Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Di awal tahun 2025, masyarakat sudah dihebohkan dengan temuan pagar laut misterius yang membentang sejauh 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar laut yang menimbulkan keresahan tersebut berupa anyaman bambu, paranet, dan pemberat berupa karung berisi pasir yang dibentuk seperti rakit-rakit sejauh 500 meter hingga 1 kilometer dari muara kali. Sekalipun penampakan pagar laut tersebut tampak jelas, keterlibatan sejumlah pihak dalam pembuatannya masih menimbulkan banyak tanda tanya. Pemerintah bahkan sempat menyatakan ketidaktahuannya terkait aktor di balik pemasangan pagar laut tersebut.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten menyatakan bahwa pagar laut misterius berupa pagar bambu setinggi 6 meter mencaplok 16 desa di 6 kecamatan. Pagar bambu tersebut membentang melewati 3 desa di Kecamatan Kronjo, 3 desa di Kecamatan Kemiri, 4 desa di Kecamatan Mauk, 2 desa di Kecamatan Teluknaga dan sisanya masing-masing 1 desa di wilayah Kecamatan Sukadiri dan Pakuhaji. Setelah viral dan dianggap keberadaannya meresahkan, mulai disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Pencabutan pagar laut ilegal sepanjang 9 kilometer di 3 titik lokasi yang tersebar di Perairan Tanjung Pasir, Kronjo, dan Mauk melibatkan personel TNI AL dan sejumlah kapal nelayan (cnnindonesia.com, 23/01/2025).
Pada awalnya kasus ini viral setelah ada laporan warga atas keberadaan pagar laut yang meresahkan para nelayan sekitar kepada DKP Provinsi Banten pada 14 Agustus 2024 yang disusul dengan temuan pagar laut sepanjang 7 kilometer pada 19 Agustus 2024 oleh DKP Banten. Investigasi pun berlanjut dan diketahui terdapat penerbitan 266 SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan SHM (Surat Hak Milik) yang berada di luar garis pantai. Pemeriksaan lanjutan menguak bahwa anak usaha Agung Sedayu Group (ASG), PT Intan Agung Makmur (IAM), memiliki 243 SHGB di area pagar laut Tangerang, Banten. Dari sini Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/Kepala BPN), Nusron Wahid, membatalkan 50 bidang SHGB (bisnis.com, 24/01/2025).
Temuan SHGB milik anak usaha ASG bertolak belakang dengan klaim dari Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang menyebutkan proyek pagar laut dibangun secara swadaya oleh nelayan setempat. Padahal, pembangunan pagar laut berkilo-kilo meter tersebut sejatinya menghabiskan miliaran rupiah. Nilai fantastis tersebut tentulah bukan harga yang bisa ditebus oleh para nelayan miskin yang hanya menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan melaut. Ombudsman RI bahkan menyebutkan terdapat hampir 4000 nelayan terdampak di sepanjang perairan Tangerang dengan total kerugian finansial sebesar Rp7,7 miliar hingga Rp9 miliar per tahun berdasarkan biaya tambahan bahan bakar yang harus dikeluarkan nelayan untuk memutari pagar laut (kompas.com, 09/01/2025).
Berbeda dengan pagar laut Tangerang, pagar laut sepanjang 8 kilometer yang membentang di desa Segara Jaya, Kabupaten Bekasi merupakan proyek kerja sama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN). TRPN menyewa lahan seluas 5700 meter persegi untuk melakukan penataan pelabuhan hingga 5 tahun ke depan. Sekalipun TRPN belum mengantongi surat rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), pihaknya tetap nekat melakukan pemagaran (kompas.com, 24/01/2025).
Selain pagar laut di wilayah Tangerang dan Bekasi, masih ada pagar laut di Pulau C reklamasi Jakarta sepanjang 500 meter dan di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara sepanjang 1.5 kilometer. Sebagaimana keberadaan kedua pagar laut sebelumnya, baik pagar laut di Pulau C maupun di Perairan Kamal Muara merugikan komunitas nelayan. Alasannya karena keberadaan pagar laut membuat biaya produksi meningkat lantaran kapal harus mengitari pagar laut yang menghabiskan lebih banyak bahan bakar. Dari sini jelas, pemagaran laut mengurangi akses para nelayan untuk menangkap ikan sehingga berdampak pada kerugian ekonomi yang cukup signifikan.
Keberadaan pagar laut misterius di sepanjang pesisir utara Jakarta berkaitan erat dengan pembebasan lahan yang nantinya wilayah laut akan ‘digusur’ menjadi daratan. Sebagaimana penilaian banyak pihak bahwa pagar bambu sepanjang puluhan kilometer tersebut sejatinya mengindikasikan adanya ‘pemasangan’ struktur dasar proyek reklamasi di masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan fakta adanya pembebasan lahan secara masif di wilayah Kronjo-Tangerang, yang dilakukan PT Kukuh Mandiri Lestari, salah satu anak perusahaan ASG yang mengembangkan proyek reklamasi PIK (Pantai Indah Kapuk) 2.
Fenomena semacam ini menunjukkan bagaimana konflik ekonomi politik ruang di negeri ini tidak hanya melibatkan area daratan tetapi hingga area laut. Konflik perebutan ruang secara nyata membenturkan kepentingan korporasi dan pemerintah dengan masyarakat lokal. Konflik semacam ini makin menguak ketidakadilan struktural dalam tata kelola ruang bangsa. Pemagaran laut dengan tujuan memuluskan proyek reklamasi kian menguatkan kekuasaan ekonomi yang secara brutal merampas hak-hak sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
Padahal, sudah jelas bahwa laut adalah area publik yang seharusnya menjadi milik bersama dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Area laut tidak sepatutnya direduksi menjadi alat guna melayani kepentingan elite korporasi. Sayangnya, kondisi semacam ini lumrah terjadi di dalam sistem kapitalisme yang dianut negeri ini. Hal ini karena neoliberalisme dalam kapitalisme modern mengandalkan proses accumulation by dispossession, yakni perampasan ruang publik yang dilakukan kaum kapital dan mengubahnya menjadi aset privat untuk kepentingan para cuan.
Celakanya, konflik perampasan ruang di Indonesia kian umum terjadi pascapemerintahan Jokowi dengan menggenjot Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan melejitkan pertumbuhan ekonomi, justru menjadi dalih pemerintah bersama para elite korporasi melakukan perampasan ruang publik. Dengan pengesahan Omnibus Law menjadikan PSN bak ‘anak emas’ yang harus dijalankan bagaimanapun caranya, sekalipun harus melabrak banyak aturan dan hukum positif. Padahal, pembangunan infrastruktur semacam reklamasi tak jarang mengabaikan konsep keadilan terutama bagi rakyat kecil. Pada kenyataannya proyek reklamasi tidak hanya merusak ekosistem, memorak-porandakan perekonomian nelayan dan masyarakat lokal, tetapi juga menciptakan ruang-ruang eksklusif bagi para cuan.
Pemagaran laut yang secara nyata bertentangan dengan konsep ruang publik untuk kepentingan masyarakat, ironisnya dibiarkan begitu saja terjadi oleh penguasa negeri ini. Pemerintah telah lalai menjalankan tugasnya dalam menjaga wilayah perairan Indonesia dari tangan-tangan korporasi. Klaim penguasa yang menyebut pihaknya tidak tahu-menahu terkait aktor pemagar laut diduga kuat sebagai kebohongan publik yang disengaja. Pemerintah sebelumya tampak ‘tutup mata’ atas apa yang terjadi di pesisir utara Jakarta.
Celakanya, kelalaian akut penguasa dalam pembiaran pagar laut justru menunjukkan kegagalannya menjaga kedaulatan negeri. Negara telah gagal menjalankan fungsi pengawasan dan pelindung kedaulatan. Dari sini kita bisa menyimpulkan adanya infiltrasi kekuasaan yang dilakukan para cuan yang kemudian membuat pemerintah tak berkutik. Padahal negeri ini membutuhkan ketegasan penegakan hukum yang memihak rakyat banyak untuk menunjukkan komitmennya dalam mempertahankan kedaulatan.
Sikap tegas penguasa dalam menindak para elite korporasi yang merampas ruang laut menjadi suatu keharusan karena sesungguhnya wilayah laut adalah milik umum yang tidak boleh diserahkan kepada individu ataupun kelompok tertentu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar