pabrik-pabrik pengolah susu seperti halnya yang terjadi di Boyolali pada akhir tahun lalu.  


Permasalahan ketersediaan bahan baku dalam negeri hanya satu dari sekian banyak rintangan yang harus dihadapi negeri ini untuk mampu menjalankan program MBG secara maksimal. Menggantungkan pemenuhan ketersediaan pangan melalui skema impor untuk program MBG khususnya dan kebutuhan masyarakat secara umum tentu bukanlah solusi jangka panjang dan justru merentankan ketahanan pangan Indonesia.  


Agar program MBG benar-benar bisa menjadi peluang para peternak dan petani untuk meningkatkan perekonomian negeri jelas saja membutuhkan strategi pangan yang lebih konkret dan memihak para peternak serta petani, bukan para cuan. Artinya, negara harus benar-benar turun tangan dalam pemberdayaan masyarakat dengan tujuan meningkatkan ketahanan pangan. Hal tersebut tentu saja hanya bisa dilakukan jika kebijakan-kebijakan para penguasa lebih berpihak kepada rakyat dan menghentikan pembangunan beton-beton di wilayah budidaya tani dan ternak. 


Terkait penyediaan dana Rp400T per tahun yang dibutuhkan untuk pembiayaan program MBG, pemerintah tentu harus memutar otak. Sebagai perbandingan, anggaran Rp400T untuk program makan gratis setara dengan anggaran belanja infrastruktur senilai Rp400,3T dan tidak jauh dari anggaran perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp504,7T. Hanya saja hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan bagi pemerintah untuk memosisikan dana zakat sebagai sumber pembiayaan alternatif program MBG. Lalu jika bukan dari dana zakat, dari mana dana Rp400T bisa didapat? 


Sejauh ini pihak pemerintah telah menyampaikan maksudnya untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak, memangkas subsidi di berbagai lini, serta meningkatkan rasio utang. Dari sektor pajak misalnya, setoran penerimaan negara 'dipaksa’ harus mampu memenuhi kebutuhan belanja negara dengan target pendapatan negara pada 2025 mencapai Rp3.005,1T dengan  penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9T (ssas.co.id, 21/10/2024). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah sudah memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025. Perlu diingat bahwa kebutuhan belanja negara yang mencapai Rp3.005,1T tahun ini baru menutupi kebutuhan program MBG sebesar Rp71T dari total Rp400T. Bisa dibayangkan bagaimana besaran pungutan yang harus dicapai pemerintah setiap tahunnya akan terus meningkat seiring dengan bengkaknya kebutuhan belanja negara. 


Jika negara tidak mampu memenuhi kebutuhannya melalui penerimaan pajak, hampir bisa dipastikan pemerintah akan mengambil ‘jalan pintas’ melalui pengambilan utang luar negeri. Padahal saat ini utang Indonesia diperkirakan sudah lebih dari Rp7.000 triliun dengan cicilan utang mencapai 30% APBN (setara Rp700 triliun/tahun). Jumlah utang tersebut baru akan lunas dalam kurun waktu 10 tahun dengan catatan negara tidak memperhitungkan riba dan tidak mengambil utang baru. Dari sini bisa kita perkirakan nilai utang luar negeri akan terus meningkat jika pemerintah tidak memiliki ‘backup plan’ untuk pembiayaan MBG. Selain itu defisit anggaran yang dialami negeri ini akan terus mendorong pemerintah untuk melakukan pemangkasan subsidi energi, seperti BBM dan elpiji, yang secara nyata kian menyulitkan kehidupan rakyat. 


Miris memang! Di tengah upaya pemerintah mengurangi beban rakyat melalui program MBG, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa melalui skema kenaikan pajak, peningkatan jumlah utang, pengurangan subsidi energi hingga penggenjotan impor bahan baku pangan justru menjadi boomerang. Pemenuhan isi perut 82,9 juta anak dan ibu hamil serta menyusui setiap harinya, harus dibayar dengan darah dan keringat 280 juta jiwa penduduk Indonesia. Sepatutnya pemimpin negeri ini memahami sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam itu terdapat lembah, dan di lembah itu terdapat sumur yang bernama Habhab. Allah pasti akan menempatkan setiap penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran di dalamnya." (HR ath-Thabrani, al-Hakim, dan adz-Dzahabi)

Wallahu a’lam bi ash-shawab. 

Posting Komentar

0 Komentar