Siti Rima Sarinah
#Bogor — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus digalakkan oleh pemerintah hingga hari ini. Seperti yang kita ketahui program MBG merupakan salah satu janji kampanye presiden-wapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Program MBG ini dikatakan sebagai tonggak bersejarah Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan program pemenuhan gizi berskala nasional dari balita, anak sekolah, santri, ibu hamil dan menyusui. Tak tanggung-tanggung negara mengalokasikan anggaran untuk program MBG ini sebesar Rp71 triliun dari APBN 2025.
Kota Bogor menjadi salah satu daerah yang juga sedang menjalankan program MBG. Kepala Dinas Kesehatan, dr. Sri Nowo Retno, MARS., mendampingi Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno dan PJ Walikota Bogor bersama Kapolresta, Kepala Dinas Pendidikan serta jajaran terkait melakukan peninjauan pelaksanaan Program MBG di Kota Bogor. Peninjauan ini bertujuan untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan MBG agar tujuan dari MBG tercapai dan berjalan sesuai harapan.
Wakil Ketua MPR RI menyampaikan bahwa program MBG ini sangat penting dilaksanakan, karena tujuan besar dalam program ini adalah untuk menciptakan generasi emas menjelang Indonesia Emas 2045. Momen program ini untuk memberikan asupan bergizi agar anak-anak kita berkembang dengan baik dari sisi intelektualitasnya dan fisiknya (dinkes.kotabogor.go.id).
Program MBG diopinikan seakan-akan menjadi salah satu cara untuk mewujudkan generasi emas yang dicanangkan pemerintah di tahun 2045. Padahal, untuk mewujudkan generasi emas tentu tidak cukup hanya mengandalkan program MBG yang bersifat sementara. Karena, generasi juga sangat membutuhkan sarana pendidikan dengan fasilitas sekolah yang berkualitas dan tenaga pendidik yang mumpuni di bidangnya.
Kalau melihat fakta yang tampak di hadapan kita, bagaimana kondisi pendidikan dan output pendidikan di negeri ini sangatlah miris. Sangat jauh dari generasi emas yang ingin diwujudkan oleh pemerintah. Berbagai persoalan pendidikan dari banyaknya gedung sekolah yang tidak layak pakai, meningkatnya angka putus sekolah karena faktor ekonomi, dan minimnya gaji guru sehingga harus menjadi pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi potret rusaknya generasi saat ini yang suka tawuran, narkoba, dan gaya hidup bebas menjadi persoalan krusial yang melanda negeri ini. Bisa dikatakan bahwa generasi saat ini mengalami krisis dekadensi moral yang sangat parah. Dengan fakta seperti ini, bagaimana mungkin generasi emas bisa diwujudkan?
Mewujudkan generasi emas membutuhkan seperangkat aturan (sistem) yang saling mendukung, bukan hanya sistem pendidikannya, kurikulum, dan fasilitas sekolah yang dibutuhkan. Namun, yang terpenting adalah peran negara sebagai pihak yang berwenang agar negara ini mampu mencetak generasi emas pembangun peradaban yang kelak melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Sayangnya, potret negara seperti itu tidak tampak wujudnya. Yang tampak di hadapan masyarakat adalah negara yang hanya memandang rakyat sebagai pembeli yang berusaha agar kebutuhan pokoknya terpenuhi seperti pendidikan.
Tidak dipungkiri, saat ini pendidikan menjadi ajang bisnis yang sangat menggiurkan. Kita banyak melihat menjamurnya sekolah-sekolah yang menawarkan berbagai fasilitas dan kualitas yang terbaik dengan harga yang mahal. Hanya segolongan masyarakat berkantong tebal yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah tersebut. Di sisi lain, masyarakat yang miskin harus rela menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dengan fasilitas yang minim dengan bangunan sekolah yang ala kadarnya. Potret kesenjangan pendidikan antara si kaya dan si miskin semakin nyata di depan mata.
Sementara, negara hanya sibuk membuat program dan kebijakan yang jauh dari tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan anak bangsa. Seharusnya negara megalokasikan anggaran yang besar untuk pendidikan sehingga tidak ada lagi anak-anak bangsa yang harus mendapatkan layanan pendidikan yang ala kadarnya atau terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi. Ketidakseriusan negara untuk memberikan kualitas pendidikan untuk generasi terlihat dari alokasi anggaran yang hanya sekitar 20 persen dari APBN.
Inilah potret negara yang bernaung dalam sistem kapitalisme, memandang hajat hidup rakyat bukan untuk diurusi dan difasilitasi melainkan untuk mendapatkan keuntungan. Ingin mewujudkan generasi emas dalam ketiadaan peran negara hanya sebuah ilusi dan mustahil akan bisa terwujud. Maka wajarlah buah sistem pendidikan kapitalisme hanya menghasilkan generasi yang miskin secara moral, akibat sistem ini telah menjauhkan agama dari kehidupan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam (Khilafah) yang telah terbukti menorehkan tinta emas dalam keberhasilannya mencetak generasi emas. Generasi emas ini telah memberi pengaruh besar pada peradaban dunia. Keberhasilan Islam mencetak generasi yang bukan hanya faqih dalam bidang agama, melainkan juga generasi yang terdepan dalam sains dan teknologi. Bahkan Khilafah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan yang mebuat negara Eropa bangkit dari keterpurukannya saat itu.
Keberhasilan ini tak lepas dari peran negara (Khilafah) yang senantiasa hadir di tengah-tengah rakyat untuk memenuhi kebutuhan asasinya, termasuk di bidang pendidikan. Kualitas pendidikan yang terbaik bisa dirasakan oleh setiap individu rakyat baik di desa maupun di kota, bahkan negara menggratiskan biaya pendidikan. Tentu karena negaralah yang menjadi pihak untuk memfasilitasi pendidikan. Maka wajarlah sistem pendidikan Islam banyak melahirkan para ilmuwan, penemu, polymath, dan penakluk, yang keilmuan mereka bermanfaat bagi dunia hingga saat ini.
Sudah sangat jelas bahwa apa pun yang lahir dari sistem kapitalisme-sekuler tidak lain hanyalah kerusakan, bahkan melahirkan beragam persoalan kehidupan manusia. Sedangkan Khilafah adalah sistem yang hadir untuk membawa solusi bagi umat manusia dan mampu mewujudkan kehidupan manusia berkah, makmur, dan sejahtera. Wallahua’lam.
0 Komentar