Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), masuk dalam nominasi pemimpin negara terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bersama lima finalis lainnya. Menanggapi nominasi dirinya, Jokowi menyebut tuduhan tersebut adalah fitnah dan framing jahat yang tidak disertai bukti konkret. Ia menambahkan tuduhan tersebut sarat muatan politis dan berpotensi ditunggangi kepentingan pihak-pihak yang hendak menyerang dirinya (tempo.co, 03/01/2025).
Di dalam laman OCCRP, pihaknya disebut tidak memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Jokowi terlibat dalam korupsi untuk keuntungan pribadi selama masa kepresidenannya. Namun, kelompok masyarakat sipil dan para ahli berpendapat bahwa pemerintahan Jokowi secara terstruktur telah melemahkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia. Pertimbangan lainnya adalah Jokowi dinilai merusak sistem pemilu dan peradilan Indonesia demi mendukung ambisi politik putranya, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai Wakil Presiden Indonesia bersama Presiden Terpilih, Presiden Prabowo Subianto. Dari sini, OCCRP menyebutkan keberadaan nama Jokowi lebih karena adanya dorongan yang kuat dari publik di dunia maya yang dianggap memiliki dasar cukup kuat (liputan6.com, 03/01/2025).
OCCRP ialah organisasi nonpemerintah yang berfokus pada investigasi kejahatan yang terorganisir dan korupsi. OCCRP sendiri didirikan pada tahun 2007 oleh Wartawan Investigasi, Drew Sulivan dan Paul Radu yang kini menjelma sebagai organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Setiap tahunnya OCCRP menerima nama-nama finalis "penghargaan tokoh kejahatan terorganisir dan korup" dari pembaca, jurnalis, juri, dan pihak lain yang masuk dalam jaringan global organisasi mereka dan kemudian memutuskan pemenang tokoh terkorup di dunia. Ironisnya tahun ini Jokowi masuk sebagai nominasi tokoh terkorup 2024 dan Presiden Suriah yang baru saja digulingkan, Bashar al-Assad, memenangkan nominasi.
Memang benar dalam nominasinya, OCCRP tidak memiliki bukti korupsi Jokowi. Namun perlu diingat bahwa sejumlah kritik dari masyarakat luas menilai adanya praktik nepotisme dan hubungan keluarga yang erat dengan beberapa proyek pemerintah yang dikelola oleh keluarganya, sering dikaitkan dengan indikasi korupsi. Korupsi sendiri memiliki arti yang cukup luas, tidak sebatas kasus penyuapan ataupun tindakan yang secara finansial meningkatkan harta pelaku secara signifikan. Korupsi yang berasal dari kata "corrupt" dalam bahasa Inggris berarti penyalahgunakan kekuasaan atau jabatan (publik) untuk kepentingan pribadi. Dari sini, korupsi juga meliputi tindakan-tindakan lain semacam kolusi, nepotisme, dan manipulasi kebijakan.
Lebih dari itu, Basel Institute of Governance menyebut tindakan korupsi tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan jabatan publik, tetapi juga pada penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh individu dalam peran politik, korporasi, atau melalui akses kepada sumber daya besar, kekayaan pribadi, atau kedudukan sosial yang tinggi. Dari sini tampak jelas, Jokowi terbukti melakukan tindak korupsi dengan menempatkan orang-orang terdekatnya termasuk Gibran untuk menduduki tampuk kekuasaan. Jokowi juga secara aktif menggiring opini publik guna memenangkan ‘jagoan’ pilkada tertentu seperti yang terjadi dalam Pilkada Gubernur Jateng 2024 silam.
Tidak hanya secara pasti menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruhnya, ada banyak faktor lain yang menyebabkan Jokowi layak dinominasikan sebagai tokoh terkorup dunia. Pertama, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa selama menjabat Jokowi terbukti melemahkan peran lembaga KPK secara sistematis. Pada tanggal 13 Februari 2019 sebanyak sembilan fraksi DPR menyetujui revisi UU KPK yang menjadikan KPK tidak lagi menjadi lembaga independen dan kelembagaannya berada di bawah komando presiden. Seluruh pegawai KPK pun berubah status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan diwajibkan melakukan Tes Wawasan Kebangsaan sebagai syarat kepegawaian.
Kedua, di masa kepemimpinannya Jokowi melakukan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara di tahun 2020 tanpa melibatkan partisipasi publik. Revisi tersebut memicu kenaikan investasi besar-besaran di sektor Sumber Daya Alam (SDA) disertai dengan sentralisasi penguasaan mineral dan batubara di kalangan para cuan. Di sisi lain, revisi ini menyebabkan perpanjangan otomatis Kontrak Karya dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang justru mengabaikan proses evaluasi termasuk AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan). Revisi ini bahkan berpotensi menjadi pasal karet untuk membungkam rakyat yang hendak menggugat usaha pertambangan dengan pasal kriminalisasi atas masyarakat yang dianggap mengganggu kegiatan usaha pertambangan.
Ketiga, kebijakan yang sangat kontroversial dan antirakyat di masa kekuasaan Jokowi adalah pengesahan Omnibus Law yang sangat menyiksa rakyat jelata. Dalam proses pengesahannya, Jokowi kala itu meminta DPR mengesahkan kebijakan tersebut hanya dalam kurun waktu 100 hari. Menanggapi penolakan keras dari masyarakat, Jokowi beberapa kali mengeluarkan pernyataan intimidatif dengan menggandeng BIN (Badan Intelijen Negara) dan Polri yang mengarahkan adanya tindakan represif secara sistematis terhadap massa aksi di beberapa kota.
Keempat, sudah menjadi rahasia umum sepanjang kepemimpinannya, Jokowi menempatkan para relawannya di berbagai posisi penting BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Bahkan tidak sedikit pejabat perusahaan BUMN yang ditunjuk merangkap jabatan, semisal Carlo B. Tewu yang diangkat sebagai Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan ketika dirinya masih menjabat sebagai Irjen Polri, atau pengangkatan Bambang Sunarwibowo, seorang perwira aktif Polri dan Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara, yang diangkat sebagai Komisaris PT Aneka Tambang Tbk pada 11 Juni 2020.
Kelima, terdapat banyak langkah korup yang dilakukan Jokowi dalam rangka memuluskan jalannya Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini bisa terlihat dari beberapa kebijakan yang dimunculkan Jokowi dan sangat condong kepada kepentingan para konglomerat, seperti: Peraturan Presiden (Perpres) No. 15/2015 terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum; PP No. 3 /2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional beserta revisinya; dan Perpres No. 4/2016 mengenai Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Semua kebijakan tersebut dimaksudkan agar menghilangkan hambatan dalam proses pembebasan lahan yang tidak jarang justru merenggut hak-hak rakyat sebagaimana yang terjadi di Rempang, Pulau Komodo, dan area Wadas.
Selain daripada banyaknya kebijakan Jokowi yang dikeluarkan secara semena-mena tanpa memerdulikan kesejahteraan rakyat, pemerintahan Jokowi banyak membentengi ruang aspirasi rakyat dengan tindakan represi yang tiada henti. LBH-YLBHI (Lembaga Bantuan Hukum-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mencatat pada 2019, setidaknya terdapat 6.128 masyarakat sipil yang menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum. Pemerintahan Jokowi juga mengerahkan 6.500 anggota Brimob dan tentara untuk ‘mengamankan’ gerakan penentangan rasisme aparat kepolisian dan tentara terhadap rakyat Papua di Surabaya, yang menyebabkan 1.013 orang ditangkap dan 61 orang tewas. Pada 2020, gerakan Anti-Omnibus Law direspon dengan represi sistematis yang mengakibatkan setidaknya 5.918 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 480 orang dikriminalisasi (ylbhi.or.id, 03/01/2025).
Kepemimpinan Jokowi selama dua periode secara nyata gagal melakukan pemberantasan korupsi dan justru menumbuhsuburkan banyak megaskandal korupsi. Terdapat sejumlah kasus korupsi dengan nilai kerugian negara ‘fantastis’ yakni mencapai angka triliunan rupiah, misalnya: kasus e-KTP; kasus megakorupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia); kasus korupsi dan pencucian uang pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri); hingga kasus proyek BTS 4G Kominfo. Sedangkan kasus megakorupsi teranyar dan ‘terpanas’ baru-baru ini adalah kasus korupsi tata niaga timah pada PT Timah Tbk di Bangka Belitung tahun 2015–2022 yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp271 triliun.
Dari sini, tidak mengherankan jika kemudian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) turun secara mengenaskan selama masa jabatan Jokowi. Di awal menjabat yakni tahun 2015, pemerintahan Jokowi meraih skor IPK 36. Angka tersebut sempat mengalami kenaikan di tahun 2016 dan 2018 dengan masing-masing berada di angka 37 dan 38. Periode pemerintahan Jokowi pun ditutup dengan skor IPK 40 di tahun 2019. Setelahnya tren IPK terus menerus di tahun 2020 dan 2022, yaitu di angka 37 dan 34. Padahal rata-rata IPK global sendiri adalah 43.
Kondisi Indonesia yang mengenaskan semacam ini memperlihatkan bagaimana praktik korupsi di Indonesia begitu membudaya dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari pegawai pemerintahan, aparat keamanan, para cuan hingga pejabat pemerintahan. Hanya saja, perlu diingat bahwa dalam hal ini presiden serta jajarannya berperan sangat penting dalam membuka jalan korupsi. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya kebijakan yang dikeluarkan penguasa mewakili kepentingan oligarki. Pemerintahan Jokowi bahkan berpartisipasi aktif dalam penempatan orang-orang yang tersangkut skandal korupsi.
Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, tentang sistem politik demokrasi yang menyebutkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Politik demokrasi membutuhkan biaya besar kemudian mengharuskan para politisi membalas budi kepada para cuan melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Oleh karenanya, kebijakan penguasa tidak lagi dimaksudkan untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan oligarki dan korporasi. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar