Anggun Mustanir
#TelaahUtama — Di tengah kisruh program Makan Bergizi Gratis (MBG), kini muncul prokontra terkait sumber dana MBG seiring cekaknya pundi-pundi pemerintah. Seperti dilansir laman CNNIndonesia.com, 15/1/2025, Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, mengusulkan keterlibatan masyarakat dalam pendanaan pelaksanaan program MBG, yakni melalui zakat. Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf juga mengatakan bahwa dana infak dan sedekah yang selama ini dikelola lembaga-lembaga pengelola zakat, infak, dan sedekah agar dapat dimanfaatkan sebagai dukungan untuk salah satu program pemerintahan Prabowo Subianto tersebut.
Reaksi bermunculan sehubungan dengan usulan tersebut. Banyak pakar yang mengatakan keberatan jika sumber dana program MBG diambil dari zakat. Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengingatkan DPD RI agar lebih fokus pada kebijakan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas (Detiknews.com, 21/1/2025).
Sementara itu, dikutip dari halaman antaranews.com, 17/ 1/2025, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurizal merespon dengan pernyataannya bahwa pembiayaan program MBG harus dimaksimalkan dari APBN dibandingkan dibiayai zakat. Menurutnya, DPR tidak memiliki wacana untuk menggunakan sumber dana selain APBN. Presiden Prabowo Subianto pun berharap agar APBN yang ada betul-betul dimaksimalkan.
Meski MBG masuk dalam kebijakan jangka panjang negara, termasuk RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029 yang bertujuan untuk meraih visi Indonesia Emas 2045, banyak kalangan meragukan implementasinya. Hal ini dikarenakan kebutuhan anggaran yang nilainya sangat besar. Pasalnya, kondisi APBN di awal tahun 2025 ini mengalami defisit sebesar Rp616,2 triliun. Belum lagi masalah teknis terkait pelaksanaannya yang banyak mengalami kendala karena perencanaan dan persiapan yang dinilai kurang matang.
Jika pada jajaran pembuat kebijakan ada yang mengaitkan sumber dananya dengan zakat seperti kasus saat ini. Tentu saja hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam, ternyata tidak semua paham syariat Islam. Padahal, Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah at-Taubah ayat 60 yang artinya, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. Namun, fakta itu tidaklah aneh karena memang merupakan ciri khas penguasa sekuler yang lahir dari sistem buatan manusia demokrasi kapitalisme.
Sesungguhnya Islam juga memiliki sistem pemerintahan, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.. Sistem Islam (Khilafah) berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme yang diadopsi saat ini. Sistem Islam juga memiliki sistem keuangan. Sistem anggaran Khilafah tepat dan teruji. Kebutuhan anggaran diatur oleh sistem keuangan bernama baitulmaal. Dalam sistem keuangan Khilafah, seluruh kebutuhan dasar rakyat merupakan prioritas. Untuk pos-pos pemasukan akan dikeluarkan sesuai peruntukannya. Khalifah tidak akan sembarangan mengambil sumber dana umat, apalagi dari pos zakat untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka melanggengkan kekuasaannya (pencitraan).
Pemangku kebijakan yang masih menjadikan demokrasi kapitalisme sebagai dasar pembuatan aturan, faktanya memang gagal menganalisis dan memberikan solusi terhadap permasalahan umat. Sama halnya pada kondisi saat ini, apabila ditelisik lebih dalam, program MBG merupakan upaya tambal sulam ala kapitalisme dalam menyelesaikan masalah pemenuhan gizi di tengah masyarakat.
Faktanya tidak ada makan siang gratis dalam kehidupan di alam kapitalisme. Ada harga yang harus dibayar mahal, dari suara-suara saat pilkada, pileg dan pilpres lalu hanya untuk mendapatkan seporsi makanan. Pemenuhan gizi terbaik yang seharusnya menjadi tugas penguasa justru dijadikan jargon untuk mendulang suara. Bahkan, implementasinya menjadi bancakan penguasa dan dayang-dayangnya.
Penguasa besutan demokrasi kapitalisme tidak memahami akar masalah dari banyaknya kasus malnutrisi yang dialami masyarakat. Sehingga, solusi yang dituangkan dalam program kerjanya hanya bersifat teknis. Mereka tidak visioner dan pemikirannya tidak menunjukkan seorang negarawan sama sekali. Padahal, kesalahan tata kelola sumber daya alam yang menyebabkan kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem kapitalismelah yang menjadi masalah utama gizi buruk di negeri ini.
Permasalahan mendasar tersebut tentu berbeda dengan pemimpin yang lahir dari Islam sebagai asas hidup. Islam memiliki seperangkat aturan yang lengkap termasuk dalam pengaturan pangan bagi umat. Untuk melaksanakan tanggung jawab dalam rangka merealisasikan jaminan kemaslahatan tersebut membutuhkan peran pemimpin yang memiliki sifat “raa’in wal junnah”, yakni pelayan sekaligus pelindung. Dorongan keimanan dan ketakwaan serta ketundukan pemimpin terhadap syariat Allah akan memunculkan sifat tersebut. Sayangnya, peran penting dalam kepemimpinan itu hanya terdapat dalam kepemimpinan Islam yang menerapkan aturan Islam secara kafah.
Pemimpin dalam aturan Islam akan memutus kemiskinan sistemik dengan memberikan pendidikan terbaik bagi masyarakat. Sebab, masyarakat terdidik akan memiliki daya juang tinggi dalam menghadapi kehidupan. Dalam Islam, negara wajib menyediakan kurikulum hingga sarana-prasarana dan fasilitas terbaik untuk mewujudkannya. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS an-Nisa’: 9)
Dalam aturan Islam, antara masalah satu dengan masalah yang lain saling berkaitan. Tentu terkait masalah gizi bagi masyarakat juga tidak lepas dari kebijakan politik. Dalam mekanisme tersebut, negara akan membuka seluas-luasnya lapangan kerja terutama bagi laki-laki yang sudah baligh sebagai pencari nafkah. Sayangnya, saat ini negara banyak bergantung pada utang dalam balutan investasi. Sehingga, posisi strategis dalam bursa kerja saat ini justru ditempati orang-orang asing. Masyarakat sulit mendapat pekerjaan yang layak, bahkan menjadi budak di negerinya sendiri.
Dalam kitab Nidzamul Iqtishadi karya Ulama dan Mujtahid Syekh Taqiyuddin an-Nabhani tertulis bahwa negara wajib memastikan kecukupan pangan bagi rakyatnya individu per individu. Dalam sejarah kepemimpinan Islam saat itu, Umar bin Khaththab sebagai kepala negara berkeliling di malam hari untuk memastikan rakyatnya kenyang. Bahkan, ketika menemukan ada yang kelaparan, beliau sendiri yang memanggul gandum dari baitulmaal untuk diberikan langsung.
Untuk itu, negara juga memerintahkan seorang pemimpin Islam mewujudkan swasembada pangan, termasuk dengan segala infrastrukturnya dan tentu tidak sampai merusak lingkungan seperti saat ini. Negara akan mewujudkan ketahanan pangan tanpa bergantung pada impor dan memastikan distribusi dalam menjangkau setiap daerah hingga wilayah terpencil bisa terlaksana.
Aturan Islam juga akan membentuk pola pikir masyarakat yang khas, yang menjadikan pangan sebagai kebutuhan pokok, bukan hanya lifestyle seperti saat ini. Sehingga, masyarakat tidak memiliki sifat mubazir dan paham makanan terbaik bagi mereka. Selain itu, untuk mencapai generasi emas, asupan gizi (pangan) bukanlah satu-satunya faktor penentu kesehatan generasi. Ketersediaan tempat tinggal (papan) layak huni dengan lingkungan yang sehat juga sangat menentukan pembentukan generasi unggul yang sehat dan cerdas.
Cita-cita mewujudkan generasi tangguh akan tercapai jika negara benar-benar hadir memimpin dan memberikan pelayanan terbaik baik rakyat. Sayangnya, hal itu hanya akan terwujud jika penguasa benar-benar mau tunduk pada aturan Allah Swt. yang Maha Pengasih, yang memberikan jaminan kesejahteraan bagi manusia. Oleh karena itu, mari sama-sama merenung, apakah kita sudah benar-benar melaksanakan konsekuensi syahadat kita kepada Allah Swt.? Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar