Mungkinkah Hidup Tanpa Pungutan Pajak?



Syiria Sholikhah



#Depok — Kenaikan pajak pertambahan nilai atau yang kita kenal dengan PPN bukanlah sesuatu yang baru dan bukan sesuatu yang perlu diherankan. Kenaikan PPN menjadi 12% dari 11% terjadi hanya dalam waktu tidak lebih dari 5 tahun, PPN 11% merupakan kenaikan pada tahun 2021 dari PPN 10%. PPN ini tentu diberlakukan untuk semua komoditi bernilai jual seperti yang disebutkan pada kontan.co.id (30/12/24), dari bahan pokok hingga obat-obatan yang merupakan bahan dasar hajat publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kenaikan PPN ini akan berdampak pada melonjaknya harga kebutuhan pokok di pasaran termasuk biaya jasa yang lainnya seperti biaya kesehatan. 

PPN bukan hanya dibebankan kepada para pelaku usaha, melainkan sebetulnya masyarakat yang menanggungnya, seperti yang dilansir dari CNBCIndonesia (25/11/24). Kenaikan harga bahan baku berdampak pada peningkatan kapasitas produksi seperti dilansir dari ITS.co.id (28/12/24), sehingga akan mempengaruhi ketersediaan barang di pasaran, akibatnya akan menjadikan para pelaku usaha menaikkan harga jual barang, dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen yang pada akhirnya akan menanggung kenaikan PPN tersebut, kenaikan PPN ini berdampak kepada semua lini meskipun disebut hanya berlaku bagi barang mewah. Barang mewah yang disebutkan tak memiliki standar baku disebut mewah.

Pajak dibebankan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Inilah yang disebut pajak berkeadilan yang tak memandang siapa pun. Pajak adalah suatu keniscayaan pada sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pemasukan negara. Banyak ragam jenis pajak yang dibebankan negara kepada masyarakat sebagai konsekuensi hidup di sistem kapitalisme ini.

Tanpa pajak, negara dalam genggaman para oligarki ini tidak memiliki daya dan kekuatan. Sistem ini tentu saja berkorelasi dengan pengelolaan keuangan atau sistem ekonomi kapitalis, bukan pada sistem ekonomi yang lain. Seperti yang kita saksikan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, berasaskan kebebasan kepemilikan harta dan kekayaan. Asas inilah menjadi sebab musabab kemiskinan negara sehingga harus menarik pajak dari rakyat. Setiap pemilik modal memiliki hak dan kebebasan menguasai sumber daya alam yang dengan modal tersebut mereka akan mengelolanya dan menjadi sumber pendapatan dan kekayaan individu dan swasta, negara mendapatkan apa? Hanya sekedar pungutan bea ala kadarnya yang bahkan tak bisa untuk membayar gaji para pejabat. Prinsip keadilan sangat berlaku dalam pungutan pajak, bukan pada keadilan yang lain.

Sangat berbeda keadaan ini jika disandingkan dengan sistem politik dan ekonomi Islam. Islam tidak menyandarkan nasib rakyat dalam bayang-bayang kebebasan yang sangat merusak itu. Tak terkecuali dalam sistem ekonomi Islam tidak mengenal asas kebebasan, bahkan haram hukumnya memiliki kekayaan dengan mengambil kekayaan milik yang lain. Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya ini seharusnya tidak ada pungutan pajak yang dibebankan negara kepada seluruh elemen masyarakat tanpa kecuali. Alangkah naas nasib rakyat di dalam negara super kaya tetapi tenggelam karena sistem ekonomi kapitalisme yang buruk.

Islam menempatkan sumber daya alam sebagai harta milik umum yang negara berkewajiban mengelola dan diperuntukkan kesejahteraan rakyat, memenuhi seluruh kebutuhan hajat publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi yang nyaman dan aman, harga kebutuhan pokok murah, dan lain sebagainya. Negara tidak berhak memberikan harta tersebut kepada individu atau swasta apatahlagi asing. Islam mengharamkan asing untuk memiliki tanah di dalam negeri, apalagi sampai menguasai perekonomian dan memonopoli sumber ekonomi. 

Islam mempunyai sumber pemasukan negara yang banyak, sehingga tak membutuhkan untuk melakukan kejahatan dibalik nama pajak tersebut. Pajak di dalam Islam bisa saja terjadi dalam keadaan darurat, perlu dicatat disini darurat! Bukan karena untuk menaikkan gaji pejabat. Pajak darurat tersebut hanya dibebankan secukupnya dan hanya dipungut dari orang-orang tertentu seperti orang kaya yang memiliki kelebihan harta, harta lebihan tersebut adalah ketika seluruh kebutuhan hidupnya telah terpenuhi. Dipungut sementara bukan seumur hidupnya seperti pajak pada sistem kapitalisme ini yang kita rasakan saat ini. Sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme yang merupakan sumber tetap pemasukan negara dan dibebankan untuk semua komoditi termasuk tempat tinggal yang disebut pajak bumi dan bangunan. 

Jadi, apakah mungkin kita hidup tanpa bayang-bayang pajak? Sangat mungkin jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam lengkap dengan sistem ekonomi Islamnya. Islam secara menyeluruh. Ditambah dengan sistem wakaf, akan sangat sejahtera hidup ini bebas pajak dan semua serba murah bahkan gratis untuk kebutuhan pokok pendidikan dan kesehatan tanpa ribet. 

Betapa indahnya hidup ini jika bernafas di dalam sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Allah, yakni sistem Islam yang mulia. Terbayang bukan bagaimana indahnya hidup ini apabila diterapkan sistem yang berasal dari Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya? Sistem Islam adalah solusi dari setiap permasalahan yang ada karena ia datang bukan dari akal manusia, melainkan dari Tuhan semesta alam yang menciptakan seluruh makhluk termasuk manusia.[]

Posting Komentar

0 Komentar