#Wacana — Tiap tahunnya, angka kekerasan terhadap perempuan bukan menurun justru meningkat yang korbannya antara lain adalah para ibu. Organisasi internasional pun telah melaporkan bahwa jutaan perempuan di dunia menjadi korban kekerasan fisik, psikologis, maupun ekonomi.
Seperti yang terungkap dari Suku Dinas Pemberdayaan, Pelindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) bahwa di Jakarta Pusat terdapat sebanyak 228 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama tahun 2024 (antaranews.com, 8/1/2025). Sedangkan, banyaknya kasus di DKI Jakarta sejumlah 2.041 kasus. Bila ditelusuri, banyaknya kasus tersebut berasal dari kekerasan seksual, psikis, fisik, kemudian penelantaran.
Peningkatan Kekerasan
Komnas HAM mencatat bahwa dari tahun 2007 hingga 2023, kasus kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat. Walaupun pada tahun 2022 jumlah pengaduan kasus berkurang, tetapi pengaduan ke Komnas Perempuan justru dilaporkan meningkat (mediaindonesia.com, 25/11/2024).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada 2023 juga mencatat terdapat 26.161 kasus kekerasan terhadap perempuan yang angka ini meningkat 4,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan, Media Indonesia melansir bahwa pada tahun 2023, kekerasan dalam rumah tangga tercatat menurun, tetapi pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat. Hal ini terkait dengan kekerasan dalam ranah personal yang berkaitan dengan dominasi gender.
Kemudian pada tahun 2022, laporan kekerasan semakin beragam jenisnya. Hal tersebut meliputi kekerasan seksual dan kekerasan siber, yaitu pelecehan seksual secara daring yang pada kenyataannya kekerasan ini telah meningkat saat pandemi melanda, yaitu pada tahun sebelumnya, pada 2021.
Pada tahun 2021, selain kekerasan secara daring meningkat, angka pernikahan pada anak pun juga demikian. Lalu catatan pada tahun 2020 adalah kenaikan secara drastis kekerasan terhadap perempuan yang sangat mencengangkan pada 12 tahun terakhir yaitu sebanyak 792% (25/11/2024).
Butuh Solusi
Dari tingginya kasus kekerasan pada perempuan ini, anggota Komisi XI DPR RI, Andi Yuliani Paris berkesimpulan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan sering disebabkan karena masalah ekonomi. Sehingga, menurutnya perlu adanya peningkatan pemberdayaan ekonomi pada perempuan (tribunnews.com, 22/12/2024).
Selain ekonomi, seperti dilansir dari mediaindonesia.com, bahwa banyak yang melatar belakangi munculnya peristiwa kekerasan tersebut, antara lain adalah ketidak seimbangan kekuasaan/perbedaan derajat. Kemudian kurangnya pengendalian emosi, penyalahgunaan narkoba, terakhir adalah budaya patriarki yang menormalisasi bentuk kekerasan sebagai tindakan sebab akibat (25/11/2024).
Bila ditilik dari sejarahnya, bukan kali ini saja perempuan mengalami tindak kekerasan. Dahulu saat Islam belum datang, perempuan menjadi orang yang dinomor sekiankan, dihinakan bahkan kelahirannya pun tidak diharapkan. Lebih parah lagi, dalam budaya jahiliah hal tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar.
Namun, budaya tersebut hilang seiring datangnya syariat Islam. Sebagai rahmatan lilalamin, Islam datang memberikan kesejahteraan pada seluruh alam tidak terkecuali, tentunya pada perempuan.
Tidak ada lagi perempuan yang dikubur hidup-hidup saat bayi, tidak ada lagi yang tidak mendapatkan harta warisan, tidak ada lagi yang bisa sewenang-wenang terhadap perempuan. Tentunya dikarenakan syariat telah mengatur dan melarangnya.
Ratusan tahun telah berlalu, ternyata kenyataan pahit yang dialami perempuan kembali berulang, padahal syariat telah turun dengan sempurna dan tidak ada lagi syariat selain yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw.. Ternyata hal ini diakibatkan karena manusia tidak lagi taat kepada syariat.
Saat ini, hukum jahiliah sudah tidak lagi digunakan oleh manusia modern, tetapi paradigma sosial ala kapitalis yang juga hanya menghasilkan kerusakan justru dielu-elukan. Dengannya manusia terus memperjuangkan kebebasannya. Kebebasan memiliki materi, kebebasan berekspresi, kebebasan bersuara, dan lainnya. Di lain sisi, kapitalis tidak memberi ruang bagi mereka yang gagal berkompetisi untuk mencari kebebasannya.
Sehingga bagi si miskin yang tidak bisa bersaing dengan konglomerat, mereka akan selalu menjadi masyarakat nomor sekian. Bagi manusia yang tidak kuat atas segala hal, akan selalu kalah. Sehingga, hukum rimba memang nyata adanya dalam sistem hidup kapitalisme.
Perempuan yang tentunya lebih lemah dan tidak bisa mandiri ekonominya, dengan mudah dilibas busuknya sistem sosial ini. Sayangnya, paradigma sosial yang busuk ini terus dipakai hingga hari ini dan selalu memakan korban termasuk perempuan.
Padahal Allah Swt. telah berfirman dalam Al-Qur'an surah al-Imran ayat 195, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain.” Dalam ayat ini, Allah Swt. menegaskan bahwa yang dilihat oleh-Nya bukanlah jenis kelaminnya, akan tetapi kualitas ibadahnya dan amalannya di sisi Allah Swt..
Dalam hadisnya Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Tidak hanya itu, beliau saw. juga bersabda “Jangan kamu pukul hamba-hamba Allah dari kaum perempuan.“ (HR Abu Daud). Bisa dilihat dari keseharian beliau yang tidak pernah memukul dan memarahi para istri dan anak-anaknya bahkan kepada pembantunya.
Dengan adanya aturan-aturan syariat tersebut jelas bahwa perempuan merupakan manusia yang harus dilindungi, hak nya setara dengan laki-laki, secara ekonomi pun Islam mengatur dengan keberadaan wali yang menanggungnya. Sehingga bila syariat dijunjung tinggi dan diterapkan, maka permasalahan perempuan dan semua masalah lain akan terselesaikan. Wallahu’alam bishawab.[]
Ruruh Hapsari
0 Komentar